Pesona Hutan Kelekak : Kisah Manggat dan Putri Burung Siau

Penulis : Belva Al Akhaf

Di tengah hutan rimba Kelekak Sepang yang lebat, hiduplah seorang petani muda bernama Manggat Sang Sintai. Setiap hari, ia menebas semak belukar untuk berladang padi, berpindah-pindah mengikuti musim.

Suatu pagi, saat mentari baru menyingsing, Manggat memasang tujuh perangkap burung (repas) dari rotan dan ranting di pinggir hutan.

“Semoga hari ini aku dapat burung besar untuk lauk makan,” gumamnya penuh harap.

Pada hari pertama hingga ketiga, perangkapnya hanya terjebak ranting kering. Manggat kesal,

“Aku harus mengintip siapa yang mengganggu perangkapku!” tekadnya. Esok pagi, ia bersembunyi di balik pohon ara. Tak lama, datanglah tujuh ekor burung siau berbulu hijau zamrud, bersuara merdu seperti seruling.

“Nit-nit! Lihat perangkap siapa ini?” kicau burung pemimpin.

“Pasti milik Manggat! Ayo kita hancurkan!” ujar mereka dengan suara serentak.

Kemudian mereka mematuk-matuki repas itu sambil bernyanyi:

“Ku pijak, ku itik, tak bingkas!

“Ku lempar ranting sebaru, baru hancur!”

Kata mereka dengan tiangnya

Melihat apa yang di saksikan di depan matanya itu, Manggat terkesima. Tapi saat burung-burung itu melempari repas dengan ranting, tiba-tiba satu ekor terinjak perangkap!

 

“Kreek! Tolong!” jerit burung kecil itu. Tanpa pikir panjang, Manggat segera berlari, menuju arah burung yang kena repasnya dan menangkapnya dengan hati berdebar.

“Jangan bunuh aku, Kak Manggat!”, kata burung itu tiba-tiba berbicara.

“Peliharalah aku, niscaya kau akan mendapat berkah.”lanjut burung itu penuh ketakutan.

Manggat terpana dengan apa yang ia saksikan. Kemudian Ia membawa burung ajaib itu ke pondoknya, membuatkan sangkar dari kayu jati berukir.

 

Sejak saat itu Keajaiban pun dimulai. Setiap hari, sepulang dari berladang, Manggat mendapati makanan hangat di meja. Nasi pulen, gulai udang sungai, dan sayur rebus tersaji di meja makan.

“Siapa yang memasak ini?” gumamnya penasaran.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya, suatu hari Ia pun berpura-pura pergi ke hutan. Setelah tidak nampak dari pengawasan, lalu ia menyelinap kembali, dan mengintip.

 

Dari persembunyiannya, Manggat melihat burung Siau melompat dan keluar dari sangkar, dan seketika berubah menjadi seorang putri cantik berjubah hijau. Manggat terpana dan terpesona melihat kecantikan sang Putri.

Manggat terus bersembunyi dan menyaksikan lebih jauh lagi apa yang dilakukan sang putri.

Tanda tanya yang beberapa hari ini terjawab sudah. Putri itu memasak dengan lincah, lalu pergi ke sungai mencari udang. Saat ia kembali. Kemudian memasaknya, persis seperti apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Kemudian Manggat keluar dari persembunyiannya dan menyergap serta mengambil jubah bulu burung (keles) yang tersimpan di sangkar.

 

“Hahaha! Akhirnya kau ketahuan, Putri!” seru Manggat.

Sang Putri terkejut, namun tidak bisa menyembunyikan identitas dirinya. Putri tersipu malu,

“Kembalikan jubahku, Kak!”, pinta Putri

Manggat menggeleng kepala,

“Tidak, kecuali kau mau jadi istriku!”, ujar Manggat

Sang putri menghela napas,

“Baik, tapi ada syarat”, ujar Sang Putri,

” Apa syaratnya?”, tanya Manggat Penasaran.

“Jangan pernah kau ambil sisir emasku jika jatuh ke kolong pondok!”, kata Putri

” Ah, itu syarat yang mudah”, jawab Manggat

 

Selanjutnya merekapun menikah.

Suatu hari Putri Siau mengajak Manggat menebar potongan jubah burungnya ke sekeliling pondok. Ajaib! Tumbuhlah pohon durian raksasa, manggis manis, duku lebat, dan aren penghasil gula. Hutan Kelekak pun berubah menjadi surga.

Kebahagiaan mereka bertambah saat lahir seorang bayi perempuan bernama Kinar. Namun, suatu siang, saat Kinar menyisir rambut ayahnya, sisir emas terjatuh ke kolong pondok! Tanpa pikir panjang, Kinar mengambilnya.

 

“Kraaak! Tiba-tiba guntur menggelegar disertai petir yang menyambar. Putri Siau berteriak:

“Kak, kau lupa janji!” teriak Putri.

Seketika, Putri dan Kinar berubah kembali menjadi burung Siau. Kemudian terbang ke langit.

“Tunggu!” teriak Manggat, tapi mereka telah menghilang di balik awan. Tinggallah Manggat dalam kesendirian. Penyesalan pun telah terlambat. Anak dan istrinya tidak akan kembali lagi.

 

Hutan Kelekak, pohon-pohon ajaib tetap berbuah lebat. Konon, di tempat itu bila malam bulan purnama, suara burung siau masih terdengar berbisik:

“Jagalah janji, sayangi alam,

Niscaya berkah takkan sirna ditelan waktu…”

 

 

Sumber referensi :

1. De Indische Courant, 20 Agustus 1925.

2. De Telegraaf, 10 Juli 1925.

3. Sumantra Post, 08 Agustus 1925.

4. Het Nieuws Van Den Hag, 11 Juli 1925.

5. peta Opgenomen door den Topografischen Dienst in 1934 H H 29,32 Batavia : Reproductiebedrijf Topografische dienst, 1935.

6. Wawancara Ibkar (73 tahun).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *