Ananda Sukarlan: Musik Klasik Belum Tersentuh Artificial Intelligence

Oleh: L. Simanjuntak

“Bahkan musik klasik adalah genre musik yang belum bisa tersentuh oleh artificial intelligence, sehingga masa depan musikus klasik kini justru jauh lebih menjanjikan dibanding profesi lain yang bisa digantikan oleh kecerdasan buatan (AI).”

 

JAKARTA- Siapa tak kenal Ananda Sukarlan. Lahir di Jakarta, 10 Juni 1968, dialah komponis dan pianis musik klasik asal Indonesia yang menetap di Jakarta dan Spanyol. Ia satu-satunya orang Indonesia yang tercatat dalam buku The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century.

Bahkan ia juga menggubah musik untuk anak-anak difabel di Spanyol, bekerja sama dengan Fundacion Musica Abierta, dan di Indonesia lewat yayasan yang didirikannya, Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI).

Apa aktivitasnya di Jakarta saat ini?

”Saya sedang menggarap Bora Ring untuk orkes dengan para pemain didgeridoo—alat musik tiup penduduk asli Australia—dan penyanyi asli Aborigin, yang mengisahkan tentang ritual suku Aborigin,” kata Komponis & Pianis Ananda Sukarlan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Penyair Pulo Lasman Simanjuntak di Jakarta , Minggu (16/2/2025).

Dijelaskan, tema hubungan Aborigin dengan Indonesia ini telah mulai ia eksplorasi dalam karya orkes The Voyage to Marege tahun 2017, dan kini ia diminta lagi mengangkat tema ini lewat musik.

”Saya menggunakan banyak puisi Judith Wright dalam riset. Pertunjukan perdananya di Jakarta, April depan. Setelah itu saya berangkat ke Sydney menjadi composer in residence di Australian institute of music selain sebagai dosen, juga memperkenalkan musik Indonesia kepada para mahasiswa di sana,” katanya.

Selain itu, kini Ananda juga fokus pada pemberdayaan anak-anak muda, karena, menurutnya, bakat musik anak-anak muda ternyata luar biasa sekali di Indonesia.

Meski ia membesarkan Ananda Sukarlan Award (ASA)—kompetisi musik yang didirikan Pia Alisjahbana tahun 2008—kini ia sendiri membuat Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+ ) yang lebih ditujukan kepada pemusik yang lebih muda, yang belum menginjak pendidikan tinggi musik untuk menjadi profesional.

Asperger Syndrome

Namun, sebagai manusia yang juga lahir dengan Asperger syndrome, aktivitasnya secara lebih spesifik lebih terfokus untuk kaum disabilitas.

“Disabilitas fisik atau mental tidak boleh menjadi halangan untuk berkesenian, kalau sang penyandang memang memiliki bakat besar dalam bidang seni,” katanya.

Dikatakan, peluncuran proyek ini akan ia jelaskan dalam acara yang diselenggarakan Rotary Club 20 Februari nanti di Auditorium London School of Public Relations (LSPR). Pada 2023 ia mendapat kehormatan diangkat menjadi Honorary Member Rotary Club.

“Acara itu berupa talkshow, konser dan makan malam. Semua orang bisa berdialog. Saya akan didampingi oleh Prita Kemal Gani, pendiri LSPR, dan juga ibu seorang pelukis autis dan ayah pelukis dengan Asperger syndrome, Anfield Wibowo,” kata Ananda.

Proses Kreatif

Bagaimana proses kreatifnya dulu dan kini?

“Sebelum tahun 2017 saya lebih banyak tinggal di Spanyol. Setelah itu sampai saat ini saya lebih banyak di Indonesia. Tapi pekerjaan saya tetap lebih banyak untuk proyek-proyek di negara lain,” tuturnya.

Kalaupun ia di dalam negeri, lanjutnya, itu untuk memenuhi permintaan berbagai kedutaan atau institusi asing untuk memperkenalkan atau kolaborasi budaya negara tersebut dengan Indonesia.

Misalnya Kedutaan Ekuador memintanya membuat musik dari berbagai puisi Jorge Carrera Andrade, atau Finlandia memperkenalkan musik mereka ke Indonesia, dan kemudian ia ke Finlandia untuk pendidikan dan kolaborasi budaya; atau Australia mengeksplorasi sejarah hubungan dengan Indonesia lewat musik karyanya The Voyage to Marege, dan masih banyak lagi.

Ananda melihat, Indonesia belum mendalami diplomasi ini. Sejauh pengamatannya, Kedutaan Besar RI di luar negeri masih terbatas mengundang grup-grup dangdut misalnya, untuk konsumsi para diplomat kita sendiri.

Dikatakan, ia mengagumi upaya Duta Besar RI di Helsinki Ratu Silvy Gayatri yang mengundangnya ke Helsinki tahun lalu dan mengorganisir bukan hanya konser, tapi juga pertemuan dia dengan berbagai institusi di Finlandia seperti Sibelius Academy of Music, Museum Sibelius dan beberapa tokoh penting dalam diplomasi budaya.

”Saya pribadi memang sudah banyak berhubungan dengan Finlandia dan berbagai institusi serta seniman negara itu selama 25 tahun ini, tapi baru tahun lalu Indonesia terlibat dalam diplomasi budaya yang saya lakukan,” tuturnya.

Belum Tersentuh AI

Apa pendapatnya tentang perkembangan musik klasik di Indonesia kini?

”Luar biasa. Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN +) tahun lalu kami adakan di delapan kota. Total peserta 477. Sekarang kita tidak bisa lagi bilang musik klasik di Indonesia tidak populer. Bahkan musik klasik adalah genre musik yang belum bisa tersentuh oleh artificial intelligence, sehingga masa depan musikus klasik kini justru jauh lebih menjanjikan dibanding profesi lain yang bisa digantikan oleh kecerdasan buatan (AI).”

Musik klasik, kata Ananda, justru dinilai dari inovasinya dan kompleksitas pengembangannya. Beda misalnya dengan musik Taylor Swift yang progresi harmoniknya itu-itu saja dan mengandalkan faktor eksternal seperti joget, efek visual dan tatanan panggung.

Sulit Hidup dari Profesi

Ananda membentangkan fakta, kini Indonesia juga memiliki musikus-musikus muda yang memang belum bisa tinggal di Indonesia.

”Seperti saya sampai 2017 yang harus cari makan dari profesi saya dan juga untuk bisa pensiun,” katanya.

Artinya di Indonesia seniman sulit hidup dari profesinya?

”Memang sih di Indonesia lahannya belum bisa untuk seniman menghidupi diri sendiri murni dari berkesenian. Ada Isyana Sarasvati yang kuliah musik klasik, tapi kini menjadi musikus pop yang berkualitas. Kita ada pianis Calvin Abdiel Tambunan yang baru saja memenangkan juara ke-3 Sydney International Piano Competition, salah satu kompetisi paling bergengsi di dunia, dan Calvin memang tidak berniat balik ke Indonesia untuk sementara waktu, sama seperti pianis Anthony Hartono dan soprano Alice Cahya Putri yang kini tinggal di Singapura. Saya juga tidak menganjurkan mereka pulang ke Indonesia, karena mereka akan bisa berkarya lebih produktif di luar negeri,” katanya.

Jangan Rancu

Ditanya tentang masukannya untuk Kementerian Kebudayaan, khususnya ke Menteri Fadli Zon, terkait musik klasik, Ananda tegas menjawab,”Jangan sampai rancu antara ekonomi kreatif dan seni budaya. Ekonomi kreatif (EK) itu melibatkan semua yang komersial dan menghasilkan uang secara langsung, biasanya berhubungan dengan hiburan. EK melayani selera pasar, seperti musik pop, dangdut, lukisan dekoratif dan novel atau cerpen yang enak dibaca.”

Jadi, menurutnya, ekonomi kreatif itu ibarat toko, seni dan budaya ibarat etalase dari toko tersebut. Kita tidak jualan barang-barang di etalase, tapi etalase itu mengundang konsumen untuk memasuki toko, merepresentasi apa yang ada di toko tersebut.

”Jadi semua produk seni itu tidak menghasilkan uang secara langsung, tapi harus menunjukkan identitas toko tersebut. Nah, itu salah satu fungsi seni budaya,” ujarnya.

Fungsi lain seni, lanjutnya, adalah dokumentasi sejarah. Penikmat seni akan lebih mengerti sejarah karena seni itu membuat kita merasakannya, bukan hanya menghafal datanya.

Ia mencontohkan: pemerintah Australia telah banyak bekerja sama dengannya sejak tahun 2000-an.

”Kami sama-sama memperingati insiden Bom Bali yang menewaskan banyak orang Australia. Di konser tersebut saya bekerja sama dengan komponis Peter Sculthorpe, Betty Beath, Barry Conyngham dan juga banyak komponis dari negara lain dan saya berkeliling dunia memperingati kejadian itu yang telah membuka mata banyak pendengar tentang bahaya radikalisme dan terorisme.”

Sejarah mencatat, Ananda juga banyak menggubah tembang puitik berdasarkan puisi-puisi yang merefleksikan sejarah, seperti Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar. Atau, kalau tema saat ini ya puisi tentang pandemi dari Goenawan Monoharto, Ewith Bahar, dan Hilmi Faiq. Atau tentang korupsi dan nepotisme yang gila-gilaan sepuluh tahun terakhir ini yang dipuisikan oleh Riri Satria, Budhi Setyawan, Pulo Lasman Simanjuntak dllnya.

Material Untuk diplomasi

Ananda mengatakan, seni, khususnya musik klasik, juga material untuk diplomasi yang sangat kuat karena bahasa yang universal. Ide membentuk G20 Orchestra dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat Indonesia menjadi tuan rumah G20 tahun 2022, menurutnya, sangat brilian.

Terkait hal itu, ia menerima penunjukan sebagai pendiri dan direktur artistiknya dengan mengaplikasikan konsepnya dalam dua hal.

Pertama: diversitas, yaitu dalam keseimbangan gender serta keberagaman ras, latar belakang budaya serta agama para musikusnya. Dua: dokumentasi sejarah, dari memprogramkan A Child of Our Time karya Sir Michael Tippett, isu imigrasi pertama ke Australia oleh para pelaut Makasar abad ke-18 dalam karya Ananda Voyage to Marege sampai isu disabilitas dengan Piano Concerto no. 4 untuk tangan kiri saja dari Sergei Prokofiev.

Tentu, katanya, pertukaran budaya dalam musik klasik juga melalui tugasnya sebagai dosen tamu di berbagai fakultas musik di banyak negara, seperti: ke Sydney tahun ini dan tahun-tahun lalu ke Prancis, Finlandia, Spanyol, Meksiko (Universidad de Monterrey), Brazil (Universidade de Campinas), dan banyak lagi.

”Satu lagi perbedaan produk ekonomi kreatif (EK) dengan produk seni yang penting di era kini. Yakni: produk EK bisa dibuat dengan menggunakan artificial intelligence, sedangkan produk seni tidak, atau belum.”

Komponis & Pianis Ananda Sukarlan dan penyanyi (soprano) Freya Murti Pramudita pada Minggu, 19 Januari 2025 lalu membawakan tembang puitik berjudul ” Menulis Syair Untuk Presiden Episode Dua” karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak di sebuah Galeri Seni kawasan Jln.Kemang Raya No.30, Jakarta Selatan.Tampak dalam gambar mereka berdua berfoto bersama usai pentas konser musik klasik tersebut.(Foto : dok/pribadi,)

Gelar Kesatriaan

Selain dianugerahi penghargaan tertinggi dari Kerajaan Spanyol Real Orden de Isabel la Católica, Ananda Sukarlan juga pernah dianugerahi gelar kesatriaan Cavaliere Ordine della Stella d’Italia oleh Presiden Italia Sergio Mattarella, tahun 2020.

Selain itu, seniman Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia-Portugal pada 2000 ini juga telah dianugerahi banyak pengakuan swasta seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Prancis.

Heroes Amongst Us

Fakta sejarah, Ananda Sukarlan adalah salah satu dari 32 tokoh dalam buku Heroes Amongst Us (Pahlawan di antara Kita), yang ditulis oleh Dr Amit Nagpal yang diterbitkan di India.

Selain itu, ia juga masuk sebagai salah satu dari 100 Asia’s Most Influential (Orang Asia Paling Berpengaruh) di dunia seni tahun 2020 oleh majalah Tatler Asia.

Sepenggal Riwayat

Ananda belajar bermain piano sejak usia lima tahun. Lulus dari SMA Kolese Kanisius Jakarta tahun 1986, ia belajar ke Royal Conservatory of the Hague di Den Haag, Belanda. Di tempat inilah ia meraih gelar master dengan predikat summa cum laude.

Kesempatan bersekolah di Eropa ini ia manfaatkan untuk mengikuti berbagai kompetisi piano internasional.

Sebagai pianis, ia telah memenangkan banyak kompetisi internasional di masa mudanya, yang membawanya ke karier musik internasional yang gilang-gemilang.

Karya Terbaru

Karya terbaru Ananda Sukarlan akan diluncurkan Maret ini oleh Warner Classics yaitu: The Springs of Vincent—yang digubah berdasarkan empat lukisan tentang musim semi Vincent van Gogh, yang dibawakan oleh pemain flute Eduard Sanchez dan pianis Enrique Bagaria. (….)

Kontributor : Lasman Simanjuntak

Exit mobile version