Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Bekaespedia.com_Disuatu masa ketika Pulau Lepar masih di bawah cengkaraman kekuasaan Residen Inggris, penuh dengan hiruk-pikuk perlawanan dari penduduk Lepar. Penduduk utama Pulau Lepar adalah Orang Darat atau Orang Gunung, mereka menjalani kehidupan dengan ritme alam yang begitu harmonis, dengan berladang dan berume, serta berburu hingga meramu yang dipimpin oleh Kepala Rakyat.
Di wilayah lautnya, Kepulauan Lepar dihuni oleh Orang Laut, orang-orang yang sudah menjalin kehidupan dengan samudera luas yang disebut Orang Sekak, dalam catatan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court disebutnya dengan Orang Lepar yang hidup berkelompok di atas 4 sampai 10 perahu yaitu Kulek (Perahu Lipat Kajang).
Pulau Lepar merupakan pulau penting dan menjadi pusat perhatian Kesultanan Palembang Darussalam, karena kekayaan alamnya yang melimpah. Pulau ini adalah nadi kehidupan dan sumber kekuatan bagi kesultanan. Laksana berlian yang tersembunyi di dasar lautan, Pulau Lepar memancarkan kilauan kemakmuran dari perut buminya yang penuh dengan timah, dan lautannya yang penuh dengan hasil laut.
Bersama kemakmurannya itu, hadir juga ancaman dari Bajak Laut (Lanun) yang berkeliaran di perairan sekitar, serta kekuasaan Inggris yang merajarela mengambil kekayaan alamnya secara paksa. Untuk mengatasi hal itu, Kesultanan Palembang Darussalam dan Rakyat Lepar bersatu padu dengan perlawanan yang gigih, demi menjaga tanah mereka dari segala bentuk ancaman perompakan Lanun dan kekuasaan Inggris.
Sebagai tanah yang diberkahi, Pemerintah Kesultanan menyadari betapa pentingnya menjaga dan mengamankan Pulau Lepar. Oleh karena itu, Kesultanan mengirim orang-orang kepercayaannya yang berani dan setia, untuk memastikan kekayaan Pulau Lepar tetap terjaga.
Pada tahun 1812, utusan Kesultanan Palembang Darussalam tiba di Pulau Lepar. Seorang pejuang tangguh yang dipilih karena keberanian dan kesetiaannya pada Kesultanan. Dengan berseragam perang lengkap, dan mengibarkan bendera kebesarannya yang terpasang diatas kapal, serta pedangnya yang selalu siap siaga untuk menjaga Pulau Lepar dari segala ancaman. Dia datang bersama para pengikutnya yang gagah berani, dengan tatapan tajamnya yang selalu mewaspadai, dan mengawasi setiap sudut pulau.
Utusan itu bernama Raden Ali, seorang pendekar dari Kesultanan Palembang Darussalam yang dikenal dengan kehebatannya berpedang di medan pertempuran. Kedatangannya disambut dengan rasa curiga dan waspada oleh penduduk Lepar. Raden Ali dihadang oleh seorang pendekar Lepar yang juga terkenal dengan keberanian dan keahliannya dalam seni bela diri.
Melihat penghadangan itu, Raden Ali memerintahkan para pengikutnya untuk mundur. Pada waktu itu, pengikutnya adalah Rakyat Toboali yang dibawanya ke Pulau Lepar. Dengan tersenyum, Raden Ali ingin menguji kehebatan pendekar Lepar. Para pengikutnya pun mundur tanpa rasa beban dalam benak pikir mereka.
Dengan pandangan tajam, dan sikap yang penuh dengan keheranan, pendekar Lepar itu berdiri dihadapan Raden Ali, siap menghadapi segala kemungkinan.
“Aku adalah Ambuk, penjaga pulau Lepar. Siapa kau, orang asing? Apa tujuanmu menginjak tanah kami?, aku tak pernah melihat Lanun sepertimu sebelumnya!. Ucap dan tanya Ambuk dengan suara lantang, matanya menyelidik setiap gerak gerik Raden Ali.
Raden Ali hanya kembali tersenyum tak memberikan sepatah jawaban.
Merasa tersinggung dengan sikap Raden Ali, Ambuk melancarkan serangannya. Dia mengayunkan pedangnya dengan cepat, laksana kilat yang membelah langit senja. Gerakan mereka penuh dengan perhitungan, setiap langkah dan ayunan pedangnya menandakan bahwa kelihaiannya sudah mereka tempuh bertahun-tahun, demi menguasai seni beladiri.
Raden Ali dengan tenang menghindar dan membalasnya, gerakannya sehalus angin dan sekuat badai.
Pertarungan itu ibarat tarian yang memadukan keindahan dan kekuatan. Ambuk menyerang dengan ketepatan, namun Raden Ali selalu berhasil mengelakkan, membaca setiap gerakan, layaknya membuka lembaran buku yang sudah dikenalinya. Sejenak tapi terasa abadi, Ambuk mulai menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang jauh lebih tangguh.
Dengan kelihaiannya, Raden Ali melumpuhkan Ambuk tanpa menyakiti. Ambuk pun terengah-engah tapi tak terluka. Dia menatap Raden Ali dengan kekaguman dan rasa hormat yang baru tumbuh.
“Siapakah engkau sebenarnya, wahai orang yang penuh teka-teki?” Tanya Ambuk dengan napas tersengal.
Raden Ali menutup pedangnya, menunjukkan penghormatan. “Aku adalah Raden Ali, utusan Kesultanan Palembang Darussalam yang datang dari Bumi Sriwijaya, untuk bersatu dengan kalian menjaga kekayaan Pulau Lepar ini.”
Kesadaran menyapa wajah Ambuk. Dia bangkit membungkuk, dan meminta maaf atas kesalahpahamannya. “Maafkanlah aku, yang terlalu cepat menilai. Kini aku tahu bahwa engkau adalah utusan kesultanan”.
Raden Ali mengangguk, tersenyum lembut. “Tidak perlu meminta maaf, kehati-hatian mu adalah tanda cintamu pada pulau ini”.
Terdengar juga suara sapaan seorang pemuda dari pengikut Raden Ali yang berada dikejauhan, kemudian mendekat perlahan. “Ape kabar ka, oi petarung Lepar? ni ku Amien”. (“Apa kabarmu, wahai pendekar Lepar? Ini aku Amien”.)
Menggunakan bahasa daerahnya, Ambuk pun tersenyum bahagia dan semakin percaya dengan kehadiran mereka, Raden Ali dan temannya Amien di Pulau Lepar.
“Selamat datang di Pulau Lepar, pulau dengan aroma laut yang asin, bercampur dengan semilir angin”. Jawab Ambuk dengan perasaan bahagia.
Hari itu, dibawah langit yang berkhias awan, mereka bersama-sama menemui seorang pemimpin permukiman di Pulau Lepar. Di sana seorang pemimpin permukiman atau desa dianggap laksana Raja. Dengan penghormatan dan kebijaksanaannya, Raden Ali dan para pengikutnya menghadap pemimpin Lepar pada waktu itu.
Mereka berjalan menuju pemukiman di daerah berbukit yang tersembunyi di antara rimbunan pepohonan hijau. Mereka membawa pesan penting dari Kesultanan Palembang Darussalam untuk pemimpin desa di Pulau Lepar. Langkah mereka tegap, setiap langkahnya menggambarkan niat tulus melindungi tanah yang kaya akan kekayaan alam ini.
Raden Ali dan Ambuk pun tiba di pemukiman. Rakyat Lepar berkumpul, mata mereka penuh dengan keingintahuan. Di depan mereka, berdiri seorang pria tua dengan wajah penuh kebijaksanaan dan kewibawaan. Dialah Pemimpin Desa, pemimpin yang selama ini telah menjaga dan membimbing Rakyat Lepar dengan cinta dan kehormatan.
Raden Ali membungkuk dengan hormat dihadapan Pemimpin Desa. “Assalamualaikum, tuanku yang bijak. Aku Ali, utusan Kesultanan Palembang Darussalam. Aku datang dengan tugas mulia untuk membantu dan menjaga Pulau Lepar dari segala acaman. Sultan telah mempercayakan aku untuk memimpin rakyat di pulau ini, bukan untuk menggantikan tahtamu, tetapi untuk bersatu dalam menjaga tanah kita.”
Pemimpin Desa mengangguk perlahan, matanya menatap tajam ke arah Raden Ali. Setelah sejenak terhening, dia dengan suara lembut yang penuh dengan wibawa, berkata,”Aku sudah cukup tua untuk memimpin di permukiman ini, jika itu sudah menjadi keputusan Sultan, sebaik-baiknya adalah untuk kami. Aku menerima kehadiran mu, wahai Ali. Tugas yang engkau emban adalah tugas yang berat dan mulia. Musuhmu adalah musuh kami, kekuatan Inggris dan Lanun sangatlah kuat, kami merasa bahwa kekuatan kami juga takkan mampu mengatasinya. Bawalah Rakyat Lepar bersamamu, ajaklah mereka dalam perjuangan ini. Namun, biarkan aku tetap disini, menjaga tanah yang telah menjadi rumahku selama ini.”
Mendengar kata-kata yang penuh dengan kebijaksanaan itu, Raden Ali pun merasa lega. “Terima kasih, wahai pemimpin yang bijaksana. Untuk menyamarkan kedatanganku, panggil saja aku dengan nama Pangeran Adiwijaya. Nama ini akan menjadi umpan untuk para Lanun yang sedang bersembunyi. Aku akan membawa Rakyat Lepar dengan penuh tanggungjawab. Terutama kepada panglima perangmu, Ambuk. Jika aku bersamanya, aku dapat memastikan Pulau Lepar tetap aman.”
Pemimpin Desa mengangguk sekali lagi, lalu berkata,”Dia adalah pendekar yang tangguh dan setia, yang telah lama melindungi tanah ini dari kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh para Lanun. Dengan bantuannya, perjuanganmu akan menjadi lebih mudah dan kuat.”
Hari itu, dibawah cahaya mentari yang lembut, Raden Ali dan Ambuk berkumpul bersama Rakyat Lepar. Mereka berbincang membahas tentang strategi, dan tentang pentingnya persatuan. Setiap kata yang terucap membawa semangat dan harapan baru, menguatkan tekad mereka untuk menjaga Pulau Lepar.
Raden Ali dengan kepemimpinan dan kebijaksanaannya, menjadi sosok yang diandalkan oleh seluruh Rakyat Lepar. Sementara itu, Ambuk sebagai panglima perang yang setia selalu berada disisinya, bersiap mengikuti langkah dan perintahnya. Mereka berdua bagaikan dua pendekar yang tangguh dan sulit ditaklukkan.
Dalam tugasnya ini, Raden Ali sering kali harus bolak-balik dari Lepar ke Toboali. Pada waktu itu, Toboali merupakan pusat pemerintahan dikenal sebagai Distrik Toboali di Pulau Bangka. Raden Ali yang ditemani Ambuk mendatangi ayahnya yaitu Raden Keling sebagai Kepala Rakyat di Toboali, untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Terutama tanggungjawab mereka menjaga Toboali dan Pulau Lepar dari ancaman Lanun tak pernah surut. Meskipun begitu, ancaman dari Lanun yang datang dari laut terus menghantui kedamaian Rakyat Toboali dan Lepar.
Suatu hari, dalam perjalanan mereka dari Toboali menuju Lepar, tepatnya di selat Lepar. Raden Ali dan Ambuk, bersama pasukannya yakni Rakyat Lepar bertemu dengan Gembong Rayad yang dikenal sebagai perompak timah terbesar. Mereka juga dikenal sebagai Lanun terganas yang sering beroperasi di perairan laut Lepar dan Belitong.
Lanun tidak menyadari bahwa yang mereka hadang adalah Raden Ali dan Ambuk bersama Rakyat Lepar. Mereka hanya menyangka, bahwa kapal besar yang sederhana itu hanya ditumpangi oleh rakyat biasa. Pertempuran di laut pun tak terelakkan. Deburan ombak menjadi saksi, bersama riuhnya suara pedang.
Dengan gerakan yang cekatan, Raden Ali melompat dari atas rumah kapal, sementara Ambuk mengikutinya tanpa ragu. Pedang beradu, dentingan logam menggema dan menggetarkan seisi kapal. Para Lanun yang selama ini merasa tak terkalahkan, terkejut dengan kelihaian dan keahlian berpedang kedua pendekar ini.
Naas, para Lanun itu berhasil dilumpuhkan dan ditangkap oleh Raden Ali dan Ambuk. Dengan tangan terikat, para Lanun terganas itu dibawa ke Pulau Lepar. Wajah mereka penuh dengan ketakutan dan penyesalan, mengetahui bahwa hari-hari mereka dalam merampok, menyakiti, hingga menindas Rakyat Lepar akan berakhir.
Penduduk Lepar menyambut kedatangan Raden Ali dan Ambuk dengan rasa syukur. Suasana terasa penuh ketegangan melihat para Lanun yang tertangkap, tergambar jelas perasaan yang lebih dalam dari sekadar kegembiraan, ada dendam yang membara dan luka yang tak mudah sembuh.
Para Lanun yang tertangkap dibawa ke tempat penghukuman. Tempat itu berada tak jauh dari Bukit Penyengat dan Tanjung Gegading disebut dengan Tumbek. Tempat ini dikenal sangat angker karena dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan kondisi tanah yang bertebing, sinar mataharipun susah menembusnya, hanya suara jangkrik yang terdengar.
Para Lanun itu dikelilingi oleh kebanyakan orang tua dari penduduk Lepar terkecuali anak-anak. Mereka para orang tua yang selama ini hidup dalam bayang-bayang teror Para Lanun. Sudah banyak keluarga mereka yang meninggal dan hilang di laut atas ulah dari Para Lanun tersebut. Setiap orang disana pernah merasakan kejahatan yang dilakukan oleh Para Lanun ini. Rumah-rumah, kapal-kapal mereka, orang-orang tercinta mereka pernah disakiti, dan rasa aman mereka pernah direnggut. Setiap langkah mereka mendekat, membawa kenangan pahit dan luka yang amat menyiksa.
Melihat wajah-wajah dari Rakyat Lepar pada saat itu, Raden Ali juga menjadi murka, memahami kebencian yang mereka alami. Dengan amarahnya dia berkata “Wahai kalian para pengkhianat yang kejam, yang rela membunuh orang-orang sebangsa dan setanah air kalian sendiri, sedangkan orang-orang asing menjadi raja dan penguasa di negeri sendiri, sungguh tak beradab!”
“Kami butuh makan, kami butuh hidup, maka hukum rimbalah yang kami pedomankan, tak peduli siapa yang kami hadapi, semua kami lakukan untuk kelompok kami, hahahaha!”. Jawab pemimpin Lanun sambil tertawa.
Mendengar tertawanya, membuat Raden Ali menjadi murka. Teriakan Rakyat Lepar menyiratkan dendam yang membara. Membuatnya semakin berapi-api hingga menggenggam erat Pedang Kadga yang dia pegang. Ambuk dengan pedang di tangannya juga berdiri tegap disamping Raden Ali. Pada saat itu juga mereka meilihat Para Lanun bagaikan sekawanan domba yang siap diburu satu persatu.
Tak butuh waktu lama, seluruh Lanun yang tertangkap tumbang ditempat, seluruh tanah berwarna merah berlumuran darah, tidak ada kata ampun untuk para pengkhianat negeri. Tanah Tumbek, yang dulu penuh dengan ketakutan, kini berwarna merah oleh darah Lanun yang menyebar teror. Tanah merah itu menjadi simbol penuntasan dendam dan penderitaan Rakyat Lepar dari Para Lanun.
Tempat itu tidak hanya sebagai tempat penghukuman untuk para Lanun, akan tetapi kepada para pasukan Inggris yang jahat dan tertangkap secara diam-diam juga dibawa ke tempat Tanah Tumbek yang berganti nama menjadii Tanah Merah di Pulau Lepar.
Disiasati oleh Raden Ali dan dijalankan oleh Ambuk, pasukan Inggris yang jahil dan merasa mereka kuat, terkejut dengan sergapan para pejuang Rakyat Lepar. Mereka digiring ke tanah yang telah menyaksikan banyak darah dan perjuangan.
Aksi-aksi perlawanan Rakyat Lepar sudah mulai bangkit. Mereka berjuang melepas diri dari penindasan oleh tangan-tangan yang jahat dan tak berprikemanusiaan.
Bersambung
Toboali, 3 Oktober 2024