Oleh : Kulul Sari
Lanon Merapat
Walau merasa khawatir akan keselamatan Buk Terang, namun keteguhan Buk Terang untuk tetap tinggal di kampung Kurau tiada seorangpun yang mampu melunakkan nya. Dan akhirnya warga pun pergi mengungsi ke arah hulu sungai dan bersembunyi ketempat yang aman dengan membawa barang-barang yang bisa mereka bawa. Sehingga perkampungan itu menjadi sunyi tanpa penghuni, kecuali Buk Terang yang tetap tinggal dan beraktivitas seperti biasa membuat parang serta keris dan senjata tajam lainnya.
Setelah beberapa waktu kemudian, dari arah muara, sebuah kapal Lanon yang cukup besar nampak menuju perkampungan Kurau. Perlahan tapi pasti, mereka memasuki muara dengan perasaan tidak sabar ingin segera merapat. Hal ini nampak dari kejauhan para Lanon dengan wajah yang tidak bersahabat selalu memandang ke arah rumah penduduk yang berada di pinggiran sungai dengan pandangan yang liar.
Namun mereka tidak satupun melihat penduduk di kampung. Kecuali melihat seorang kakek tua yang bertelanjang dada yang sedang asyik dengan pekerjaannya, seolah-olah tidak menghiraukan kehadiran mereka.
Buk Terang yang berada di pondok mengalihkan pandangannya ke Kapal yang sedang merapat ke dermaga kayu. pandangannya juga menyapu semua penghuni kapal itu. Ia memperhatikan satu demi satu dari yang turun dari kapal.
Semuanya tidak sedikitpun luput dari pandangannya Buk Terang.
Walau tidak sabar hendak memberantas kemungkaran yang ia dengar selama ini yang diakibatkan dari Lanon, sumber bencana bagi warga Bangka, namun Buk Terang tetap sabar serta melakukan aktivitasnya seolah-olah tiada terjadi apa-apa.
Belum sempat kapal merapat dengan sempurna, beberapa orang dari dalam kapal itu sudah melompat bagaikan terbang dan mendarat dengan sempurna di daratan. Buk Terang yang berada tidak jauh dari dermaga tetap dengan aktivitasnya menempa pedang.
Para Lanon ini dibekali dengan ilmu melompat yang cukup tinggi sekira 4 atau 5 meter, pada masa itu lompatan para Lanon ini digambarkan setinggi tiang kawat.
Beberapa orang Lanon dengan wajah yang sangar dan tidak bersahabat segera mendekat ke pondok penempan dan mengelilingi Buk Terang,
“Hei orangtua, apa yang sedang engkau kerjakan ? “, tanya salah satu Lanon,
Sambil memperhatikan potongan besi yang membara di atas tungku perapian, Abuk Terang memperhatikan mereka dan menjawab,
Sambil melihat dengan sudut matanya, Buk Terang seakan menggumam dengan bahasanya,
” Ape bute ape mencelak mate ikak ni dak keliat aben ape gawe Abok”, katanya menggumam
Lanon yang tidak faham apa yang dikatakan Buk Terang mengulangi pertanyaan itu dengan sedikit membentak.
Kemudian Buk Terang menjawab pertanyaan itu dengan singkat,
“Seperti yang kalian lihat, saya lagi membuat keris”, Jawab Buk Terang
Sambil melayani pembicaraan para Lanon, Buk Terang sibuk membentuk lekukan keris dengan tangannya. Besi yang digunakan untuk membuat keris itu merah menyala, seolah-olah Buk Terang sengaja memamerkan kesaktiannya kepada para Lanon.
Apa yang dilakukan Buk Terang tidak luput dari perhatian para Lanon.
Karena mereka telah biasa dengan kekerasan, hingga mereka tidak merasa gentar akan atraksi yang ditunjukkan Buk Terang.
“Apakah keris abok ini tajam atau tidak? “, tanya salah seorang Lanon dengan senyuman yang mengejek,
Ejekan dalam pertanyaan itu ia lontar karena mereka di kenal kebal terhadap segala macam senjata tajam. Sehingga mereka tiada mengenal rasa takut dalam menghadapi segala macam senjata tajam.
Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan itu, Buk Terang dengan tenang menjawab,
” Sebenarnya cukup tajam, tetapi keris ini tidak melukai pembuatnya “, jawab Buk Terang sambil menikamkan keris yang ditangan ke perut dan beberapa bagian tubuhnya.
Ujung keris yang ditikamkan ke bagian tubuhnya itu menjadi bengkok, dan bahkan bergulung, Sedangkan bagian tubuh Buk Terang sedikitpun tidak tergores apalagi luka.
Melihat atraksi yang diperagakan Buk Terang mereka tersenyum mengejek.
Serbuk Besi dan Sirih Buk Terang
Sudah merupakan tradisi masyarakat Bangka zaman dulu yaitu memakan sirih. Aktivitas ini tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja tetapi kaum lelaki juga memakan sirih.
Setelah Buk Terang menikamkan keris ke tubuhnya, kemudian keris itu ia masukkan kembali ke bara api yang menyala membara di penempaan. Ia menggunakan jemarinya mengumpulkan arang yang membara yang bertebaran dan menyatukannya dalam satu titik sumber api. Semua itu tidak luput dari perhatian para Lanon.
Mereka begitu terperanjat ketika Buk Terang mengambil tahi besi atau serbuk besi yaitu besi halus yang berasal dari percikan api. Kemudian besi halus yang sedang membara itu dibalut dengan daun sirih yang sebelumnya di taburi pinang dan kapur sirih, selanjutnya Buk Terang memasukkan racikan itu ke mulutnya serta mengunyah.
Setiap kali Buk Terang mengunyah, maka semburan dan percikan serta asap api memggumpal keluar dari mulutnya. Tentu hawa panas juga mengiringi angin dan desahan nafas Buk Terang. Saat mulutnya terbuka, nampak jelas dalam pandangan Lanon bara yang menyala di dalam mulut Buk Terang.
Sungguh pemandangan yang sangat menakutkan dan mengerikan. Baru kali ini mereka melihat pemandangan seperti itu. Nyali mereka sedikit ciut menyaksikan itu. Lebih menyeramkan lagi, setelah di kunyah, Buk Terang menelan racikan serbuk besi itu, seakan-akan makanan yang sangat enak.
“Dato’-dato’, mari kita makan sirih yang telah Abok siapkan”, ajak Buk Terang kepada para Lanon sembari menyodorkan daun sirih di sumpit kecil yang terbuat dari purun.
Lanon semakin terperanjat ketika Buk Terang menawarkan makanan yang tidak pernah mereka bayangkan itu.
Mereka merasa tersinggung dengan tawaran Buk Terang, namun ada rasa gentar menyelinap dihati sanubari Masing-masing.
Selama melanglang buana di dunia hitam, baru kali ini mereka merasa gentar dan melihat seseorang memakan bara api.
Untuk menutupi rasa gentar itu mereka mengalihkan pembicaraan,
“Hei abok tua, kemana para penduduk ini abok sembunyikan hingga kampung ini sepi”, tanya salah satu diantara mereka sembari membentak dan menghentakkan kakinya, mengalihkan pembicaraan menyembunyikan rasa getir yang mulai menjalar.
Hal yang sama dirasakan oleh Lanon yang lain. Mereka merasa begitu kecil di hadapan Buk Terang.
Hentakan kaki yang dilakukan oleh salah satu dari Lanon itu bukan sembarangan, namun mengandung kekuatan tenaga dalam yang sempurna sehingga penempaan tempat Buk Terang menempa membuat keris yang sedang dibakar jadi berbergetar dan bergerak. Kayu-kayu penyanggah pondok kecil itu tidak luput dari resonansi yang diakibatkan hentakan itu. Ditambah lagi kayu penyanggah itu sudah mulai rapuh karena dimakan usia, bahkan dua di antaranya perlahan mulai goyang dan roboh.