Penulis: Mamuk SPMA
Pagi itu, dengan langkah gontai sedikit sempoyongan karena kurang tidur ku ambil motor Supra fit bututku .
Ku starter dan berangkat ke tempat kerja. Setelah beberapa kali mau senggolan sesama pemotor dan terakhir kali mau mau masuk ke kebun pisang orang akhirnya sampai juga di kantor dimana saya bekerja setiap harinya.
Selesai absen sidik jari kusiapkan segera loding barang hari itu, dan tancap gas menuju ke pasar-pasar tradisional serta retailan di lingkungan area tersebut.
Tak terasa hari menginjak sore ketika dagangan tinggal sedikit dan akhirnya habis saya pasarkan di Pasar Ngasem Jogja.
Sudah ku rencanakan untuk tidak pulang ke rumah sore itu sehabis bekerja seharian karena memang pas hari Sabtu dan Ahadnya libur.
Kuarahkan motor menuju lokawisata Kraton Ratu Baka, dan sampai sana waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 sampai loket.
Setelah tiket ku peroleh, aku langsung masuk dan terus jalan menuju puncak sambil melihat-lihat pemandangan sekitar ala kadarnya, karena yang ku tuju memang pendapa Kraton Ratu Baka yang ada patung Syiwa serta di belakangnya ada Lingga Yoni khas simbol adanya Syiwa.
Dengan mengambil sikap meditasi, aku mulai berdiam diri mengheningkan cipta, rasa, karsaku untuk mengendap, rileks namun fokus pada satu titik temu diantara cipta, rasa, dan karsa tersebut. Lama dan lama sekali, sampai pengumuman dari pegawai purbakala dan Kraton Ratu Baka untuk segera turun karena pintu segera akan ditutup hanya terdengar sayup-sayup tak ku hiraukan. Aku masih saja duduk tepekur mengheningkan cipta, rasa, karsa dalam senyap.
Setelah sekian lama berdiam diri, aku merasakan tubuhku semakin ringan, begitu juga dada terasa lapang dan hati pun tak merasakan kepedihan lagi.
Terasa ringan dan ringan sekali sampai tak terasa tersenyum simpul sendiri, terpingkal-pingkal lalu menangis sesenggukan sendiri tidak bisa kutahan.
Semua terjadi begitu saja, tanpa bisa dicegah. Kemudian reda dengan sendirinya dan bayangan-bayangan kejadian yang memilukan lalu lalang berurutan bercerita tentang sebuah biduk rumah tangga yang didera badai, oleng kesana kemari dan tenang kembali karena dua orang yang tadinya bersitegang dengan egonya masing-masing kemudian bersatu padu menegakkan layar yang terkembang menjadi tegak, kokoh, berdiri teguh pada tiupan angin laut lepas.
“Ada apa sayang, tersenyum-senyum simpul sendirian,”
aku terjaga dari meditasi karena mendapatkan towelan lembut pahaku dari seorang gadis cantik di sebelahku yang ternyata Sinden Cantik Elisa, sambil menatapku lembut berselimut hasrat menggebu.
Prambanan, 23082024
Asyik