Bekaespedia.com_Siang itu sepulang dari bekerja seperti biasa, dimeja makan sudah disiapkan makanan yang ditutupi dengan tutup makanan, yang dikemudian hari aku baru mengenal namanya tudung saji. Sebuah penutup makanan sebagai karya kearifan lokal Bangka Belitung terbuat dari bahan semacam daun pandan yang disusun rapi melingkar membentuk setengah bola dan dicat warna warni merah, kuning, hijau dengan ornamen menarik seperti bangun datar segitiga, segi empat dan juga motif bintang.
Setelah ku buka tudung saji, ada beberapa menu semacam lalapan. Terlihat ada daun singkong rebus, potongan kacang panjang rebus, ada terong rebus, ada petai rebus, irisan mentimun dan juga ada semacam sambal. Aku memandangi dengan serius menu semacam sambel. Ku ambil sendok, ku pakai untuk mengolak alik pelan sambel aneh, nampak terlihat ada potongan cabai, bawang merah, dan ada semacam ikan kecil yang sudah terkoyak. Aromanya pun khas menyengat. Meski sedikit ku mengernyitkan dahi, dan bergumam dalam hati,”Ah… apa nyaman sambal ni?”.
Karena perut sudah sangat lapar, segera ku ambil piring dan nasi. Ku geser kursi duduk, memposisikan diri untuk makan. Ku ambil semua lalapan sedikit-sedikit. Ku ambil sambal aneh yang membuatku penasaran dan ku taruh dipiring kecil. Ku berdoa, dan mulai makan karena perut sudah nggak tahan lapar. Perlahan ku mulai makan dengan lalapan dan sambal aneh tadi.
Setelah beberapa saat mengunyah makanan, dengan penuh penghayatan bener-bener merasakan makan dengan sambel aneh yang memang baru pertama kali ku makan. Menurutku rasa sambel aneh campur aduk, ada masin, pedes, masem, dan ternyata setengah tak tersadar, sampai nambah nasi. Mamak yang dari tadi nyantai di dapur nyapa, “Nambah lagi Le…” (Le dari kata “thole” adalah sapaan orang Jawa untuk anak laki-laki).
Ku jawab sambil ngunyah, “Iya, Mak…”. Saat setelah itu, Mbak Sri lewat pun juga nyapa, “Nambah om, makan yang banyak…”. Ku noleh dan spontan jawab, “Iya, Mbak… ni dah nambah”. Ku lihat sekilas mbak Sri berlalu dengan senyum-senyum. Mbak Sri menyapaku dengan panggil om membahasakan sebagai panggilan anaknya, karena aku adek dari Mas Mindar suami Mbak Sri.
Luar biasa saat menikmati makan siang dengan lalapan dan sambal aneh. Makan dengan lalapan dan sambel aneh, ditambah dengan cuaca agak panas dan gerah, menjadi keringat mengucur membasahi kaos oblongku. Pertama kali menikmati makan siang di tanah rantau, di Kota Toboali, Bangka Selatan, Bangka Belitung. Meski baru pertama kali makan, dan merasa aneh dengan sambel, namun benar-benar aku nikmati.
Selesai makan, seperti biasa ku istirahat di ruang tamu sambil nonton televisi. Diruang tamu sudah ada Mbak Sri sama Mamak yang juga lagi santai dan ngobrol-ngobrol santai. “ La selesai om makan e?” Mbak Sri menyapa duluan dengan dialek khas Bahasa Bangka. “Sudah Mbak… ni sampe berkeringat. Enak Mbak, sambalnya. Rasanya macam-macam ya Mbak…” Ku jawab sapaan Mbak Sri dengan Bahasa Indonesia. Karena memang Aku belum bisa berbahasa Bangka.
“Alhamdulillaah klo om Ponco neg makan e…” sahut Mbak Sri kembali. “Neg uge Le makan sambal e?”, Mamak menimpali juga dengan bahasa Bangka percakapan kami dengan Mbak Sri.
“Nggak nek kok Mak… justru sambalnya enak kok” Spontan Mbak Sri dan Mamak justru ketawa terpingkal-pingkal mendengar jawabanku. “Om… tau nggak apa arti neg? Neg itu arti e mau om..” kata Mbak Sri. “Hehehe … Ooo, itu ya Mbak artinya” sahutku.
Ku lihat mbak Sri senyum-senyum seakan-akan menyembunyikan sesuai terkait makan siangku. “Om… tau nggak sambal ape yang om makan tadi?” Mbak Sri justru malah ketawa terbahak-bahak. Aku jadi bingung, ada apa dengan sambal yang aku makan tadi? Memang sih meski baru pertama ku makan sambal aneh tadi rasanya nyaman sekali dan langsung membuat Aku suka.
Selanjutnya Mbak Sri menceritakan bahwa sambal itu namanya rusip, yang dulu pernah dia kirim ke Solo, dikirim ke Mas Mindar. Saat itu aku masih kuliah di Solo dan satu kos dengan Mas Mindar. Rusip adalah salah satu makanan khas Bangka, khususnya Bangka Selatan yang merupakan fermentasi dari ikan-ikan kecil. Penjelasan Mbak Sri mengingatkan saat aku dulu masih kuliah pernah dikirim rusin dari Bangka. Saat itu rusip yang dikirim dari Bangka aku buang karena aromanya yang menurutku saat itu kurang sedap. Ternyata, tak disangka qudarullaah akhirnya aku sampai di Bangka, dan pertama kali makanan yang aku makan adalah rusip. Dan, bener-benar aku sangat berkesan saat menikmati makan dengan sambal rusip, sampai sekarang aku sangat menyukai rusip.
Akupun tertawa terbahak-bahak saat mengenang dulu waktu masih kuliah, kiriman rusip Mbak Sri dari Bangka untuk Mas Mindar di kos aku buang ke tempat sampah, justru sekarang menjadi sambal favoritku di Bangka.
(Kumpulan Cerpen: Perjalananku)