Sastra  

Cerpen : Robohnya Rumah Pejuang Tua

Ilustrasi : KibrisPDR

Karya : Rusmin

“Sungguh-sungguh sangat heran dengan Pemerintah. Kok pejuang seperti Pak Liluk dibiarkan merana bak anjing kudisan? Dimana mata hati petinggi negeri ini,” ungkap Cagel dengan nada suara bersungut-sungut.

” Persis kawan. Pak Liluk adalah salah seorang pejuang yang ikut memerdekan bangsa ini. Tapi balasannya apa? Rumahnya pun ikut tergusur. Tak ada apologi dari pemerintah untuk beliau,” sahut warga lainnya sembari menyaksikan aksi para petugas melakukan pembongkaran terhadap kawasan perumahan penduduk.

” Ini bukti nyata bahwa pemerintah tidak pernah menghargai jasa para pahlawan. Mareka hanya menghargainya dinarasi untuk media massa saja,” celetuk warga yang lain dengan nada suara geram.

Dan hanya dalam waktu tak lebih dari satu jam perumahan penduduk yang padat dikawasan kumuh itu pun rata dengan tanah. Sementara suara tangisan terus bergemuruh sekencang suara gemuruh alat-alat berat yang terus menggeruduk rumah penduduk tanpa malu dan tanpa nurani.

Cahaya matahari diatas kepala. Disebuah warung kopi, seorang lelaki tua tampak lusuh. Bajunya penuh dengan keringat yang menebarkan aroma tak sedap. Matanya masih tertuju kepada aksi istimewa alat-alat berat yang terus menggeruduk dan menyapu bersih bangunan rumah yang berjejer dikawasan padat penduduk itu. Beberapa orang berbaju seragam menemaninya.

” Kami diperintahkan pimpinan untuk membawa Bapak dari lokasi ini. Bapak akan diberikan sebuah rumah dikawasan yang layak dan jauh dari kebisingan Kota. Sangat layak untuk Bapak menikmati masa tua,” jelas seorang petugas dengan nada suara yang teramat lembut.

” Benar sekali Pak. Di rumah yang baru nanti Bapak bisa beristirahat dengan tenang. Jauh dari kebisingan. Udaranya juga sangat segar. Sangat cocok untuk Bapak,” sambung petugas yang lainnya.

Lelaki tua itu tak menjawab. Suaranya pun tidak berdesis. Bahkan amat tidak terdengar sama sekali. Mulutnya sangat tertutup rapat-rapat. Terkunci rapat. Hanya matanya yang terus memandang rumah yang terus roboh dan roboh hingga rata dengan tanah. Kekecewaan melanda sekujur tubuh tuanya. Hal ini ditandai dengan degup jantungnya yang turun naik.  Dan seluruh mata tiba-tiba tertuju kepadanya saat dirinya berlari ke arah penggusuran ketika alat berat hendak merobohkan sebuah bangunan rumah semi permanen.

Dirinya berdiri persis didepan alat berat. Suasana menjadi hening. Suara alat berat pun seketika mati, Senyap.

” Langkahi mayat saya dulu sebelum kalian semua menghancurkan rumah itu,”teriaknya dengan sisa-sisa suara tuanya.

” Kalian semua memang tidak mengerti dengan sejarah. Kalian semua tidak paham sejarah. Kalian hanya mengerti dengan menindas dan penindasan,” sambungnya.

” Pahamkah kalian semua, bahwa di rumah itu naskah sejarah bangsa  dibuat? Tahukah kalian kalau dirumah itu menjadi awal dari berdirinya bangsa ini?,” lanjutnya dengan nada suara tuanya.

Tiba-tiba lelaki tua itu tersungkur. Badann tuaya rebah di tanah. Suasana menjadi riuh. Para petugas sibuk dan segera mengevakuasinya kedalam mobil ambulan yang memang telah stand by sejak dari subuh diareal penggusuran.

Sudah tiga hari lelaki tua itu terbaring dalam kamar sebuah rumah sakit. Dan sudah tiga hari pula para petinggi negeri sibuk mendatangi rumah sakit ternama itu. Mareka mengunjungi seorang lelaki tua yang masih terbaring lemah dikamar. Pengamanan di rumah sakit itu sangat ketat. Bahkan super ketat.

” Kita harus menggunakan hati nurani kita sebagai pemimpin.

Jangan gunakan kekerasan dan kekerasan. Kita ada karena rakyat,” sebut Petinggi negeri dalam pertemuan dengan para petinggi daerah.

” Dan saya minta urusan penggusuran itu dihentikan hingga waktu yang tak terbatas. Dan selesaikan soal Pak Liluk dengan cara-cara manusiawi,” perintah Petinggi Negeri.

Dan sebelum Petinggi Negeri membubarkan rapat, sebuah pesan dibisikan  ajudannya. Petinggi Negeri tampak mengangguk-angguk. Ada segurat kesedihan terlihat di wajahnya ” Pak Liluk telah wafat. Dan siapkan acara pemakamannya secara meliter dan saya yang akan memimpin,” ujar Petinggi Negeri pelan.

” Penggusuran tetap ditunda Pak?,” tanya seorang petinggi daerah yang hadir dalam rapat itu.

” Lakukan setelah seminggu wafatnya Pak Liluk,” jawab Petinggi Negeri.

Semua peserta rapat tersenyum bahagia. Mareka keluar ruang rapat dengan wajah bahagia. Sementara berita kematian Pak Liluk terus menghiasi halaman depan koran-koran dan media massa. Dan semua orang membicarakannya dengan narasi heroik sebagaimana heroiknya para petugas yang akan menggusur rumah mereka sepekan setelah Pak Liluk di makamkan secara meliter dan kenegaraan. (Rusmin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *