Karya : Rusmin Sopian
Sudah seminggu ini, kegelisahan itu datang menghampiri tubuh renta Ibu Yayuk. Kegelisahan yang melanda jiwa wanita tua itu bukan dikarenakan naiknya harga sembako di toko langganannya, bukan sama sekali.
Kegelisahan wanita setengah tua itu, berawal dari keinginan anak semata wayangnya yang ingin merantau ke Jakarta, sebagai orang tua, dia sangat melarang, bahkan sama sekali tak mengizinkan putranya untuk mengadu nasib di Ibukota.
Maklum peninggalan warisan suaminya sudah sangat cukup untuk kehidupan dia dan anaknya. Hektaran sawah dengan hasil yang melimpah mareka peroleh tiap tahunnya.
Demikian pula dengan toko pertanian yang kini dikelola anaknya sudah sangat layak untuk kehidupan dia dan anaknya, belum lagi peninggalan almarhum suaminya yang lainnya berupa sapi.
Tapi anaknya tetap ngotot dan bersikeras untuk mencoba peruntungan ganasnya rimba Jakarta.
“Mohon di pikir kembali keinginanmu untuk bekerja di Jakarta, nak. Apakah yang kita nikmati sekarang tak cukup untuk modal hidupmu nanti,” tanya Ibu Yayuk kepada anaknya yang bernama Markudut
“Ini bukan soal materi, Bu. Tapi ini soal bagaimana saya belajar hidup di kota secara mandiri, Saya ingin menantang Jakarta yang katanya ganas,Bu,” jawab Markudut.
“Sudah banyak cermin Nak, Sudah banyak contoh tentang realita bagaimana buasnya rimba Jakarta, sudah banyak teladan yang diberikan teman-temanmu yang akhirnya kembali ke Kampung karena tak mampu melawan ganasnya jakarta,” lanjut Ibu Yayuk.
“Jakarta itu kejam Nak, rimba yang sangat buas tak ada rasa kemanusian disana, mohon dipikirkan kembali niatmu itu Nak,” sambung Ibu yayuk dengan diksi memelas.
“Mareka tidak berpendidikan,Bu. Mareka tidak berpengetahuan, aku beda dengan mareka, ku sarjana,” kilah Markudut.
Sikap Markudut yang tetap bersikeras untuk menantang Jakarta, dan dengan derai airmata disertai sejuta doa, akhirnya Ibu Yayuk mengizinkan Markudut merantau ke Jakarta.
Sejuta nasehat dinarasikan ke telinga putranya dan segepok uang pun diberikan kepada anak semata wayangnya.
Markudut pun tiba di Jakarta, sang ibukota negara. Seminggu pertama, Markudut masih bisa senyum dan tertawa menatap jakarta. maklum bekal dari sang Bunda masih terbilang banyak, tak heran beberapa pusat Kota Jakarta yang amat populer dijelajahinya.
Kawasan Monas sudah dikunjungi, demikian pula dengan pusat perbelanjaan Plaza Senayan dan Blok M, bhkan Taman Mini serta Ragunan pun sudah dilihatnya termasuk ke Kota Tua sudah dinikmatinya.
” Jakarta memang istimewa dan luarbiasa,” Gumamnya dengan suara setengah berdesis.
Memasuki minggu kedua, kantong Markudut mulai menipis, rasa ingin kembali ke Kampung pun mulai menggelanyuti pikirannya. Apalagi saat menyaksikan begitu berjubelnya orang yang berlalu lalang di jalanan yang membuatnya berpikir keras untuk menaklukan Jakarta. Tekadnya untuk kembali menaklukkan Jakarta dengan pengetahuannya masih mampu bertahan.
” Di Jakarta ini yang penting kita jangan malu,” ujar seorang temannya beberapa waktu lalu.
” Kalau kita tak malu, kita bisa hidup, bisa survive,” sambung temannya yang lain.
” Dan yang paling penting kamu jangan berpikir soal haram dan halal, yang penting kita bisa hidup dulu,” jelas temannya lagi.
Markudut pun terdiam mendengar narasi teman-temannya. Markudut akhirnya terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan menyusul makin menipisnya persedian uang di dompetnya. Tak tahan sebagai kuli bangunan, Markudut pun bekerja sebagai salesman sebuah alat rumah tangga. Namun pekerjaan itu tak mampu mengeskalasi dompetnya.
Sementara mau minta kiriman dari Ibunya dia malu, setidaknya dalam tiga bulan sudah tiga jenis pekerjaan yang dilakoninya dan tak mampu mengangkat derajat hidupnya. Bahkan dia terpaksa harus pindah rumah kontrakan yang murah, sebuah rumah yang sangat tak layak untuk ditinggali.
Usai sholat subuh di masjid dekat rumah kontrakannya, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, Markudut menoleh. Tepukan dari seorang lelaki setengah baya, seumuran almarhum Ayahnya mengagetkannya.
“Ananda tinggal di dekat sini,ya?,” sapanya dengan ramah.
“Iya Pak. Ada yang bisa saya bantu Pak?,” jawab Markudut dengan nada suara sopan dan tak kalah ramahnya.
“Apakah ananda sudah bekerja?” tanya lelaki itu.
“Saya masih mencari kerjaan Pak,” jawab Markudut saat keduanya beriringan meninggalkan masjid.
“Apakah Ananda mau menjadi sopir saya?,” tanya lelaki itu lagi.
“Sangat bersedia sekali Pak, terima kasih Pak atas pertolongannya, Alhamdulillah,” ujar Markudut sambil mencium tangan lelaki itu.
Keduanya pun berpisah, lelaki setengah baya itu masuk ke dalam sebuah rumah bertingkat dengan design arsitektur yang sangat moderen, rumah yang berhalaman luas. Baru kali ini lelaki dari Kampung itu menyaksikan sebuah rumah yang sangat artistik dan indah, bak istana.
Markudut pun kini menjadi sopir lelaki yang dikenalnya saat sholat berjemaah di masjid. Ternyata lelaki itu anggota dewan yang terhormat, dan kini Markudut menjadi teman sehari-hari Pak Dewan, mengantarkan Pak Dewan yang terhormat itu susuri jalanan Jakarta yang macet.
Pada suatu malam, usai membersihkan mobil, Markudut di panggil Pak Dewan ke ruang tamunya yang luas.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?,” tanya Markudut
“Besok tolong kamu ambilkan uang di salah satu kolega saya, ya. Lokasinya dekat perkantoran Dukuh,” perintah Pak Dewan, Markudut hanya mengangguk.
Setelah sukses mengambil uang dari kolega Pak Dewan yang pertama, Markudut kini bukan hanya menjadi sopir semata namun telah menjadi kurir dari Pak Dewan untuk menerima dana dari koleganya. Termasuk mengirimkan dana yang sangat besar kepada kolega Pak Dewan lainnya.
Sebagai lelaki berpendidikan Markudut mulai berpikir keras dengan aksi Pak Dewan, bosnya, namun Markudut tak mampu menelisik pikiran kelamnya menjadi sebuah pertanyaan, mengingat kesibukannya mengambil dana dan menghantar dana cukup menguras pikiran dan badannya.
Apalagi kini tabungannya kerapkali dijadikan media bagi juragannya untuk menerima uang. Dan gaji Markudut pun kini berlipat ganda. Setiap ada aliran dana yang masuk ke rekeningnya, lelaki berpendidikan sarjana itu juga mendapat komisi yang tak sedikit yang bisa membuatnya bisa membeli satu motor merk terkenal.
Pagi itu, Pak Dewan meminta Markudut untuk menemaninya ke Bandara, Pak Dewan rupanya mendapat tugas keluar Kota dari parlemen. Di dalam mobil Pak Dewan tampak sibuk menerima telepon, dan usai mengantar Pak Dewan, Markudut rencananya mau pulang Kampung untuk menengok Ibunya.
Maklum semenjak bekerja sebagai sopir Pak Dewan, lelaki itu sama sekali belum pernah pulang untuk menengok Ibunya, walaupun selama ini komunikasi mareka lancar lewat Handphone. Dan Markudut masih ingat dengan nasehat Ibunya lewat speaker handphone.
” Kamu jangan neko-neko di jakarta Nak, Jakarta itu kota yang buas, rimba yang tak bertuan,” nasehat Ibunya.
Usai Pak Dewan turun dari mobil dan saat dirinya baru hendak memarkir mobil, Markudut kaget setengah mati saat melihat juragannya, Pak Dewan diborgol beberapa orang yang memakai baju bertuliskan KPK. Pak Dewan langsung dibawa masuk ke dalam mobil.
Dari siaran radio di mobilnya, Markudut mendapatkan kabar terkini dari sebuah radio berita Ibukota bahwa telah tertangkap tangan seorang anggota parlemen di bandara, Ya, dia adalah Pak Dewan yang terhormat, juragannya.
Dari tangan Pak Dewan yang terhormat itu, KPK menyita sejumlah uang yang bernilai milyaran rupiah.
Kini Pak Dewan sedang dalam perjalanan menuju tahanan KPK dengan pengawalan super ketat. KPK juga akan mengusut semua pihak yang terlibat dalam membantu Pak Dewan dalam korupsi mega proyek disejumlah daerah ini, demikian laporan terkini reporter kami dari Gedung KPK jakarta.
Mendengar berita tertangkap tangan juragannya itu Markudut pun dengan tergesa-gesa langsung menuju terminal. Rasa ketakutan menjalari seluruh tubuhnya, bayangan wajah tua Ibunya terpampang di matanya. Ada rasa penyesalan yang mendalam dari jiwanya. Terkenang saat Ibunya melarang dirinya untuk merantau ke Jakarta.
Kini Markudut hanya menangisi nasib.
Apakah dirinya akan terlibat dan dilibatkan Pak Dewan yang terhormat itu?
Toboali, 23 Mei 2023