Oleh : H. johan, M.Pd
Guru di SMk Negeri 1 Pangkalpinang
MESKI dalam kondisi pandemi animo masyarakat menyambut hari raya Idul adha atau hari raya kurban cukup antusias. Hal ini tampak dengan munculnya stan atau warung yang menjajakan hewan kurban di berbagai tempat, mulai dari lapak di lapangan luas hingga di pinggiran jalan. Hari raya saban tahun ini memang menjadi magnet tersendiri bagi para penjual hewan kurban untuk meraup pundi-pundi rupiah dengan berbagai macam cara. Di lain sisi, bagi sebagian orang hari raya kurban hanya menjadi seremonial untuk memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Harga hewan kurban naik drastis sejalan dengan banyaknya permintaan konsumen. Parahnya lagi, menjual hewan kurban dengan jalan pintas acapkali dipraktikkan oleh segelintir orang meskipun hewan yang dijual tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan. Dalam aspek pelaksanaan pun masyarakat kita cenderung salah kaprah memaknai ibadah kurban. Momen ini hanya dijadikan ajang pesta daging besar-besaran di seluruh pelosok negeri. Aktivitas membakar satai terjadi secara massal. Daging sapi dan kambing menjadi menu yang tak habis selama beberapa pekan. Padahal di samping kanan-kiri kita ada tetangga yang belum mendapatkan sebungkus daging. Ada fakir-miskin yang belum mendapatkan uluran tangan. Hari raya kurban telah menyimpang dari esensi yang sebenarnya. Begitu pun dalam konteks pendidikan, pengejawantahan tentang makna kurban masih belum menemukan benang merahnya. Pemahaman kurban masih berkutat dalam ranah tekstual, belum menyentuh ruang kontekstual. Maksudnya, pembelajaran kurban yang disajikan masih berupa narasi-narasi ceramah yang efeknya hanya sekadar pengetahuan (kognitif). Pembelajaran dengan metode ceramah yang berkelanjutan seringkali kurang membekas bagi siswa, masuk telinga kanan keluar telinga kiri kemudian menghilang. Akhirnya, bagi generasi muda hari raya kurban hanya dijadikan adat tahunan untuk bercengkrama dengan hewan kurban. Lihat saja, tak sedikit dari anak- -anak dan remaja kita lebih asyik bermain atau memberi makan hewan kurban tanpa mengetahui hakikat dari acara penyembelihan kurban itu sendiri. Generasi milenial minim praktik nyata dalam momen ini, seperti cara penyembelihan, pencacahan, hingga pendistribusian. Jika ini dibiarkan maka akan muncul generasi-generasi yang apatis dengan ibadah kurban. Padahal pahala kurban sangat berlipat ganda. Rasulullah Saw bersabada; “Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dan Bani Adam ketika hari raya Iduladha selain menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat sebagai saksi dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan kurban telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir di tanah. Karena itu, bahagiakan dirimu dengannya” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim). Generasi muda jangan dibiarkan terlena dengan kehidupan dunia yang fana. Gempuran teknologi semakin menjauhkan mereka dari nilai-nilai ukhrawi. Di era tanpa sekat seperti saat ini generasi muda harus dibentengi dengan amalan- -amalan positif sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi. Maka dari itu, penanaman nilai-nilai ukhrawi melalui momentum hari raya kurban mutlak diimplementasikan dengan tepat sasaran. Pendidikan Kurban Kurban yang secara harfi ah memiliki makna pendekatan hamba kepada Allah Swt (taqarrub) harus benar-benar menjadi tujuan utama (goal setting) untuk mencapai derajat takwa. Dalam Qs. Al- -Maidah ayat 27 disebutkan “sesungguhnya Allah Swt hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”. Oleh karena itu hari raya kurban menjadi momentum efektif untuk memupuk karakter profetik kepada generasi milenial. Yaitu suatu karakter yang meneladani sikap nabi (Ibrahim dan Ismail) sebagai manusia yang memiliki keluhuruan budi. Dengannya generasi muda yang mulai kehilangan arah dalam memaknai ibadah kurban dapat diluruskan. Pertanyaannya, bagaimana cara memupuk karakter profetik tersebut kepada kaula muda di masa pandemik seperti saat ini? Institusi pendidikan masih menjadi garda terdepan untuk mengajarkan esensi kurban kepada generasi muda. Dalam kondisi seperti ini pembelajaran mengenai kurban dapat dilaksanakan dengan daring atau virtual. Melalui video streaming yang dipraktikkan oleh guru, para siswa mengeksplorasi cara memilih hewan kurban yang sesuai dengan syarat dan ketentuan, cara memotong hewan kurban, mencacah daging, hingga proses pendistribusian kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun guru yang melaksanakan proses pembelajaran kurban harus tetap mematuhi segala protokol kesehatan. Dalam pembelajaran daring tersebut guru juga menyajikan historis perjuangan dan pengorbanan nabi Ibrahim yang harus rela menyembelih anaknya (nabi Ismail) untuk memenuhi seruan Allah. Tidak hanya itu, peserta didik harus memahami bahwa tujuan dari hari raya kurban adalah untuk berbagi antar sesama, menyembelih sifat-sifat serakah yang ada dalam setiap individu, seperti tamak, sombong, kikir, ghibah, dusta, dan lain-lain. Akhirul kalam, momentum bulan dzulhijjah bagi generasi muda dan seluruh umat muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt sehingga tidak salah kaprah memaknai esensi kurban. (Ujo)