Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Kisah seorang pendekar dari Tanah Pusaka. Membangun peradaban dalam kuasa Raja.
“Sekali Layar Terkembang, Surut Kita Berpantang” begitu lah prinsip awalnya sang pendekar membela tanah pusakanya. Namun prinsip itu digoyahkan oleh kenyataan “Bertepuk Sebelah Tangan” perjuangan berdarah dipandang sebelah mata, tombak dan pedangnya dipatahkan bagaikan “Air Susu Dibalas Dengan Air Tuba” hampir ia mati di tanah yang ia bela selama ini.
Sontak seperti sia-sia perjuangannya “Bagai Memindahkan Air ke Bukit”. Sang pendekar mencoba menyendiri bermaksud menjauh dari tanah pusaka, karna ia sadar “Bagai Menentang Matahari” tak mungkin bisa ia arungi, semesta juga tak akan mendukung.
Disisi lain “Lampu Jalanan Lebih Menyinari Dari Pada Lampu Rumah” namun “Desiran Ombak Laut Selalu Riak” untuk mendobrak batu karang, membuat ia semakin kuat dan kokoh berjuang walaupun “Bagai Menulis Diatas Air” tak menyurutkan semangat yang pernah ia kobarkan, bersama teman-teman seperguruannya, ia percaya “Bersakit – sakit Dahulu, Bersenang-Senang Kemudian”.
Walaupun tak ada kepastian akan dihargai atau tidak nantinya, kebahagiaan rakyat tanah pusaka menjadi alasan yang kuat untuk ia dan teman seperguruannya “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing” bersatu padu, terus bertarung membela tanah tercinta “Bagai Api Dan Asap”
Saat ini, titah Raja tak lagi dihiraukan, karna mereka percaya “Berguru Kepalang Ajar, Bagai Bunga Kembang Tak Jadi” terus melangkah tanpa dibantu oleh para pasukan kerajaan, walaupun hidup ” Tak Semudah Membalikan Telapak Tangan”
Sedangkan negeri seberang selalu menggoda “Gayung Bersambut Kata Berbalas” sedikit pun tak ia hiraukan. Kecintaannya pada tanah pusaka membuat ia lupa dan buta dengan apa yang sedang terjadi.
“Selama Hayat Masih Dikandung Badan” pantang berubah haluan.
Harapannya jika “Ilmu Orang Dihormati, Lebih Orang Dihargai” tentunya tidak menyurutkan semangat para pendekar untuk membela tanah pusaka tercinta. sudah cukup selama ini “Hendak Menggaruk, Tidak Berkuku”
Namun, pendekar masih tetap percaya “Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang”. (DM)