Oleh : Ian Sancin.
Telur ayam kampung dari masa ke masa menjadi makanan istimewa bagi orang orang di Bangka dan Belitong. Padahal masih banyak ragam makanan lainnya, baik ikan, hewan, serta tumbuhan. Namun telur tetaplah istimewa yang dibahasakan oleh penduduk Bangka Belitong dengan sebutan “telok”. Istimewanya itu bukan karena mudah ditemukan di kampung kampung tapi ternyata ada nilai budaya yang diperankannya sejak lama.
Selain memiliki nilai tersebut. Secara alami, si “telok” itu memang ditelurkan oleh unggas peliharaan yang empunya bisa cari makan sendiri. Secara mistikal pun telur ayam kampung bisa dijadikan “uncak” bagi “pengancak” dari orang orang tertentu guna pelaksanaan ritual dalam berkeyakinan secara spiritual.
Maka telur ayam kampung juga harus terjaga secara istimewa bukan lantaran karena hal di atas itu. Tapi ia memang berkulit rapuh jika jatuh bisa pecah, sehingga tempat sang induk bertelur terjaga aman, aman dari maling seperti ular, biawak, musang, ataupun kera.
Ternyata dalam ilmu gizi di masyarakat modern, ia memiliki kandungan alami yang berbeda dari telur ayam “negeri”. Bahkan ada yang menyebut bahwa ayam negeri itu adalah “ayam bodoh”. Barangkali ada benarnya karena ayam kampung bisa jalan jalan ke pelosok kampung, sedangkan ayam negeri tidak bisa jalan jalan ke pelosok negeri.
Secara budaya telur ayam kampung oleh masyarakat tradisional Bangka Belitung sejak lampau selalu diistimewakan ditradisikan dengan julukan ” telok serujo”. Serujo adalah bunga cantik yang tumbuh di air mirip teratai, tetapi namun ia bertangkai
Cantik dan indahnya bunga serujo yang alami itu, lantas diaplikasikan secara tradisional oleh trampilnya tangan tangan orang dahulu menjadi membentuk rangkaian guna menghias telur ayam kampung yang istimewa itu. Rangkaian istimewa itu kita kenal saat ini menjadi “telok serujo”.
Dahulu kala… Kerupawanan telok serujo dirangkai dari lidi kabung (kabong, aren) yang lentur mirip tangkai bunga seroja dibalut daun pisang kering. Sementara bunganya adalah telur itu sendiri yang dibungkus dengan dedaunan pisang kering dibentuk menyerupai bunga seroja. Dan untuk meletakkan tangkai tangkai “telok serujo” itu pun memakai batang pisang juga dibalut daun pisang kering.
Di kala sekarang… elok serujo yang berbalut daun pisang kering tak lagi dapat dilihat orang modern saat ini. Seiring waktu karena dinamika budaya bahan bahan pengganti untuk membuat telok serujo dipakailah bebagai bahan hasil olahan industri, seperti kertas dan plastik, dan lainnya.
Walaupun adanya berbagai perubahan tersebut, telok serujo tak mesti menghilangkan hakikatnya, rangkaian telok serujo mulai dari “pungkil” hingga “pucuk” tetaplah masif di maknanya. Telur yang memaknai bentuk awal kelahiran makhluk hingga beranakpinak. Lidi kabung memaknai kelenturan jiwa, kuatnya iman dan jalan lurus kehidupan. Bunga seroja memaknai keindahan hidup tanpa keburukan.
Ia menjadi rangkaian “pohon telur” yang dahan dahannya dari puluhan tangkai lidi dengan telur matang milik setiap anak anak kampung. Anak anak tersebut nantinya bakal siap belajar kitab suci Al Quran dengan alat penunjuk huruf kalimah Al Quran nya memakai lidi bekas rangkaian telok seroja itu.
Telur telur yang dirangkaikan menjadi “pohon telok serujo” selalu ditradisikan merayakan seseorang anak remaja ketika sudah mengkhatamkan bacaan Al Quran yang dikajinya dari seorang “guru ngaji”. Secara tradisi telok serujo menjadi telur yang berkah.
Mengapa berkah, karena sebelum telur telur dari telok serujo itu dibagikan kembali kepemilik yang menitipkan maka para ” lebai” (ulama) akan mendoakan keberkahan kepada yang Maha Kuasa, itu didoakan usai pembacaan sebagian ayat Al Quran dari seorang yang sudah “menamatkan” pengajiannya.
Maka Telok Serujo dikenal juga sebagai “telok tamat”, itu jika dipakai untuk acara “khataman Al Quran”, namun jika hanya dipakai untuk acara syukuran inisiasi kelahiran bayi