Penulis: Yoelch Chaidir
Matahari telah terbit dari ufuk timur namun Rino belum juga kembali ke rumah setelah semalaman bergelut dengan lumpur di laut Tukak.
Suatu hal yang tak lazim dikarenakan air laut sudah pasang dan tak mungkin bagi pencari udang dengan cara ditombak atau nyulo ketika air surut malam hari.
Kegelisahan pun terjadi di dua perkampungan Tukak Tiram ketika itu.
Kini Tukak Tiram sudah menjadi sebuah kecamatan dengan nama Kecamatan Tukak Sadai yang dipimpin seorang Camat putra daerah dari Desa Tukak itu sendiri bernama Felly Husaini.
Rino yang berumur belasan tahun malam itu ikut serta dengan peralatan seadanya mengarungi lumpur laut Tukak dengan air laut cuma sebatas mata kaki hingga lutut orang dewasa.
Hari semakin larut hingga menjelang disepertiga malam cahaya lampu dari sorot senter yang diikatkan di kepala merubah suasana laut Tukak. Laksana ribuan kunang kunang mmenuhi laut Tukak terlihat dari pesisir pantai.
Rino yang terpisah dari rombongan malam itu menelusuri karang-karang yang terhampar di ujung timur laut Tukak hingga ia pun mampu menyeberangi aliran air menuju sebuah pulau kecil tepat di seberang desa.
Pulau Anak Air adalah sebuah pulau kecil yang ketika air laut pasang tak mungkin seseorang bisa untuk berjalan kaki menyeberang menuju ke sana namun tidak Bagi Rino yang malam itu seakan ada seseorang yang mengarah kannya hingga ia terdampar di sana.
Jangankan ketika pasang datang saat air surutpun tak mungkin orang-orang mampu untuk berjalan kaki menapaki Pulau Anak Air jika tidak menggunakan perahu atau sampan namun mengapa Rino bisa sampai ke Pulau Anak Air dengan berjalan kaki menyeberangi alur yang begitu dalam?
Rino melambaikan tangannya ke arah perahu nelayan yang baru saja selesai mengangkat pukat kepiting di seputaran Pulau Anak Air.
Dengan tergesa-gesa Rino menaiki perahu yang akan pulang ke pangkalan tambatan perahu di Desa Tukak.
Tak banyak kisah yang Rino ceritakan kepada pemilik perahu mengapa ia sampai ke Pulau Anak Air.
Di ujung dermaga orang-orang yang sedari telah tadi menyiapkan perahu untuk melacak keberadaan Rino pun berdecak saat melihat kedatangan Rino dengan menumpang sebuah perahu nelayan.
Tak banyak udang yang ia dapati malam itu namun banyak cerita yang ia sampaikan kepada paman serta orang orang yang merasa resah menanti kedatangannya.
Rino merasakan malam itu ia masih mengikuti langkah sang paman ke arah Pulau Anak Air namun air yang di anggap orang-orang tidak bisa di seberangi tidak ada sama sekali dan hanya sebatas mata kaki kata Rino.
Ia hanya berjalan melewati air paling dalam sebatas lutut mengikuti pamannya yang telah dulu sampai ke Pulau Anak Air. Namun setelah Rino tiba di Pulau Anak Air, seseorang dengan sinar lampu menyala di bagian kepala yang dianggapnya adalah sang paman tak dapat ia jumpai.
Ketika ia ingin kembali ke arah semula datang tak dilihatnya air yang sebatas lutut namun air laut mulai pasang dan harus dengan berenang.
Ketakutan Rino malam itu memuncak dan ia hanya pasrah dengan memberi isyarat lewat senter yang digerakkan berulang kali ke arah laut Tukak namun tetap sia sia tak membuahkan hasil.
Menunggu adalah hal yang tepat, pikir Rino dalam hati dengan menahan rasa takut dan lapar ia hanya bisa diam sebelum melihat sebuah perahu nelayan melintas tak jauh dari ia berpijak.
Pengalaman dari Sang Rino bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Desa Tukak Tiram yang sering dan beberapa kali ketika nyulo ke laut diarahkan ke Pulau Anak Air yang berjarak lumayan jauh dari pangkalan perahu Desa Tukak.
Konon Pulau Anak Air adalah sebuah pulau tanpa penghuni yang dianggap angker oleh masyarakat sekitar Desa Tukak Tiram.
Masih menjadi misteri siapa penunggu Pulau Anak Air yang menjadi perbincangan masyarakat sekitar.
Dengan tidak menjauh dan memisahkan diri dari rombongan ketika mencari udang atau bekarang pada malam hari yang biasa di sebut nyulo akan lebih aman untuk hal-hal di luar nalar manusia hingga bisa kembali ke pangkalan dermaga saat air mulai pasang kembali. (BP)*