Sastra  

Cerpen : Ulah Tuan dan Nona

Kumpulan cerpen karya Rusmin Sopian

Karya : Rusmin Sopian

Asap cerutu dari  tuan-tuan menebar aroma wewangian. Menyebar hingga ke ruang taman kekuasaan dibawa angin surga. Aroma yang ditebarkan cerutu menyusup ke dalam rongga para penghuni taman. Mereka meringkih. Suara ringkihannya amat kencang. Namun, suara ringkihan itu tak mampu hentikan para Tuan-tuan yang sedang berdiskusi di meja besar di ruang besar yang bertahta dari mandat suara rakyat, yang kadang terbeli dengan sangat murahnya.

Sementara, aroma kegenitan menebar dari para Nona-nona yang menarikan tarian jiwa. Tarian mereka menebarkan aroma keliaran jiwa. Tarian mereka membangkitkan ragawi. Aroma parfum pun mereka pun menebar hingga menusuk hidung. membangkitkan jiwa-jiwa yang jalang. Suara kebahagian keluar dari mulut mereka. Kebahagian terpancar dari jiwa-jiwa mereka.

Di sebuah lapangan kampung, anak-anak berlarian mengejar impian tentang masa depan bersama rerumputan yang mulai kering kerontang. Tanpa alas kaki. Apalagi sepatu.

Anak-anak itu terus berlari dan berlari dengan kaki telanjang. Sementara gunung menatap mereka dengan tatapan yang sedih. Airmata sungai tak lagi mengalir. Kering kerontang. Pepohonan ringkih dan tua yang masih ada dihutan kecil dekat lapangan kampung tak melambaikan tangannya. Dedaunannya rontok dimakan api keberingasan manusia serakah.

Sesekali sepoi angin yang masih bertiup menyapa anak-anak itu. Sesekali saja, ketika senja mulai menghampiri pemukiman warga Kampung. Anak-anak itu masih berlari dan berlari dengan kaki yang masih telanjang dan telanjang.

Sesekali mereka menatap langit yang biru. Seolah ingin mengadu dan mengadu.

” Apakah kami punya masa depan,” gumam mereka dengan suara lesu.

Langit tak menjawab.

Kadang-kadang mereka bertanya kepada rembulan yang mulai hadir menatap mereka berlari.

” Apakah masa depan kami akan seterang cahayamu , wahai rembulan,” desis mereka.

Rembulan tak menjawab.

Terkadang mereka menunggu bintang untuk mencari jawaban. Dan bintang dilangit pun tak menjawab.

Di televisi hitam putih warga, mereka , para penghun Kota sibuk beradu narasi. Saling membalas komnetar. Saling berapologi. Dan suara mereka amat keras. Kadang mengerikan nada  intonasi suaranya. Seakan-akan ingin mengalahkan sambaran halilintar di langit. Warga cuma termangu menatap mereka. Bingung dengan narasi mereka yang beradu suara di layar televisi itu. Sementara, di dapur nasi masih dalam hitungan butir.

Televisi htam putih warga masih menyala. Suara mereka dilayar televisi makin kencang. Terkadang menakutkan anjing liar yang mencari mangsa di hutan kecil yang masih tersisa di kampung itu.

Suara di televisi masih terdengar dan terdengar. Kali ini suaranya sangat sayup, dan tiba-tiba mati sendiri.

 

Toboali, selasa malam, 9 Februari 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan

Exit mobile version