Opini  

Pengalok Bernada Penyerurok

sumber : rumah filsafat

Oleh : Rusmin Sopian

Bekaespedia.com _ Seorang pemimpin memang harus punya impian. Untuk merealisasikan impian bagi kemakmuran rakyat yang telah memilihnya, seorang pemimpin pilihan rakyat memerlukan dukungan dan support. Kalau pemimpin pilihan rakyat itu memimpin sebuah Provinsi / Kabupaten, maka aliran dukungan berupa pemikiran konseptual operasional beraplikasi nyata di lapangan bersumber dari para kepala Dinas (Kadin)/Kepala badan atau kepala kantor dan pejabat struktural lainnya.

Impian seorang pemimpin daerah hanya tinggal wacana dan mimpi disiang hari bolong, ketika Para Kadin/Ka.badan/Kakan tidak bisa mengalirkan suport dan mengaplikasikan gagasan/ide-ide brilian dari sang pemimpin daerah. Variabelnya bisa saja karena Kadin atau pejabat eselon II yang diangkat dan diberi beban jabatan itu tidak memahami bidang tugas yang diembannya. Ini amat sesuai dengan nasehat nabi bahwa apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Pada sisi lain, banyak para pembantu pemimpin daerah yang menggunakan aksi purba dalam berusaha mengambil hati sang pemimpin daerah dalam upaya untuk mengamankan jabatan yang diembannya. Dalam konteks untuk menyenangkan hati sang pemimpin daerah, sebagai bawahan terkadang harus berlakon sebagai pengalok (bhs. Toboali: pemuji).

Tak heran konsep, gagasan dan ide yang ditawarkan sang pemimpin daerah selalu dipuji didepan pemimpin daerah sebagai ide dan gagasan yang luarbiasa, orisinil dan sangat baik kendati dalam konsep operasional dilapangan ide sang pemimpin daerah sungguh-sungguh sangat tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat, bahkan merugikan rakyat banyak.

Ajaibnya sang pemimpin daerah justru hobby dialok (bhs. Toboali : dipuji). Pemimpin daerah entah karena jabatannya malah bangga dengan pujian sang bawahan. Bahkan bawahan yang tidak mampu bekerja karena ketidakpahaman akan bidang tugas yang diembannya namun memiliki kepiawaian sebagai pengalok (bhs. Toboali: pemuji) malah dianggap pemimpin daerah sebagai seorang birokrat yang memiliki loyalitas dan dedikasi terhadap pekerjaannya.Padahal dibelakang punggung sang pemimpin daerah, bawahan dengan nada berkicau-kicau menguraikan ketidakmampuan pemimpin daerah sebagai pimpinan daerah.
Style pemimpin daerah dan bawahan yang saling berkolaborasi sebagai pengalok ini amat merugikan rakyat. Sebagai rakyat suatu daerah tentunya tidak akan mendapatkan energi dan vitamin untuk meraih kesejahteraan dari budaya saling ngalok ini.

Sebagai bawahan, ketika pemimpin daerah bertindak keliru dan tidak on the track harusnya diberi saran. Bukan dibiarkan atau dipuja-puji setinggi langit didepan sang atasan.Budaya dan gaya ini memang amat susah dieleminir ketika jabatan menjadi incaran dan target dalam bekerja tanpa didukung pengabdian. Budaya ABS (asal bapak Senang) memang susah bahkan teramat susah dihilangkan ketika kekuasaan atas jabatan menjadi target dalam bekerja tanpa ukungan prestasi sebagai basic dalam bekerja.

Budaya menyenangkan bahkan meninabobokan pemimpin hingga mimpi ke langit tujuh yang sudah amat mengakar ini memang teramat susah dihilangkan ketika sang bawahan tidak memiliki kompetensi unggul dan prestasi dalam bidang tugasnya.Ketidakpahaman sang pemimpin daerah sebagai pemberi amanah dan besarnya hasrat sang bawahan untuk memegang jabatan esselon II merupakan sumber dari lahirnya sikap dan budaya saling ngalok ini.Padahal sejarah telah mencatat dan mengabarkan fakta kepada kita bahwa begitu banyak pemimpin daerah harus berurusan dengan hukum akibat ulah bawahannya yang tidak paham akan bidang tugasnya dan bersikap ABS yang merupakan akronim dari Asal Bapak ke Bukit Semut.

Pada sisi lain, masyarakat memang akan memuji setinggi langit impian dan mimpi serta ide brilian sang pemimpin daerah.Akan tetapi ketika bertahun-tahun mimpi dan gagasan brilian pemimpin daerah hanya berupa wacana dan wacana berbau Omong Doang alias OmDo tanpa ada bukti nyata untuk mereparasi kesejahteraan rakyat, bukan tidak mungkin pujian yang dilontarkan masyarakat berubah menjadi nada fals yang berbau nyerurok (bhs. Toboali: pujian yang berlebih-lebihan dan tak masuk akal) yang bernada satire.

Untuk itu introspeksi diri memang sangat kardinal dan urgen untuk diaplikasikan sang pemimpin daerah dalam mewujudkan mimpi-mimpi indahnya bagi kesejahteraan rakyat yang memberinya amanah sebagai pemimpin daerah. Kalau tidak maka mimpi dan impian itu hanya berupa wacana, omdo dan kelakar semata tanpa bukti dan realisasi nyata sampai akhir masa abdinya sebagai pemimpin daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *