Fhoto ilustrasi : AI google
Penulis : Defrizal Adrian, guru kelas SDN 2 kelapa
Bayangkan seorang siswa SMA di Jakarta, sebut saja Andi, yang dengan santai membuka ChatGPT untuk mengerjakan esai filsafat tentang pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam 30 detik, AI itu meracik tulisan panjang dengan tata bahasa sempurna, lengkap dengan kutipan pseudo-akademik. Andi tinggal menyalinnya, mengubah beberapa kata, dan mengumpulkannya. Gurunya tak curiga—karena algoritma itu memang dirancang untuk meniru gaya manusia. Ini bukan fiksi. Studi Stanford University (2023) mengungkap 73% pelajar AS mengakui menggunakan AI untuk tugas sekolah. Di Indonesia, riset Universitas Pendidikan Indonesia (2024) menemukan 58% guru kesulitan membedakan karya siswa dan AI.
Inilah paradoks pendidikan di era digital: teknologi yang seharusnya memerdekakan pikiran justru berpotensi membunuh kreativitas otentik. Ki Hadjar Dewantara pasti gelisah melihat “kecerdasan buatan” menggeser “kecerdasan nurani”. Tapi larangan menggunakan AI bukan solusi. Di SMK Negeri 2 Bandung, guru Prakarya justru mendorong siswa menggunakan AI untuk merancang produk, lalu presentasi secara luring untuk menguji pemahaman konsep. “Teknologi adalah alat, karakterlah yang menentukan cara menggunakannya,” kata Bu Dian, salah satu guru inisiator.
Sementara banyak sekolah sibuk memblokir TikTok, SMA Taruna Nusantara Magelang berinovasi dengan mengadopsi VR (Virtual Reality) untuk pembelajaran sejarah. Siswa tidak hanya membaca teks tentang Pertempuran Surabaya, tetapi “berdiri” di tengah medan perang virtual, mendengar teriakan pejuang, melihat darah dan pengorbanan. Hasilnya? Survei internal sekolah menunjukkan peningkatan 40% pemahaman kontekstual dan empati siswa terhadap nilai-nilai kepahlawanan. “Ini lebih efektif daripada ceramah moral 2 jam,” ujar seorang siswa.
Ini contoh bagaimana teknologi bisa menjadi amplifier karakter, bukan penghancurnya. Tapi keberhasilan ini lahir dari desain kurikulum yang intentional—VR bukan sekadar gadget keren, tetapi alat untuk memperdalam refleksi tentang keberanian, solidaritas, dan cinta tanah air.
Ibu Siti, guru SD di Lombok Timur, bercerita tentang dilemanya: “Dinas Pendidikan mendorong kami menggunakan platform digital, tapi orang tua protes karena anaknya kecanduan gaming. Saya sendiri harus mengajar 3 mata pelajaran sekaligus sambil jadi ‘teknisi’ bagi siswa yang gagal login.” Kisah Ibu Siti adalah potret nyata burnout pendidik di tengah transisi digital yang tak imbang dengan peningkatan kapasitas.
Padahal, di Finlandia—negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia—guru justru difasilitasi pelatihan ethical tech integration selama 300 jam sebelum menerapkan alat digital. Mereka paham: teknologi tanpa pedagogi yang matang hanya akan jadi distraction.
Kementerian Kesehatan RI (2023) melaporkan 34% remaja perkotaan mengalami gejala kecemasan akibat overstimulasi konten digital. Sementara itu, penelitian Yayasan Pulih menemukan penurunan 28% kemampuan empati dasar anak usia 10-15 tahun dalam 5 tahun terakhir. Ini alarm keras: kita sedang mencetak generasi yang piawai coding, tetapi gagap membaca bahasa tubuh; mahir berdebat di Twitter, tetapi miskin toleransi dalam kehidupan nyata.
Daripada terjebak dikotomi “teknologi vs karakter”, mari kita redefinisikan pendidikan sebagai ruang symbiosis antara keduanya. Sekolah bukan lagi cloud storage untuk transfer pengetahuan, tetapi laboratorium hidup tempat siswa belajar menjadi manusia utuh: yang bisa memprogram AI sambil mempertahankan integritas, yang mampu scroll Instagram tanpa kehilangan kemampuan menyapa tetangga.
Seperti kata Ki Hadjar Dewantara: “Pendidikan harus mengangkat derajat kemanusiaan, bukan hanya derajat ekonomi.” Di era di mana robot bisa menulis puisi, tugas kitalah memastikan bahwa manusia tetap bisa menangis saat membacanya.













Bagus sekali