Oleh : Meilanto
Alkisah, sebelum pemukiman penduduk dipindahkan oleh Hindia Belanda ke kiri kanan jalan raya, penduduk masih tersebar di hutan-hutan dengan membentuk komunitas kecil. Mereka bercocok tanam di ladang ume dengan sistem berpindah tempat. Pemukiman yang membentuk seperti segi empat dengan kepala kampung berada di tengah sehingga memudahkan kontrol kepada masyarakat. Begitu juga dengan sarana umum seperti masjid/ surau/ langgar dan balai serta TPU. TPU dibangun tidak jauh dari kampung.
Suatu ketika di kawasan Lelap Rumbiak (saat ini wilayah administrasi Desa Jelutung) meninggal seorang perempuan yang mempunyai ilmu tinggi. Setelah jenazah dimandikan, dikafani dan disalatkan, jenazah digotong menggunakan ringgo-ringgo (keranda jenazah) menuju TPU. Sementara itu petugas lain sudah menggali kubur untuk jenazah. Setelah dekat ke TPU, kehebohan terjadi. Jenazah jatuh dari ringgo-ringgo. Sempat dilihat warga, jenazah memetik daun melak dan memakan daun itu. Seketika jenazah menghilang yang membuat kampung menjadi heboh.
Sementara itu lubang untuk jenazah menganga begitu saja tidak ditutupi warga.
Warga mempercayai di kawasan Lelap Rumbiak dan TPU tidak boleh menyebutkan daun melak karena hal itu dipercayai akan memanggil jenazah itu untuk datang kembali dan akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Jika harus menyebut daun melak, maka harus menyebutkan daun Mentaon karena daun melak dan daun Mentaon saka saja hanya beda penyebutan.
Beberapa tahun yang lalu, penulis sempat mendatangi lokasi TPU Lelap Rumbiak yang berada di salah satu anak sungai (Aik) dari Sungai Lempuyang. Bekas kubur masih menyisakan lubang sedalam kurang lebih selutut dan tidak berbentuk persegi panjang lagi karena sudah mengalami sedimentasi. Di sekelilingnya hutan masih lebat dengan pohon berukuran besar dan tinggi. Tidak ada jejak manusia yang baru memasuki hutan itu. Terlihat beberapa batu berserakan yang dipercayai bekas makam lama.
Oleh kerena itu, bekas kubur itu dikenal warga dengan nama kubur dak mekap (kubur tidak nutup).