Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Bekaespedia.com_Masa telah bergulir, meninggalkan jejak sejarah yang tak terlupa. Perubahan datang, seperti badai di samudera. Menggulung waktu, melarutkan segala asa.
1819 Masehi, dikeluarkannya Tin Reglement menjadi bayang-bayang yang merayap, membungkus harta karun dari perut bumi. Monopoli Belanda, dalam kekuasaannya berhasil membungkam harapan dan asa. Timah yang dulunya adalah kekayaan di negeri ini, kini diikat erat dalam genggaman besi.
Memunculkan perlawanan dan penentangan oleh Rakyat Bangka. Setiap pusat kekuatan menjadi bara, menyebar, meluas, melawan arus, menantang nasib yang datang mengalir deras, ulah dari para penjajah.
Aksi perlawanan digencarkan, disetiap penjuru Benteng ke Benteng lainnya. Pertempuran atau gerilya lautpun juga menjadi taktik yang terencana. Dimana ombak menjadi sekutu, disitu juga laut menjadi sarang. Bersatu padu bak nyanyian perang, yang menderu kencang. Menjadi kisah bagi para pejuang, yang pulang, dan tak berpulang.
Pulau-pulau telah terlampaui, setiap pasirnya yang terinjak, setiap karangnya yang terluka, menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tak kunjung usai. Dibawah bendera keberanian, perlawanan digerakkan oleh pejuang-pejuang tangguh seperti Raden Keling, Raden Ali, Raden Machmoed dan Raden Badar beserta dengan para pengikut setia mereka.
Pertempuran dimulai dari Benteng Toboali, Benteng Penutuk, Benteng di dekat sungai Kepoh dan sungai Bantel, serta Benteng di Pulau Tinggi, dan sebagai pusat kekuatan berikutnya berada di benteng yang dekat dengan sungai Nyireh.
Mereka bertempur tanpa ampun, maju dengan hati yang tak gentar. Pedang dan meriam beradu, menghancurkan kapal-kapal diantara riak yang liar.
Beriringan dengan waktu yang bergulir kencang, Distrik Toboaly juga mulai terbagi kedalam tiga wilayah depati yaitu Depati Permesang, Depati Balar dan Depati Pako. Seperti daun yang bermekaran di cabang-cabang yang berbeda. Diantara jalur-jalur yang baru dibuka, terpancar semangat yang tak terbendung.
Ditengah perubahan itu, pelabuhan di Toboaly juga mulai menjulang dengan bangga di pantai yang berdenyut dan berpasir putih, berdiri kokoh dengan berlambangkan jangkar layaknya pencakar lautan. Terikat dengan bendera merah putih biru yang berkibar.
Keberadaannya mulai menyisihkan kenangan tentang Tanjung Sabang, menyaksikan transformasi yang melukis masa depan, disetiap batu yang diletakkan.
Dalam setiap pertempurannya, Raden Keling selalu berdiri gagah bersama pengikutnya dan para pejuang lainnya. Ia berseru kepada para penjajah. “Kami terlahir dalam denyut perlawanan, bukan untuk tunduk pada belenggu penjajah”.
Teriakan kata-kata keberanian, serentak dengan dentuman meriam, mereka melangkah bersama dalam nyanyian perang. Para pejuang dan pengikutnya ikut bersorak layaknya seruan yang mematikan. Bersatu dalam satu tujuan, demi kebebasan dan kejayaan.
Waktu dan hari kembali berganti, hingga sampailah pada Mei 1819. Beberapa para lanun setelah tunduk dan sadar dihadapan Raden Keling dan Raden Ali, mereka bergabung dengan Rakyat Toboali, berjuang bersama Kepala Rakyat Toboali yaitu Batin Pa Amien.
Batin Pa Amien memimpin perlawanan Rakyat Toboali dengan gagah dan berani. Mereka menyerbu pos militer Benteng Toboali, dibekali dengan strategi dan ambisi yang telah disepakati. Penyerangan dimulai dari pesisir pantai yang dipeluk oleh riak laut. Mereka maju, layaknya gelombang yang terpaut.
Terdapat 40 prajurit di bawah Letnan Biery. Layaknya pertahanan yang tersusun kuat dan rapi. Tak sedikitpun menyurutkan gemuruh mereka, tentang apa yang akan mereka hadapi.
Alhasil, tak butuh waktu lama, Batin Pa Amien berhasil merebut Benteng Toboali, kembali dalam kendali.
Disisi lainnya, Raden Keling terus menyemangati Rakyat Toboali, “Kita Rakyat Toboali bersatu untuk perlawanan, keluh kesah rakyat adalah serunai perang yang membangkitkan nyali pertempuran. Tak ada jabatan, tanah, perhiasan, bahkan lauk-pauk untuk kita, hadiah dari mereka para penjajah. Bujuk rayu mereka hanyalah kepalsuan, semua adalah milik kita yang sebenar-benarnya. Pantang menjilat ludah, pantang juga bermandikan kotoran. Kini kita bangkit membentuk kejayaan, di tanah yang kaya, di negeri timah yang jaya”.
Raden Ali dengan semangat barunya, juga ikut bertempur dengan gigih. Perairan laut Lepar dan sungai Kepoh menjadi tujuannya bergerilya. Para bajak laut yang tertangkap, kembali tunduk dan tersadar akan kelakuan mereka, hingga mereka memutuskan untuk ikut bergabung kedalam pasukan Raden Ali.
Kekuatan pasukan mereka kembali bertambah, layaknya gunung yang tak tergoyah. Bahu membahu, mereka bergerak. Bagaikan aura yang menggertak.
Kekuatan ini bukanlah sekedar otot dan senjata, tetapi jiwa yang menyala dengan keberanian yang tiada tara.
Serangan lainnya juga terjadi atas sejumlah pos militer di pesisir Barat Laut Bangka, tepatnya di Koeboebangka (Bangka kota). Para pejuang di Koeboebangka berjuang tanpa lelah.
Mereka bertempur diantara hutan-hutan lebat, bergerak dalam diam bak pendekar bayangan. Menghadang penyerbuan dari para militer Belanda yang sudah terlatih dalam perang di Palembang.
Mendengar berita akan penyerbuan itu, membuat resah para pejuang yang berada di Toboali. Termasuk Raden Keling, yang biasanya berprilaku tenang, namun kali ini ia merasakan kegelisahan yang mendalam. Dikarenakan pasukan militer Belanda yang berada di Koeboebangka adalah militer terlatih yang kekuatannya sulit untuk digambarkan.
“Kita tak bisa berbuat apa-apa, mengingat jarak tak memungkinkan untuk ditempuh, waktu yang tak bisa dihentikan. Aku hanya bisa berharap dan berdoa agar baik-baik saja. Semoga sang pejuang dari tanah penyampar dapat meredamkan semuanya dengan mudah. Ia bukan orang biasa, Ia adalah orang yang terpilih dari yang dipilih, Ia juga akan menjadi pejuang yang terukir dalam sejarah”. Seru Raden Keling.
“Siapa orang itu, Ayah?”. Tanya Raden Ali.
“Kau akan mengenalinya, ketika waktunya telah tiba”. Raden Keling.
Bersambung
Toboali, 19 Agustus 2024