Legenda Ular Raksasa di Bukit Panca

Penutur : Ketua LAM Bangka ( H. Sarnubi)

Bukit Panca diwilayah desa Bukit Layang Kecamatan Bakam Kabupaten Bangka.

Oleh : Kulul Sari

Dikisahkan, pada zaman dulu disuatu senja ada lima orang pemuda yang hendak pulang dari belapun* kijang, saat itu sedang hujan gerimis.

Untuk menghindari hujan agar tidak basah, Kelima pemuda itu berteduh di ceruk atau gua kecil. Salah seorang dari lima pemuda itu membawa tombak sekira sehasta lebih tinggi dari yang punya tombak itu.

Saat memasuki gua kecil itu, tombaknya ia sandarkan di dinding gua.
Untuk menghilangkan kebosanan serta menghangatkan tubuhnya, mereka duduk mencangkung* sambil menggulung rokok daun untuk memanaskan badan. Sesaat kemudian asap rokokpun mulai mengisi ruang gua yang kecil itu, selanjutnya asappun lenyap tertiup angin senja, dan meninggalkan aroma khas.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba salah seorang dari mereka matanya melihat dan mengamati mata tombak yang disandarkan temannya. Ia merasa heran karena dari ujung sebelah atas hingga bawah tombak mengalir perlahan air berwarna merah yang sangat mirip warna darah.

Karena merasa agak aneh dan penasaran, ia memberitahu keanehan itu kepada empat rekannya,

“Kawan, coba lihat dan perhatikan pada tombak itu, warna airnya merah mirip darah”, ujarnya kepada rekan-rekannya.

Karena tertarik, keempat rekannya menoleh dan memperhatikan kearah tombak itu.

Setelah diperhatikan dengan seksama, kelimanya terkejut karena yang mereka lihat adalah benar-benar darah, sedangkan mulut gua semakin turun dan mengecil. Melihat itu mereka bergegas ke luar gua dan mengamati sekelilingnya.

Tiba-tiba ada suara gemuruh mirip guruh atau suara guntur. Spontan kelima pemuda itu menghindari tempat itu dan berlari mengambil langkah seribu.

Merekapun tiba disebuah pondok seorang warga dan dikenal sebagai seorang dukun kampung. Nafasnya naik turun dan terengah-engah ketakutan dan hampir pingsan.

Walaupun sudah agak menjauh dari gua itu, namun mereka masih mendengar suara gemuruh yang menggelegar di angkasa.

Setelah memenangkan diri, kelima pemuda itu menceritakan semua peristiwa yang mereka alami kepada tetua atau yang dianggap seorang dukun di perkampungan itu. *

Menerima laporan dan kisah dari kelima pemuda itu, sang dukun kampung sangat khawatir akan terjadi balak besak alias bencana di kampung mereka. Ia jadi teringat peristiwa beberapa puluhan tahun silam, kemudian ia bertutur kepada lima orang pemuda itu. . .

“Doeloe, ada seorang dukun sakti sedang bertapa di bukit itu”, kata orang tua itu memulai ceritanya sembari mengarahkan dan menunjukkan ke arah cerukan atau gua dimana mereka berteduh sa’at peristiwa terjadi

Suatu sore dia kedatangan seekor ular yang besar dan meminta izin kepada dukun itu untuk ikut bertapa di bukit tersebut. Sang dukun tidak keberatan dan iapun mengizinkan sang ular untuk bertapa

Kemudian sang dukun membangun pundok atau pemukiman di dekat bukit yang kini menjadi kampong,

“nah yang terjadi kemarin sore itu, gua kecil yang kalian berteduh itu adalah mulut ular yang sedang bertapa. Saking lamanya sudah ditumbuhi lumut. Ketika tombak yang kalian sandarkan di situ, mulutnya bereaksi karena ada unsur besinya”, lanjut orang tua itu

Mendengar penuturan sang dukun, Kelima pemuda itu bergidik ketakutan.

“Untung kite dak di tangop ular tu aok”, ujar salah seorang dari lima pemuda itu, menggigil membayangkan bila mereka tidak cepat menyelamatkan diri

“Karena pengaruh besi tombak itu, ia mencoba mengatupkan mulutnya. Maka mulutnya tertusuk dan berdarah, serta menggelepar disertai dengan suara gemuruh. Dan Ular itu langsung pergi ke arah lautan”, lanjut si orang tua menuturkan kisahnya

Benar saja, esok harinya warga mendatangi dan melihat bukit dan rimba ini sudah bungkas-bangkis* dan ada bekas yang cukup unik mengarah dan menuju ke lautan.

Setelah peristiwa itu, bukit kecil bekas peristiwa lima pemuda yang hampir celaka itu oleh warga disebut dengan nama Bukit Panca. Kisah ini merupakan legenda yang terjadi di sebuah bukit ini terletak di wilayah desa Bukit Layang Kecamatan Bakam Kabupaten Bangka.

Panca artinya lima dalam bahasa lokal yang melambang lima jari tangan.
Pada masa itu kaum lelaki sangat suka dengan lomba ‘bepanca atau bepanco’. Sebagaimana di kisahkannya kepada Mang Kulul.

Catatan :
*Belapun adalah berburu rusa, kancil atau kijang dengan jaring yang dibuat khusus sebagai perangkap
*Duduk mencangkung yaitu duduk menjongkok
*Bungkas-bangkis yaitu berantakan atau porak poranda

Exit mobile version