Oleh: Sutiono
Sinar mentari semakin meredup, awan pun perlahan menampakkan warnanya yang khas menghiasi hamparan cakrawala di ufuk barat, menandakan hari sudah sore.
Siulan burung kutilang dan murai batu saling bersahut-sahutan, menghasilkan irama merdu yang menambah syahdunya suasana sore itu.
Di bawah pohon tampui yang rindang, terpaan angin sore yang sepoi-sepoi menjadi saksi bagi sekelompok bocah hebat dan pemberani.
Mereka adalah Tunku Singalangit, Reres, Andi, Idam, dan Siti Aminah, yang oleh masyarakat dijuluki “Lima Sekawan.”
Mereka berkumpul dan berdiskusi untuk merencanakan serta mempersiapkan kegiatan nanjuk ajung (berburu belalang) malam ini yang berlokasi di ume milik Mang Ukot.
Malam tiba, hamparan langit begitu indah. Bulan sabit menggantung rendah di langit, memancarkan sinar temaram yang menyinari ladang padi di kaki bukit.
Bintang-bintang berkedip, seolah ikut menemani petualangan malam yang penuh semangat. Ladang (ume) itu terasa hidup dengan suara gemerisik dedaunan padi yang digoyang angin malam.
Tunku Singalangit, pemimpin kelompok, berdiri di tepi ladang sambil mengenakan senter di kepalanya.
Di belakangnya, empat sahabatnya, Reres Siti Aminah, Andi, dan Idam sibuk mempersiapkan peralatan untuk menangkap belalang.
“Malam ini sangat pas untuk nanjuk ajung,” ujar Tunku dengan nada percaya diri.
Ia memandang Andi dan Idam yang terlihat paling bersemangat.
“Tapi ingat, jangan rebutan ya. Belalang itu banyak, kok,” tambahnya memperingatkan.
Siti Aminah, satu-satunya perempuan di kelompok itu, tersenyum sambil menggoyangkan senter kecil berwarna pink di tangannya.
“Aku penasaran, berapa banyak belalang yang bisa kita tangkap malam ini. Yang penting jangan sampai ada yang lepas dari genggaman kita.”
Terdengar sahutan dari belakang. Reres, sambil tertawa lantang, berseru.
“Kalau lepas, tanggung jawab Idam!” Idam hanya membalas dengan senyum kecil, tapi dari sorot matanya terlihat ia sudah tak sabar memulai perburuan.
Mereka membagi tugas.
Tunku mengatur strategi; Siti Aminah dan Reres bertugas memegang lampu untuk menarik perhatian belalang, sedangkan Andi dan Idam bertugas menangkap.
Ladang itu luas, dan belalang-belalang biasanya melompat keluar saat terkena cahaya lampu. Dengan koordinasi yang baik, mereka yakin akan membawa pulang banyak tangkapan.
Namun, malam yang awalnya penuh semangat berubah ketika Andi berhasil menangkap seekor belalang besar berwarna hijau menyala.
“Wah, ini besar sekali! Lihat, Idam!” serunya bangga dan sedikit mengejek sambil mengangkat belalang itu.
Idam, yang sejak tadi hanya mendapatkan belalang kecil, merasa iri. Ia mendekat dan mencoba merebut belalang dari tangan Andi.
“Bagi aku saja, Andi. Aku belum dapat yang sebesar itu,” kata Idam memohon sambil mencoba mengambilnya.
“Ini hasil tangkapanku! Cari sendiri kalau mau yang besar!” jawab Andi keras, sambil menjauhkan tangannya.
Pertengkaran pun pecah. Perang mulut terjadi, bahkan Idam sempat mendorong Andi. Siti Aminah dan Reres mencoba melerai, tetapi kedua bocah itu sudah terlanjur panas.
“Sudah! Cukup!” suara Tunku menggelegar, memecah keheningan malam. Ia berdiri di tengah-tengah Andi dan Idam, memandang tajam kedua temannya. “Kita datang ke sini untuk bersenang-senang menangkap ajung, bukan untuk bertengkar. Kalau kalian tidak bisa bekerja sama, kita semua pulang sekarang juga,” tegas Tunku dengan dingin tapi penuh wibawa.
Andi dan Idam saling pandang. Wajah mereka memerah, entah karena malu atau menahan emosi. Setelah beberapa saat, Idam menghela napas panjang. “Maaf, Andi. Aku terlalu serakah dan egois,” katanya lirih.
Andi tersenyum, menunjukkan lesung pipinya. “Aku juga minta maaf. Aku tidak seharusnya pelit.”
Tunku tersenyum lega melihat keduanya berdamai. “Nah, sekarang ayo fokus lagi sesuai tujuan kita. Waktu kita tidak banyak, manfaatkan malam ini sebaik-baiknya.”
Dengan semangat yang kembali menyala, mereka melanjutkan perburuan belalang.
Suasana mencair dan menjadi hangat. Andi bahkan membantu Idam menangkap beberapa belalang besar. Reres dan Siti Aminah tertawa melihat tingkah mereka yang canggung tapi bekerja sama.
Menjelang tengah malam, bunyi jangkrik semakin melengking, diselingi suara burung hantu.
Dengan tekad kebersamaan dan kerja sama tim, kideng (tempat membawa barang) mereka penuh dengan belalang. Ladang kembali sunyi, diselimuti embun malam dan alunan suara jangkrik serta hembusan angin yang menusuk hingga tulang.
Dengan langkah bersuka ria, mereka berjalan pulang melalui jalan setapak perkebunan lada dan karet, membawa cerita yang akan dikenang hingga masa tua.
Petualangan malam itu bukan hanya tentang ajung (belalang) yang mereka tangkap, tetapi juga pelajaran berharga tentang kepemimpinan, persahabatan, dan kerja sama.
Di bawah kepiawaian Tunku Singalangit yang bijaksana, mereka belajar bahwa nanjuk ajung di ladang padi bisa menjadi petualangan penuh makna dan hikmah kehidupan.*