Oleh : Armadi Saputra (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung)
Bekaespedia.com _ Sungai Rangkui merupakan sungai yang membentang sepanjang kurang lebih 7,36 kilometer yang mengalir melalui jantung Kota Pangkalpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara administratif, Sungai Rangkui terletak di wilayah administrasi Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Kabupaten Bangka Tengah. Sungai ini bermula dari Perbukitan Mangkol dan mengalir melalui Kota Pangkalpinang sebelum akhirnya bermuara ke Laut China Selatan. Keberadaan Sungai Rangkui sangat penting bagi masyarakat setempat, karena berfungsi sebagai sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga dan habitat bagi berbagai spesies ikan air tawar. Selain sebagai sumber air dan habitat bagi makhluk hidup, Sungai Rangkui juga berfungsi sebagai tempat menampung air dan jalur transportasi menuju laut melalui Sungai Baturusa.
Masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Rangkui telah memiliki pengetahuan turun-temurun mengenai beragam flora dan fauna yang berada di sungai. Pengetahuan ini dapat mencakup informasi tentang manfaat, kegunaan, dan hubungan antara berbagai spesies. Mereka mengetahui bahwa beberapa jenis ikan tertentu hanya dapat hidup di air yang bersih dan kaya oksigen, seperti ikan mas dan ikan gurami. Sebaliknya, jika banyak ditemukan ikan gabus atau ikan nila, dapat menjadi indikasi bahwa kualitas air sudah tercemar.
Masyarakat Sungai Rangkui memiliki tradisi “Nanggok ikan” yang artinya menangkap ikan secara berkelompok menggunakan alat tradisional. Peralatan yang digunakan cukup sederhana, yaitu tangguk (alat tangkap tradisional yang terbuat dari bilah bambu yang dianyam dengan rotan membentuk lingkaran setengah bola) dan lampu senter. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada waktu menjelang malam hingga malam hari. Teknik yang dilakukan juga sederhana. Kita hanya menyusuri tepian sungai dengan mengarahkan senter di pinggiran sungainya. Mereka menargetkan ikan betutu dan lobster biru sebagai hasil tangkapannya karena lebih mudah ditangkap. Untuk menangkapnya, kita hanya perlu mengayunkan tangguk ke arah tepian sungai.
Berbagai spesies ikan air tawar seperti ikan kelik puteh, pala pinang, dan betutu dulunya mudah ditemukan di Sungai Rangkui. Namun, kondisi sungai yang menjadi urat nadi kehidupan Kota Pangkalpinang tersebut kini telah berubah. Air sungai yang semula jernih, sekarang berubah warna menjadi coklat dan biota yang hidup di dalamnya sudah mulai berkurang. Berubahnya kondisi Sungai Rangkui disebabkan meningkatnya aktivitas manusia di sepanjang sungai. Sepanjang hulu Sungai Rangkui terdapat aktivitas tambang inkonvensional atau tambang ilegal dan perkebunan lada. Sisa pupuk kimia dan pestisida yang dihasilkan dari kegiatan perkebunan masuk ke badan sungai kemudian menyebabkan eutrofikasi sehingga mengganggu keberlangsungan biota air dan menurunkan kualitas air. Sedangkan pada bagian tengah dan hilir Sungai Rangkui merupakan wilayah permukiman, pasar, dan perkantoran. Kawasan ini menghasilkan limbah domestik, limbah sabun, hingga kotoran manusia.
Menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Pangkalpinang, kondisi Sungai Rangkui saat ini sangat memprihatinkan. Pencemaran yang parah, terutama di bagian hulu dan tengah sungai, telah menyebabkan kualitas air menurun drastis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan fisik air sungai yang menjadi keruh kecoklatan dan berbau tidak sedap. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya kandungan polutan yang tinggi di dalam air. Penyebab utama pencemaran Sungai Rangkui adalah aktivitas manusia. Letak geografis sungai yang melintasi kawasan pemukiman padat dan kawasan industri menyebabkan sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mudah. Limbah domestik dari rumah tangga, limbah industri, serta sampah yang dibuang sembarangan secara langsung ke sungai menjadi sumber utama pencemaran.
Kualitas air yang buruk akibat pencemaran dapat membahayakan kesehatan manusia jika digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan memasak. Selain itu, pencemaran juga mengancam keberlangsungan hidup biota air seperti ikan, udang, dan berbagai jenis organisme lainnya. Pencemaran dapat menyebabkan kematian massal biota air, merusak ekosistem perairan, dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Dalam konteks ilmiah, kondisi Sungai Rangkui dapat dikategorikan sebagai eutrofikasi, yaitu suatu proses penumpukan nutrisi dalam badan air yang menyebabkan pertumbuhan alga yang berlebihan. Pertumbuhan alga yang tidak terkendali ini dapat mengonsumsi oksigen terlarut dalam air sehingga menyebabkan kematian organisme akuatik lainnya.
Pencemaran akibat limbah domestik, industri, dan pertanian menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem sungai. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah pencemaran di Sungai Rangkui. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penegakan hukum terhadap pelaku pembuangan limbah ilegal. Selain itu, pemerintah juga fokus pada pembangunan dan peningkatan kapasitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk mengurangi beban pencemaran. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat juga gencar dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan sungai. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan masyarakat, LSM, akademisi, dan dunia usaha juga menjadi kunci dalam upaya pengelolaan Sungai Rangkui. Meskipun demikian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti kurangnya kesadaran masyarakat, lemahnya penegakan hukum, dan keterbatasan anggaran. Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat, penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.