RANTAU PULANG KE SUNGAI KETUPAT

Penulis : Hendraone Habang

 

Bagian 1 : Kepulangan

Matahari terik menyambut Putri saat kapal merapat di Pelabuhan Pangkalpinang. Tiga tahun tak pulang, udara laut Bangka Belitung masih membawa aroma garam yang ia rindukan. Di tangan, tas berisi oleh-oleh Jakarta digenggam erat. Ibunya, Mak Sulis, sudah menunggu di dermaga dengan kain songket biru tua—warna kesayangan almarhum Ayah. “Mak, maafkan anakmu,” bisik Putri sebelum pelukan hangat menyergap.

Perjalanan ke kampung di Toboali diwarnai cerita Mak Sulis tentang persiapan Lebaran : ketupat anyaman neneknya sudah menumpuk di beranda, daging sapi dari pasar Bawah, dan rencana kunjungan ke keluarga di Belitung. “Kau harus temani Mak ke rumah Pak Haji Sopian. Dulu, waktu kau kecil, kau selalu minta dodol buatan istrinya,” ujar Mak Sulis sambil mata Putri menatap hutan karet yang bergerak cepat di luar jendela.

 

Bagian 2 : Menjelang Lebaran

Rumah kayu tua keluarga itu ramai oleh hiruk-pikuk. Nek Yul, nenek 80 tahun yang masih lincah menganyam ketupat, duduk di kursi rotan sambil memandu keponakan-keponakan kecil mengisi beras. “Ini filosofinya, Nak,” ujarnya pada Putri. “Anyaman ketupat harus rapat, simbol ikatan keluarga yang tak terputus. Berasnya adalah rezeki yang dibagi tulus.” Di dapur, aroma lempah kuning—gulai ikan dengan kunyit dan belimbing sayur—menguar dari kuali besar. Mak Sulis dan bibinya sibuk menyiapkan rendang dan sambal belacan.

Di pasar, Putri bertemu Indra, sahabat SMA-nya yang kini mengelola warung kopi. “Lebaran tahun ini ramai lagi. Dulu waktu pandemi, sunyi sekali,” kata Indra sambil mengemas dodol untuk pelanggan. Mereka berbincang tentang teman-teman lama; ada yang merantau, ada yang menikah. “Jangan lupa besok ziarah ke makam Ayahmu,” pesan Indra. Putri mengangguk, hatinya berdesir.

 

Bagian 3 : Pagi Lebaran

Suara takbir menggema yang berasal dari corong pengeras suara semua masjid di Toboali. Putri dan keluarganya berjalan di jalan berbatu, mengenakan baju kurung warna pastel. Usai shalat, tradisi sungkem dimulai : Putri mencium tangan Mak Sulis dan Nek Yah, air mata mengalir di pipi keriput sang nenek. “Yang penting hati bersih, seperti ketupat yang kita buang daunnya,” bisik Nek Yah.

Kunjungan pertama ke rumah paman di sebelah utara. Meja dipenuhi kue putri salju dan sagon. “Kami sudah menunggu sejak kemarin!” sambut Bibi Ika. Di sela-sela cerita tentang kerja di Jakarta, Putri tersadar betapa ritual ini bukan sekadar makan-makan, tapi cara menjaga agar tali silaturahmi tak putus oleh jarak.

 

Bagian 4 : Jejak Luka dan Maaf

Hari kedua, Putri diajak Mak Sulis ke rumah Bu Rosi—tetangga yang pernah berselisih soal warisan tanah. “Lebaran waktu terbaik mengikis dendam,” ujar Mak Sulis. Awalnya canggung, tapi obrolan tentang kenangan almarhum Ayah yang dulu kerap memediasi, mencairkan kebekuan. Bu Rosi menyiapkan pindang ikan sambil tersenyum getir: “Kita sama-sama janda. Harusnya lebih sering berkunjung.”

Sorenya, di kedai Indra, Putri bertemu Dwi—saudara sepupu yang hubungannya renggang sejak berebut beasiswa. “Aku dengar kau diterima di kantor bagus. Selamat,” ujar Dwi, tangannya terulur. Putri tersentak. Diantara aroma kopi dan dodol, mereka berpelukan. Luka lama terurai layaknya anyaman ketupat yang dibelah.

 

Bagian 5 : Pelabuhan dan Pamitan

Di hari terakhir, keluarga berkumpul di dermaga. “Dulu Ayahmu selalu bilang, hidup seperti pulau-pulau di sini. Terpisah laut, tapi tetap terkait oleh perahu dan kunjungan,” kata Mak Sulis.

Saat kapal kembali untuk berangkat ke Jakarta, Putri memandang kampung yang menjauh. Di tasnya, oleh-oleh dodol dan selembar kain songket pemberian Nek Yah. Ia tersenyum. Lebaran tahun depan, ia berjanji tak akan absen lagi. Di langit, burung camar terbang rendah—seperti silaturahmi yang tak kenal batas.

 

Filosofi dan Penutup

Tradisi saling mengunjungi di Bangka Belitung bukan sekadar ritual. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan kini, pengingat bahwa diantara pulau-pulau yang terpisah, manusia tetap bisa menyambung hati. Seperti ketupat yang dianyam rapat, atau laut yang menghubungkan daratan. Di setiap langkah kunjungan, ada maaf, harapan, dan cerita yang dititipkan pada angin pantai.

Bersilaturami dimulai dengan  عَلَيْكُمْ اَلسَّلَامُ 

Bertemu sanak saudara, kerabat, dan sahabat di hari yang indah

Hendrawan serta keluarga mengucapkan ” وَمِنْكُمْ مِنَّا اللَّهُ تَقَبَّلَ ”

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446H

 

Ketupat dibelah tersaji di hari Lebaran

Disantap bersama sanak saudara berbalur kisah

Mohon salah dan khilaf dimaafkan

وَمِنْكُمْ مِنَّا اللَّهُ تَقَبَّلَ, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446H (BP)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *