Sastra  

Legenda Tanah Merah Pulau Lepar (Abuk Ambuk dan Abuk Jamilah)

BAB II

Foto tanah merah Lepar

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

Bekaespedia.com_Pada tahun 1817, aksi perlawanan mereka kembali mereka perjuangkan. Tepatnya di Pulau Leat dekat dengan Pulau Lepar, mereka melancarkan aksinya dengan membakar Kapal Inggris secara diam-diam menggunakan taktik perang yang dikenal dengan sebutan taktik perang Hantu Laut.

Dipimpin oleh Ambuk, mereka berhasil memasuki Kapal Inggris dengan cara menyelam dan menaiki kapalnya dengan mudah, kemudian membakarnya tanpa sepengetahuan pasukan Inggris. Para pasukan Inggris melompat dari kapalnya, dan menepi di Pulau Leat. Tidak hanya itu, ketika pasukan Inggris berada di Pulau Leat, mereka kembali menerornya membuat para pasukan Inggris ketakutan.

Bertahun-tahun mereka memburu para Lanun dan armada Inggris dengan strategi yang tersusun rapi, seperti helai-helai jaring laba-laba yang disusun dengan penuh ketelitian. Dari gelapnya malam tanpa bulan hingga fajar yang pucat, mereka berlayar memburu dalam bayang-bayang misteri. Dibalik wajah-wajah keras mereka, tersembunyi tekad baja yang tak tergoyahkan oleh badai dan bahaya.

Memasuki tahun 1820, perubahan waktu mulai mengukir sejarah baru di tanah Bangka. Peristiwa demi peristiwa berganti, membawa musuh-musuh baru yang lebih kejam dan penuh tipu daya. Kekuasaan Hindia Belanda menebar ancaman, menyelimuti setiap sudut tanah ini, termasuk pulau Lepar dengan bayangan kelam kekuasaan mereka.

Ditengah kekacauan ini, Raden Ali terpaksa mengasingkan diri dan menjadi buronan utama, seperti burung elang yang diincar oleh pemburu. Kematian ayahnya Raden Keling, meninggalkan duka yang mendalam, serta menjadi peristiwa buruk yang menggoreskan luka dihati setiap pejuang. Ambuk yang dulu menjadi pengikut setia Raden Ali, kini bagaikan kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing dilautan ketidakpastian tanpa arah.

Raden Ali yang selama ini menjadi pemandu dalam kegelapan, telah hilang. Tanpanya Ambuk merasa kehilangan, namun Ambuk tak pernah menyerah. Dia tetap menjalankan misinya seorang diri, dengan tekad yang tak pernah padam, sambil terus mencari keberadaan Raden Ali.

Bersama Rakyat Lepar dan bermodalkan pedangnya yang tajam, Ambuk terus memburu para Lanun dengan keganasan yang semakin membara. Tiada hari tanpa pemburuan, tiada malam tanpa suara pedangnya yang menderu. Tanah Merah yang dikenal sebagai tempat penghukuman, menjadi saksi bisu dari amarahnya yang tak pernah padam, mencicipi darah dan jerit tangis para Lanun yang berhasil ditangkapnya.

Kekesalan Ambuk terhadap dunia ini, bagaikan api yang berkobar tanpa henti, membakar setiap sudut hatinya. Dalam setiap ayunan pedangnya, terpancar amarah yang menggelegak. Di Tanah Merah itu, dia menumpahkan segala kebenciannya, menghakimi mereka yang mengganggu kedamaian rakyatnya.

Namun dibalik keganasannya, tersembunyi sebuah kerinduan yang tak terucap. Ambuk sering kali berdiri ditepi laut saat senja tiba, merenung di bawah langit yang memerah, bertanya dengan kesendiriannya. “apakah perdamaian, ketenangan tanpa peperangan akan terwujud di masa depan?. Dalam hatinya yang terluka, mimpi tentang dunia yang damai tampak begitu jauh, bagaikan bintang dilangit malam yang tak terjangkau.

Harapnya, jika memang dunia ini tercipta untuk peperangan, maka penerusnya akan mengambil alih perjuangan ini. Bertahun-tahun dia lalui dalam kesendirian, berjuang melawan angin nasib dan gelombang takdir yang setiap harinya adalah medan pertempuran, dan setiap malamnya adalah renungan sunyi.

Hari-harinya adalah syair perjuangan, hingga sampai ajal menjemputnya, Ambuk tetap menggenggam harapan di dadanya yang teguh. Dia berharap, meski raga telah kembali ke tanah, semangat perjuangannya tetap hidup dalam jiwa penerusnya. Dia ingin perjuangannya untuk melindungi Rakyat Lepar dari para penjahat terus berlanjut, seperti arus sungai yang mengalir tanpa henti.

Namun, tiada yang dapat menandingi kegigihan dan kehebatan Ambuk. Penerus-penerusnya mencoba menyamai, akan tetapi bayangan sang legenda terlalu besar untuk mereka. Pedangnya yang kini berkilauan ditangan-tangan baru, menjadi tanda keberadaan dan kelanjutan perjuangannya. Para Lanun gemetar melihat pedang itu, cerita dan kenangan akan Ambuk menggetarkan hati mereka. Tetapi, kelihaian para penerusnya tidaklah setara dengan Ambuk yang dikenal sebagai legenda.

Bertahun-tahun para penerus Ambuk terus berganti dengan sosok-sosok baru, tidak ada yang sesuai dengan harapan Rakyat Lepar sebagai pelindung mereka. Setiap generasi membawa harapan baru, namun bayangan Ambuk terlalu besar untuk mereka gantikan.

Hingga suatu hari, harapan itu datang dalam sosok anak muda yang penuh bakat. Dia dikenal sebagai pendekar muda, seseorang yang sejak remajanya sudah lihai menjebak para Lanun yang ingin mencuri ikan dan umbi-umbian dari kebun Rakyat Lepar. Kelihaiannya laksana puisi dalam gerakan, setiap langkahnya laksana bait dari keberanian.

Namanya adalah Jamilah, dipanggil oleh Rakyat Lepar dengan nama Jamil. Dia adalah bayangan harapan yang ditunggu-tunggu oleh Rakyat Lepar. Dengan kecerdasannya, dia merancang jebakan-jebakan yang rumit, membuat para Lanun terperangkap dalam jaring yang tak terlihat. Setiap kali Lanun tertangkap, Rakyat Lepar bersorak, seperti melihat harapan baru dalam sosok Jamil.

Jamil mewarisi pedang Ambuk dengan kehormatan dan tanggung jawab besar. Di tangannya, pedang itu bersinar terang, seakan menyatu dengan semangat yang ada dalam dirinya. Para Lanun yang dulu gemetar melihat pedang itu, kini lebih ketakutan dengan pemilik barunya. Dalam setiap ayunan pedang Jamil, mereka merasakan kehadiran Ambuk yang hidup kembali.

Rakyat Lepar kini merasa aman. Mereka melihat Jamil bukan hanya sebagai penerus, tetapi juga sebagai harapan yang telah lama dinantikan. Dalam diri Jamil, mereka melihat bayangan Ambuk yang kembali hadir ditengah-tengah mereka, namun dengan semangat baru dan jiwa muda yang membara.

Memasuki tahun 1890, menjadi tahun yang sangat kelam bagi para Lanun. Gelap malam semakin pekat, membawa kesunyian yang mencekam di perairan Lepar. Dibawah kepemimpinan Jamil, banyak Lanun yang tertangkap dan dihukum ditempat penghukuman Tanah Merah. Jamil berhasil menahkodai penangkapan para Lanun dan penjahat lainnya di perairan laut Lepar, membawa ketenangan bagi rakyatnya.

Taktik hantu laut kembali menggelora bersama gemuruhnya gelombang dan angin laut. Di bawah bayang-bayang malam, Jamil dan Rakyat Lepar bergerak dengan tenang, seperti bayangan yang mengintai dari kedalaman.

Disuatu ketika, diperairan Pulau Lepar dekat dengan Pulau Kelapan, ketika angina laut berbisik pelan dan ombak memukul lembut, Jamil dan pengikutnya sudah bersiap menyergap Lanun. Mereka mengenakan pakaian hitam yang menyatu dengan kegelapan, dan tak lupa membawa pedangnya serta jaring yang kuat. Dalam keheningan, mereka mengayuh perahu kecil untuk mendekati kapal Lanun.

Dengan gerakan cepat dan senyap, mereka memanjat sisi kapal perompak. Di bawah bayang-bayang bulan sabit, mereka bergerak lincah, seperti bayangan yang hidup. Jamil memimpin kelompoknya dengan isyarat tangan, memastikan setiap langkah mereka digerakkan dengan hati-hati.

Setelah mereka sampai di dek kapal, mereka menemukan para Lanun sedang tertidur lelap, seperti merasa aman di tengah laut yang luas. Namun, ketenangan itu segera berubah menjadi kekacauan. Dalam sekejap, Jamil dan pengikutnya meluncurkan serangan mendadak. Mereka menjatuhkan jaring yang kuat yang telah disiapkan, melumpuhkan mereka yang terkejut dan tak siapkan diri.

Dalam waktu singkat, kapal Lanun itu sudah dalam kendali Jamil dan pengikutnya Rakyat Lepar. Para Lanun diikat dan dilucuti senjatanya, tak berdaya menghadapi kecepatan dan ketangkasan Jamil. Mereka menemukan barang-barang, seperti peralatan nelayan, jaring, tombak, hingga karungan timah yang menurut keterangan pengikutnya disaat sore tadi, berhasil dirampok di perairan Sungai Kepoh, serta karungan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan Lepar.

Kapal Lanun itu, kemudian di bawa ke pelabuhan Tanjung Gegading Pulau Lepar. Di mana penduduk Lepar kembali menyambut mereka dengan sorak sorai. Keberanian dan kecerdikan Jamil telah membawa kedamaian kembali ke pemukiman Lepar, dan para Lanun pun diadili atas kejahatan mereka.

Para Lanun lainnya menyadari bahwa mereka telah dikalahkan, bukan oleh kekuatan yang lebih besar, tetapi oleh kecerdikan yang tak terduga. Namun, tidak hanya Jamil dan Rakyat Lepar yang mengusik ketenangan para Lanun. Penjajah Belanda juga ikut memberantas mereka, beriringan dalam usaha menumpas ancaman di perairan nusantara.

Oleh sebab itu, seiring berjalannya waktu keberadaan Lanun mulai menipis, seperti kabut yang tersapu oleh sinar matahari. Masa-masa akhir dari sejarah Lanun mulai tampak di cakrawala. Lanun yang dulunya perkasa dan menakutkan, kini hanya kenangan. Jamil dan Penjajah Belanda, meski berbeda tujuan, berkontribusi dalam menghapus jejak mereka dari perairan ini. Tahun-tahun berikutnya, keberadaan Lanun mulai lenyap, menghilang seperti bayangan ditengah hari.

Hilangnya Lanun dari Pulau Lepar membawa ketentraman yang lama dirindukan oleh Rakyat Lepar. Mereka kini dapat melaut dan berkebun di wilayah mereka sendiri, tanpa bayang-bayang ketakutan yang selalu mengintai. Harapan Ambuk, sang lengenda semakin dekat dengan kenyataan, terpancar di setiap senyum dan tawa yang kembali mengisi hari-hari mereka.

Jamil dan Rakyat Lepar merasa tenang dan damai menjalani kehidupan, menghirup udara kebebasan yang telah lama diperjuangkan. Lading-ladang kembali subur, laut kembali ramah dan malam kembali hening tanpa ancaman Lanun yang mengintai. Dalam hati mereka, terpatri rasa syukur dan kebanggaan atas perjuangan yang telah ditempuh.

Namun, kewaspadaan mereka tetap tak hilang, seperti bayangan yang selalu mengikuti dibawah sinar matahari. Keberadaan penjajah menjadi ancaman yang bisa datang kapan saja, mengintai dalam kesenyapan. Mata-mata mereka tetap terjaga, telinga mereka tetap mendengar, dan hati mereka tetap waspada.

Ambuk dan Jamil menjadi dua pendekar yang melegenda di Tanah Lepar. Anak-anak hingga orang tua menjadikan kisah mereka sebagai inspirasi dan teladan dalam berjuang untuk hidup serta berguna untuk orang banyak. Tahun demi tahun terus berlalu, dan seiring berjalannya waktu, Ambuk dan Jamil dipanggil dengan sebutan Abuk Ambuk dan Abuk Jamilah yang berarti Kakek Ambuk dan Kakek Jamilah.

Pedang Ambuk yang dulunya hebat dan berkilau dalam pertempuran, juga ikut menjadi legenda di masa-masa yang terus berganti. Pedang itu, meski tak lagi terayun lagi dalam peperangan, tetap menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati Rakyat Lepar. Generasi demi generasi pedang itu terus terwarisi oleh para pewaris baru, menjadi lambang kewaspadaan Rakyat Lepar terhadap ancaman-ancaman yang akan datang.

Sampai saat ini, Rakyat Lepar dalam ketenangannya, tetap menjaga kewaspadaan. Pedang itu adalah pengingat, dalam setiap langkah, dalam setiap tindakan, mereka membawa semangat Abuk Ambuk dan Abuk Jamilah, menjaga mimpi dan harapan agar tetap hidup, seperti api yang menyala dan tak pernah padam.

TAMAT.

Toboali, 3 Oktober 2024

Exit mobile version