Batin Tikal (bagian 10)

Batin Tikal (bagian 10)

Oleh: Amiruddin Djakfar

 

“Menurut kataku saudaralah jadi tukang aba-abanya kelak. Di sana di jurang itu kelak aku berteriak, jangan lupa di tepi sungai itu. Bila kataku…sudaah…sudaahkan…sudaahkan…tandu empaskan, kita rebut senjata anjing-anjing hitam ini. Beritakanlah dengan kawan-kawan lain!”

Tandu-tandu selesai maka naiklah serdadu-serdadu itu ke atas tandu diusung oleh dua orang tawanan. Iring-iringan tandu itu mulai bergerak, dan tibalah dipendakian sebuah bukit.

“Ayo lekas…lekas kuli, hoperdom (God verdom)!” Tapi lidah mereka tidak becus mengucapkan kata-kata Belanda, serdadu-serdadu itu menghardik.

Hala… ngehanak, halal dak jao agik! (“Lekaslah, Bung, Lekaslah, tak jauh lagi!”).

Cubo, suk tunggu dengat agik (Coba anjing, tunggu sebentar lagi)” dan mereka para tawanan bertambah lekas jalannya. Serdadu-serdadu Belanda terbuai-buai dalam usungan, senyum-senyum puas sangkanya para tawanan takut kepada mereka. Angin rimba yang sejuk, nyaman bertiup sepoi-sepoi basa membawa keharuman bunga-bungaan rimba ke dalam hidung mereka menyebabkan mereka mengantuk.  Maka tibalah iringan tandu-tandu itu di puncak bukit. Tandu terakhir tepat di atas bukit dan tandu yang pertama sudah di tepi sungai. Serdadu-serdadu Belanda tidak sadar bahwa maut hampir mencabut nyawa mereka, mereka sedang dibuai-buai kesenangan.

Hudee…hudee…hudeek…!” terdengar aba-aba dari puncak bukit, maka bertemperasanlah tandu-tandu itu diempaskan ke tanah, yang diusung hampir-hampir tak sadar tatkala tawanan-tawanan merebut senjata dan menetakkan ke lehernya atau menghujamkan dalam-dalam ke dadanya. Terjadilah pula pertempuran di puncak bukit itu, bukit yang bersejarah dan kini bukit itu digelari “BUKIT SERDADU” karena banyak mayat serdadu. Letak bukit itu antara Katup (tempat transmigrasi) dan Sungai Selan. Sepeleton serdadu itu hanya tinggal dua-tiga orang saja yang hidup dan tawanan-tawanan itu gugur pula sebagian besar. Yang tinggal hanya dua-tiga orang pula menurut ceriteranya.

Dalam kamar tawanan di Pangkal Selan, Batin Tikal diasingkan dari pejuang-pejuang lainnya dengan penjagaan yang kuat sekali. Kepada Becking diperintahkan dengan selekas mungkin membawa tawanan itu ke Batavia. Tetapi namun Becking masih ingin mengadakan pertunjukkan, yaitu pertunjukkan tentang kekuatannya menangkap Batin Tikal  bahwa Batin Tikal tidak sakti, orang biasa saja. Pertunjukkan ini harus disaksikan oleh Badan-badan Angkatan Belanda, yaitu Batin-batin Pering, Air Rangat, Bukit, pokoknya ia Becking ingin menunjukkan kelengkapan penjajahan “BANKA en ONDERHOORIGHEDEN.”

Becking tidak lupa akan janjinya, dia pada hari itu akan melantik Gegading Sungaiselan sebagai batin. Hari itupun sudah menjelma, rakyat sudah dicanangkan oleh Ibat dan Abu supaya pagi-pagi ke alun-alun depan tangsi berkumpul untuk melihat pencukuran rambut Batin Tikal apakah kawat ataupun waja, atau rambut biasa. Dan Batin-batin sudah berkumpul sebagai wakil rakyat Bangka Tengah dan Selatan.

Batin-batin dengan baju beluderu merah dan rakyat sudah berjejal-jejal pada hari itu. Becking memerintahkan untuk membawa Batin Tikal ke tengah-tengah khalayak ramai itu, oleh Becking disuruh jongkok. Khalayak ramai yang pro maupun kontra terhadap pahlawan ini sama-sama merasai ketegangan dalam hatinya.

“Para penonton sekalian…ini tawanan…tidak diapa-apakan…en hanya untuk dicukur rambutnya, apakah rambut ini kawat atau waja of rambut biasa,” demikian Becking memberi penjelasan kepada khalayak.

Becking memberi isyarat, seorang serdadu maju ke depan membawa pisau cukur yang berkilat-kilat karena ketajamannya. Pahlawan itu tunduk memejamkan mata bersemedi. Pisau cukur beradu dengan rambut beliau, tergelincir, lalu tergelincir lagi tidak mau memutuskan rambut sang pahlawan. Tiba-tiba serdadu itu terduduk sambil memegang perutnya lalu rebah ke tanah.

(Bersambung)

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang.

 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini.

Exit mobile version