Oleh: Ichsan Mokoginta Dasin
Bekaespedia.com _ TAK banyak masyarakat modern yang tahu kalau tradisi gotong royong masyarakat Bangka tempo dulu terbilang unik, berjenjang dan memiliki pengertian yang beda.
Paling tidak ada tiga jenjang bentuk kerja sama sebagai perwujudan dari sebuah ‘kesalehan’ sosial yang lazim dilakukan oleh masyarakat Pulau Bangka tempo dulu. Tradisi itu dikenal dengan istilah beganjal, gutong ruyong dan besaoh. Pengejawantahan dari ketiga tradisi ini, selanjutnya juga akan melahirkan tradisi ‘turunan’ lainnya yaitu nyambut dan ngambik upah atau ngelangkong.
Tradisi beganjal adalah sistem kerja sama dimana tenaga (hasil kerja) hanya dibayar dengan keikhlasan. Manfaatnya hanya bersifat individual atau dinikmati oleh satu keluarga saja.
Tradisi ini hanya ditemukan pada saat musim nugal (menanam) padi. Jika musim tanam tiba, pemilik ladang biasanya mengundang masyarakat sekitar untuk membantu menanam padi di ladang atau huma. Dalam tradisi beganjal, masyarakat yang datang membantu menugal padi tidak mendapat upah. Pemilik ladang hanya menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka yang bekerja.
Selain itu, jika hasil panen melimpah, maka pemilik ladang seikhlasnya memberikan hasil panen (beras) kepada mereka yang hadir saat menugal maupun mengetam. Namun pemberian berupa hasil panen kepada mereka yang menugal dan mengetam, bukanlah suatu keharusan. Akan tetapi, yang wajib dikeluarkan adalah membayar hol atau haul yakni membagikan beras kepada fakir miskin jika hasil panen melimpah ruah atau melebihi dari ekspektasi dari benih yang ditanam.
Dalam tradisi beganjal, laki-laki dan perempuan boleh ikut serta. Semakin ramai masyarakat yang datang membantu, pemilik ladang akan semakin senang. Semakin banyak orang yang datang membantu maka artinya bahwa pemilik ladang disukai oleh masyarakat dan memiliki hubungan serta pergaulan yang baik dengan para tetangga dan warga sekitar. Sebaliknya, jika sedikit yang datang, berarti pemilik ladang tidak pandai atau kurang dalam bergaul.
Biasanya, tradisi beganjal juga merupakan ajang mencari jodoh. Oleh sebab itu, peserta beganjal mayoritas adalah muda-mudi. Saat menugal atau mengetam, merupakan kesempatan bagi muda-mudi untuk saling melakukan pendekatan (pedekate) dan kadangkala berlanjut dengan betason menuju pelaminan.
Istilah beganjal juga dikenal dalam tradisi masyarakat Melayu Lingga Kepulauan Riau. Jika dalam masyarakat Bangka mengenal beganjal sebagai tradisi kerja sama dalam hal ‘menugal’ padi, maka dalam masyarakat Melayu Lingga beganjal dapat dijumpai ketika masyarakat hendak melaksanakan suatu hajatan, seperti pesta perkawinan dan sebagainya. Dalam tradisi beganjal di Lingga, masyarakat kompak bersama-sama mempersiapkan keperluan sebelum pesta perkawinan, seperti membuat bangsal atau pondok tempat memasak, mencari kayu bakar, mempersiapkan alat pecah belah hingga memasak nasi dan lauk pauk.
Masyarakat yang datang membantu juga tidak mendapat upah. Pemilik hajatan hanya menyiapkan makanan dan minuman saja.
Setelah beganjal, masyarakat tradisional Bangka juga mengenal istilah gutong ruyong (mungkin diadaptasi dari istilah ‘keindonesiaan’ yakni gotong royong). Seperti halnya beganjal, gutong ruyong juga merupakan sistem kerja sama dimana tenaga (hasil kerja) hanya dibayar dengan keikhlasan.
Lazimnya gutong ruyong, lebih sering dilakukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Misalnya gutong ruyong membersihkan pemandian, membangun jalan atau membantu membangun masjid, dan terkadang juga bersifat individual seperti membangun atau memperbaiki rumah bagi keluarga yang tak mampu atau rumah yang rusak oleh sebab bencana alam dan lain sebagainya.
Dalam tradisi gutong ruyong, ada semacam ‘paksaan’ atau keharusan agar seseorang harus terlibat aktif. Sebab ada semacam beban sosial jika seseorang tidak ikut serta dalam kegiatan gutong ruyong. Bahkan, dalam kelompok masyarakat tertentu, seseorang yang tidak pernah terlibat dalam gutong ruyong, bisa dikucilkan dari hubungan sosial warga sekitarnya. Inilah yang sesungguhnya membedakan istilah gutong ruyong dengan beganjal, selain sifat atau manfaat dari kerja sama tersebut.
Masyarakat Bangka Tempo dulu juga mengenal istilah besaoh. Istilah yang satu ini terbilang cukup populer karena masih sering ditutur bahkan menjadi tagline atau semboyan daerah salah satu kabupaten di Bangka Belitung yakni Junjung Besaoh.
Besaoh dalam konteks kekinian hanya dibangun dalam bentuk adaptasi dari istilah semata. Sementara nilai-nilai atau filosofi dari besaoh itu sendiri jarang tergali bahkan tak tersentuhkan.
Besaoh berdasarkan istilah merupakan sistem kerja yang melibatkan dua orang atau sekelompok orang dewasa dengan sistem tenaga dibayar tenaga dengan jenis pekerjaan yang sama atau berbeda. Awalnya tradisi ini hanya dilakukan oleh masyarakat petani dalam hal merawat kebun mereka.
Besaoh lazim dilakukan berkaitan dengan pekerjaan yang berat. Seperti besaoh mencari junjung, membuka lahan perkebunan, membuat bandar atau parit baik sebagai batas tanah kebun maupun untuk sanitasi. Dengan besaoh maka pekerjaan berat akan menjadi jauh lebih ringan: Tak akan menjadi berat jika ditanggung secara bersama.
Selain dilakukan orang dewasa, besaoh bagi masyarakat di Pulau Bangka tempo dulu ternyata juga sudah dibiasakan terhadap anak-anak, khususnya untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan seperti mengambil air.
Dulu sebelum mengenal sumur galian maupun sumur bor, untuk memenuhi kebutuhan air minum, masyarakat langsung mengambil ke sungai terdekat. Di hampir setiap keluarga, tugas mengambil air biasanya menjadi tugas anak laki-laki di dalam keluarga tersebut. Maka oleh orangtua mereka, diberlakukanlah tradisi yang disebut besaoh nyelem aek (besaoh mengambil air) yang melibatkan anak di keluarga A dengan keluarga B.
Dalam tradisi ini sangat populer dengan terminologi perintah: Jang, Nyelem Aek ! (Jang = panggilan terhadap anak laki-laki, Nyelem atau Selem = ambil atau timba, Aek = Air atau Sungai). Maka jika didefinisikan secara bebas bermakna: Nak, tolong ambil air di sungai !
Air tersebut dibawa menggunakan ember atau jeriken yang ukuran dan beratnya disesuaikan dengan kemampuan si anak, dengan cara dipikul berdua menggunakan sebatang kayu yang disebut penangkon atau tangkon.
Jika si A telah membawa air sebanyak satu pikulan atau dua pikulan ke rumah si B, maka si B wajib membayarnya dengan jumlah pikulan dan takaran air yang sama pula. Demikianlah, cara orangtua tempo dulu dalam mendidik anak-anak mereka untuk saling bekerja sama dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban agar terasa lebih ringan. Mendidik sikap yang bertanggung jawab, toleran dan saling asih dengan filosofi berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Selain beganjal, gutong ruyong dan besaoh, sistem kerja masyarakat Bangka tempo dulu juga mengenal istilah nyambut dan ngambik upah atau dikenal juga dengan istilah ngelangkong.
Nyambut adalah memakai atau menggunakan barang makanan pokok (beras, gula, garam, dan lain-lain) kepada tetangga dekat lantaran si penyambut pada saat itu tidak mampu membeli, atau tidak sempat membelinya lagi.
Barang yang diterima oleh si penyambut tersebut harus diganti dengan barang yang sama dan jumlah yang sama pula. Jika menyambut 1 kg beras, maka harus dibayar dengan 1 kg beras dengan jenis beras yang sama.
Tapi ada kalanya, dalam tradisi nyambut, tak selamanya juga harus dibayar atau diganti dengan benda, atau tak mesti benda diganti benda. Terkadang si penyambut membayar benda yang ia terima tersebut dengan tenaga. Misalnya dibayar dengan cara bekerja di kebun yang memberi sambut, atau sekadar membantu keluarga pemberi sambut memasak, mencuci dan lain sebagainya sesuai dengan nilai seberapa besar barang yang ia terima dari pihak pemberi sambut.
Nyambut juga terdapat dalam tradisi berkebun dengan istilah nyambut bibit atau minjam bibit. Lazimnya digunakan saat musim menanam padi. Bibit padi yang disambut akan diganti bibit padi yang sejenis dengan takaran yang sama pula. Biasanya bibit yang disambut ini baru akan diganti pada pasca panen.
Sedangkan ngambik upah atau ngelangkong adalah ketika tenaga dibayar dengan meteri atau upah yang umumnya berbentuk uang dengan nilai yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, pekerja perempuan dibayar dengan upah yang lebih murah sementara kaum pria dibayar lebih mahal. Hal ini mengingat jenis pekerjaannya yang beda.
Kaum pria umumnya mengerjakan jenis pekerjaan yang lebih berat ketimbang perempuan. Misalnya membuat parit di kebun (bandar), betebas tebeng, mengambil junjung dan lain sebagainya. Sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan seperti merumput, memetik hasil kebun (lada atau padi) dan lain sebagainya.
Ringkasnya, baik nyambut maupun ngambik upah, merupakan sistem kerja yang menekankan bahwa tenaga atau jasa harus dibayar dengan materi. Begitu kayanya kearifan lokal kita ! (*)
Catatan: Tulisan ini disarikan kembali dari laporan jurnalistik ‘Catatan Budaya’ penulis di Harian Bangka Pos April 2012. Setelah dilakukan tambahan dan perbaikan seperlunya, diterbitkan kembali dengan judul yang sama.