Budaya  

Tikar Bertandang 

Oleh Meilanto

Salah satu dari sekian banyak pengetahuan tradisional yang diwarisi secara turun temurun adalah tikar bertandang.

Tikar bertandang disebut demikian karena umumnya tikar ini digelar saat ada tamu yang bertandang ke rumah. Saat ada tamu datang bertandang, tuan rumah akan membuka gulungan tikar dan digelar dilantai. Tikar bertandang umumnya dibuat dari mengkuang (Pandanus atrocarpus) yang hidup di daerah berawa-rawa (bencahbencah). Tanaman yang masih familiy pandan hutan ini terdiri dari banyak jenis seperti gegas, purun, jelutuk. 

Proses pembuatan tikar bertandang tidak mudah, harus melalui langkah-langkah yang panjang. Mulai dari pengambilan bahan, kemudian membuang duri pada bagian tepi serta punggung daun. Setelah itu daun dibelah menggunakan pisau khusus supaya lebarnya sama. Setelah berbentuk panjang dengan lebar sekitar 2-4 cm, bahan diidus menggunakan pisau pengidus yang terbuat dari bilah bambu. Proses idus dilakukan supaya daun mengkuang menjadi lebih lembut saat pengayaman.

Setelah itu bahan yang akan dijadikan tikar, diembunkan semalaman supaya tikar lebih tahan lama. Lanjut lagi dengan penganginan bahan pada suhu lembab sekitar 1-2 pagi. Setelah itu baru lakukan proses pengayaman. Proses pengayaman memakan waktu berhari-hari tergantung panjang dan lebar ukuran tikar. Proses terakhir dari pembuatan tikar yaitu nyisip. Proses nyisip yaitu memasukkan bagian-bagian ujung ke dalam sela-sela anyaman menggunakan pisau idus. Proses ini dilakukan dengan hati-hati supaya tikar tidak mudah putus. Proses nyisip menandakan bahwa tikar sudah hampir jadi. Setelah itu bagian ujung dipotong. Tikarpun siap digunakan.

Tikar bertandang daun mengkuang terasa dingin apabila diduduki atau sebagai alas baring sehingga membuat betah siapapun yang duduk atau baring di atasnya.

Tikar Bertandang Daun Mengkuang
Sumber: Penulis

Kini, tidak banyak lagi orang yang bisa mengayam tikar bertandang karena bentuk kemahiran ini termasuk sulit dan ribet. Generasi muda juga merasa enggan untuk belajar mewariskan pengetahuan ini. Selain itu faktor rusaknya lingkungan alam yang menyebabkan mengkuang sulit didapatkan. Kini muncul tikar-tikar berbahan baku evafoam dan sejenisnya dengam motif yang menarik.

Apakah kemahiran membuat tikar bertandang akan punah seiring dengan sulitnya mendapatkan bahan baku?

Untuk menjawab itu harus ada aksi nyata dari pemangku kebijakan. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *