Batin Tikal (Bagian 9)

Batin Tikal (Bagian 9)

Oleh: Amirrudin Djakfar

 

Dengan kepala tertunduk beliau ke halaman rumah tanpa senjata digenggam. Terhuyung-huyung bagaikan orang kehabisan akal dan pikiran yang sehat. Beliau pun disergap oleh pasukan Belanda dalam setengah sadar, setengah tidak, tanpa senjata pula. Batin Tikal telah menjadi tawanan Belanda. Melihat panglimanya sudah tertawan prajurit-prajurit beliau pun menyerah pula. Di sana sini bergelimpangan mayat serdadu Belanda bercampur baur dengan mayat prajurit-prajurit Batin Tikal. Sama kulitnya sama besarnya, tidak ada yang putih-putih bulai. Sudah beberapa kali dalam sejarah Indonesia kita disabung oleh orang asing, berbunuh-bunuhan sesama kita dan orang asing cuci tangan tertawa gelak-gelak. Selalu…dan selalu tragedi nasional ini kembali…kembali. Dengan tertawannya Batin Tikal boleh dikatakan patahlah sudah perlawanan putra Bangka terhadap penjajahan disekitar tahun 1850-1854, untuk nanti ia akan membawa kembali riwayat kepahlawanan dari putra Bangka dalam tahun-tahun revolusi 1945 yang tak kurang heroik dan gilang gemilangnya dari putra-putra Indonesia di pulau-pulau lainnya. Habis…habislah sudah perlawanan yang disusun Batin Tikal bersama redupnya sinar surya terbenam ke ufuk Barat diantar oleh berkas-berkas cahaya mega memerah laksana darah.

Beberapa hari kemudian, berpuluh-puluh iringan perahu melayari sungai Bangkakota menuju kuala. Inilah iring-iringan perahu yang membawa Batin Tikal dan beberapa orang tawanan Belanda lainnya.

“Selamat tinggal Bangkakota…selamat tinggal tanah kelahiran…mungkin kita takkan berjumpa lagi…” demikian jeritan hati pahlawan itu tatkala perahu keluar dari muara sungai Bangkakota.

Ombak mengayunkan perahu itu dan penjagaan selalu diperkeraskan, maka sehari semalam di laut mendaratlah iring-iringan perahu ini di berok Sungaiselan. Tawanan-tawanan itu diarak ke tangsi Belanda dihadapkan kepada Kapten Becking. Legalah perasaan Becking, legalah pula Letnan Dieman, gembira pula Gegading Pangkal Selan. Baju beluderu merah, kuda dan sado telah di pelupuk mata bukan impian lagi. Kapten Becking akan merayakan kenangannya, dia akan mengundang seluruh rakyat, seluruh Batin-batin, ya…Batin Pering, Batin Air Rangat, Batin Bukit, Batin Mudung. Dia akan menyatakan bahwa Batin Tikal tidak sakti, tidak keramat, ia dapat ditawan Belanda.

Becking akan menyatakan kelengkapan jajahan Belanda atas Pulau Bangka “BANKA EN ONDERHOORIGHEDEN” tetapi namun tentara yang mengambil jalan darat belum juga tiba yang seharusnya mereka sudah sampai di Pangkal Selan. Sebagian tentara Belanda sebesar satu peleton diperintahkan jalan darat menggiring sejumlah tawanan. Sersan mayor yang mengepalai pasukan ini seorang Inlande yang berlagak seperti Belanda tulen. Di tengah hutan belantara itu, sersan mayor ini mendapat suatu inspirasi untuk menunjukkan bahwa diri mereka adalah tuan-tuan yang harus dijunjung tinggi oleh para tawanan. Supaya lebih nyata antara hamba dan tuan, sersan mayor ini memerintahkan membuat usungan-usungan.

Perintah ini ditaati para tawanan, alat-alat untuk membuat usungan ini diberikan dan bekerjalah para tawanan dijaga keras oleh tentara Belanda. Sambil bekerja para tawanan bermufakat untuk mengadakan perlawanan. Mereka berbicara bahasa daerah yang tidak dapat diartikan oleh serdadu-serdadu pengawal.

Ngehanak, dak gune kite jadi urang rantai nih. Alung-alung kite hudek asuk-asuk itam nih. lung kite ngelawan, Alung ge mati, anak bini kite la abis la, uma kite la dak dr agik lah.” 

Aku nerai ngehanak cube-cube kite pada ngan ngehanak-ngehanak lain!” 

Semua para tawanan sudah bertekad akan melawan.

Men kateku, engka la jadi pengara kelak. Di sane, di arung tu ne kelak ku behurak, jangan kelupak di tepi hungai tu ne. Asal kateku hudeek…hudeek…hudeek tandu empesen…kite ambik senjata asuk-asuk itam nih…Mintak pada ngan batur-batur!” 

Permufakatan mereka itu jika di- Indonesiakan; “Bung, tidak berguna kita jadi orang rantai begini. Baiklah kita sudah kan jiwa anjing-anjing hitam ini!”

“Baiklah kita melawan, baiklah kita mati, anak istri kita pun sudah habis mati, rumah-rumah kita sudah tak ada lagi.”

“Kami setujui usul saudara itu, cobalah saudara beritahu dengan kawan-kawan yang lain!”

 

(Bersambung) 

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. 

 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Exit mobile version