Kijang Emas

Bagian 1 : Legenda Kepulauan Pongok

Ilustrasi : Art and Lore

Oleh : Marwan Dinata (Pegiat Budaya Bangka Selatan)

Dahulu kala, di daerah dekat perbatasan Bangka Belitung, terdapat sebuah pulau yang mempesona dan sangat indah. Pulau tersebut dikenal sebagai Pulau Leat, atau lebih dikenal sebagai Pulau Pongok. Pulau ini dijaga dengan penuh kegaiban oleh sepasang mahluk yang memiliki tubuh berbentuk rusa, namun terbuat dari emas murni. Penduduk setempat mempercayai bahwa pulau ini adalah tempat yang sangat sakral. Mereka menganggap kehadiran sepasang rusa emas tersebut sebagai pertanda keberuntungan dan berkah yang melimpah. Konon, siapa pun yang beruntung dan memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan mereka, serta diberikan hadiah emas yang berlimpah.

Sepasang rusa emas ini memiliki kebiasaan untuk berkeliling di sekitar pulau, menjelajahi setiap sudutnya. Mereka mengelilingi pulau dengan megah dan mempesona, memberikan keberuntungan bagi siapa pun yang berkesempatan melihat mereka. Namun, pada akhirnya, mereka selalu kembali ke sebuah bukit yang dikenal dengan nama Bukit Pilar. Bukit Pilar mendapatkan namanya dari sebuah tiang atau pilar yang didirikan oleh Bangsa Inggris pada abad 18. Pilar tersebut menjadi tempat berlindung atau tempat tinggal bagi sepasang rusa emas tersebut.

Suatu pagi yang cerah, seorang petani bernama Drani pergi ke kebunnya yang terletak di bawah Gunung Pilar. Ia adalah seorang petani yang tekun dan bersemangat. Setiap pagi, Drani melakukan rutinitasnya dengan membawa kerito surung, sebuah gerobak khas Pongok, yang digunakan untuk membawa kelapa.Drani naik ke lereng bukit Ritang dan terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai bawah Bukit Pilar. Kadang-kadang, Drani memilih untuk tidak pulang dan bermalam di kebunnya sendirian. Setelah sampai di pondoknya, ia segera mengambil parang dan mulai menebas ranting-ranting kecil serta rumput yang mengganggu di sekitar pohon kelapa.

Satu per satu, Drani mengambil kelapa yang sudah matang dan mengumpulkannya. Ia membersihkan sabut kelapa dengan teliti dan mengumpulkan daging kelapa yang sudah dikupas ke dalam ambung yang terbuat dari rotan. Ketika ambung penuh dengan kelapa, Drani masih belum pulang dan terus mengumpulkan kelapa yang masih berserakan di bawah pohon. Ia menyimpannya untuk digunakan keesokan harinya. Selain mengumpulkan daging kelapa, Drani juga menggunakan sisa-sisa bagian kelapa seperti pelepah dan jantung kelapa. Bagian-bagian tersebut akan digunakan untuk dibakar sebagai bahan bakar. Drani sangat menghargai setiap bagian kelapa dan tidak ingin ada yang terbuang percuma.

Drani adalah seorang petani yang gigih dan bertanggung jawab. Ia dengan tekun mengurus kebunnya, menjaga dan memanfaatkan setiap bagian kelapa dengan bijak. Dengan kerja kerasnya, ia berharap dapat memberikan hasil yang baik dan menjaga keberlanjutan kebunnya di bawah naungan Gunung Pilar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran sisa-sisa bagian kelapa digunakan oleh Drani untuk mengusir serangga-sengkuang yang dapat memakan pucuk kelapa. Serangga ini dapat menyebabkan kerusakan pada pohon kelapa dan bahkan menyebabkan kematian pohon tersebut. Dengan bijaksana, Drani memanfaatkan asap tersebut sebagai metode alami untuk melindungi pohon kelapanya. Dia membakar sisa-sisa bagian kelapa yang tidak digunakan dan membiarkan asapnya menyebar di sekitar kebun. Asap tersebut menghasilkan aroma yang tidak disukai oleh serangga-sengkuang, sehingga mereka menghindari pohon kelapa dan tidak lagi memakan pucuknya.Drani mengerti pentingnya menjaga keberlangsungan pohon kelapa dan hasil panennya. Dengan menggunakan cara alami ini, ia dapat mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh serangga-sengkuang tanpa harus menggunakan bahan kimia berbahaya. Ia memperhatikan keberlanjutan ekosistem kebunnya dan berusaha menjaga keseimbangan alami di dalamnya.

Dalam perjalanan pulang, Drani mengikuti jalan setapak yang biasa ia lalui. Namun, suatu hari, ia tersesat di tengah hutan yang lebat. Langit mulai gelap dan Drani merasa khawatir dan cemas. Ia berusaha mencari tanda-tanda yang familiar, namun semakin ia berjalan, semakin bingung arah yang harus ditempuh. Tak terasa hari semakin sore, dan Drani pun ingin segera pulang. Namun, saat ia menyadari bahwa sudah magrib, kekhawatiran mulai menghampirinya. Dalam keadaan masih mendorong kerito surung yang berisi kelapa, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang melewati jalan setapak yang sangat kecil, hanya berukuran 30 sampai 40 cm. Jalan itu menjadi satu-satunya panduan yang ia miliki.

Naas, di hari itu Drani tersesat. Rasa tidak menyenangkan melingkupi hatinya. Ada rasa takut, gugup, letih, dan galau karena ia berjalan sekian lama namun tak kunjung menemukan jalan pulang. Ia merasa seolah-olah berputar-putar di daerah yang tak dikenal. Akhirnya, dengan keputusan berat, ia memutuskan untuk kembali ke kebunnya. Namun, ia tidak dapat menemukan jalan yang mengarah ke sana. Drani berusaha tetap tenang, sambil melepaskan kerito surung dan memutuskan untuk membuat api unggun. Ia menebang pohon-pohon kecil dan membakarnya untuk menciptakan sinar dan kehangatan di tengah kegelapan. Hari semakin gelap, awan semakin pekat, tidak ada bintang atau bulan yang menerangi malam itu. Hanya suara jangkrik dan serangga hutan yang terdengar, membuat bulu kuduknya merinding. Terkadang suara monyet yang menggelegar membuat hatinya bergetar. Udara sekitar semakin dingin, meningkatkan ketakutannya.

Drani berusaha memanfaatkan kayu dan ranting yang dibakarnya, ditambah dengan sedikit sabut yang dibawanya, untuk menghangatkan tubuhnya. Namun, tak lama kemudian, hujan mulai turun dengan deras, membuat kekhawatirannya semakin membesar. Tanpa penerangan dan pakaian yang basah, ia merasa semakin kedinginan. Semua menjadi satu dalam kegelapan, dingin, dan ketakutan. Tapi dalam hatinya, ia berbisik, “Aku harus bertahan.”Hanya ada satu hal yang sangat ditakutinya, yaitu tertimpa pohon akibat angin ribut yang mendera. Dalam keadaan seperti itu, Drani mempertahankan ketahanan dan keberanian. Ia mencari tempat yang aman dan menjaga dirinya agar tetap selamat. Dalam keputusasaannya, Drani merasa terdiam dan berlutut. Ia merenung sejenak dan memohon kepada Yang Maha Kuasa dengan hati yang tulus,

“Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu. Selamatkanlah aku dan lindungilah diriku dari bahaya yang mengancam. Engkaulah satu-satunya tempat perlindungan yang aku miliki. Dalam kegelapan ini, aku memohon sinar-Mu yang akan membimbingku ke jalan yang benar. Tuntunlah langkah-langkahku menuju keselamatan. Aku berserah diri kepada-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Dalam doa dan harapannya, Drani menemukan ketenangan dan keyakinan bahwa ia tidak sendirian. Ia mengandalkan kuasa yang lebih besar daripada dirinya sendiri, percaya bahwa Allah akan memberikan pertolongan-Nya dalam saat-saat yang paling sulit. Dengan hati yang penuh harapan, ia berusaha mempertahankan keyakinannya dan menyerahkan segala hal kepada kehendak-Nya.

Dalam keadaan gelap yang menghampiri, Drani terus berdoa dengan harapan mendapatkan pertolongan dan bimbingan. Namun, tiba-tiba mata Drani menangkap kilauan yang sangat menyilaukan di ujung penglihatannya. Rasa penasaran yang kuat membuncah dalam dirinya. Bagaimana mungkin ada cahaya yang begitu terang di tengah kegelapan ini? Pada masa ini, hanya lampu minyak seperti petromak yang mampu memberikan cahaya, tetapi tidak secemerlang yang ia lihat sekarang. (BERSAMBUNG)

Exit mobile version