SERULING AJAIB & BUJANG LIMPU: KISAH SI MISKIN PENAKLUK KERAJAAN

Cerita Rakyat oleh Belva Al Akhab

Dahulu kala, di sebuah kampung yang tenang di selatan Pulau Bangka, hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Limpu . Hidupnya serba kekurangan, sama saja, dan tanpa harapan. Rumahnya hanyalah sebuah pondok reot yang hampir roboh. Suatu sore, saat Limpu termenung meratakan nasibnya, matanya tertumbuk pada sesuatu yang terselip di atap pondoknya yang bocor. Sebuah seruling indah terbuat dari bulo temiang, dekorasi ukiran-ukiran halus, tersembunyi di sana.

Limpu meraih seruling itu. “Meminta apa ini?” bisiknya pada diri sendiri. Ia mencoba meniupnya, dan tiba-tiba terdengar suara melengking memenuhi ruangan. Lebih mengejutkan lagi, dari lubang seruling itu keluar gumpalan asap yang kemudian berubah wujud menjadi seorang bocah laki-laki, sebaya di dekatnya.

Bocah itu bersujud di hadapan Limpu. ” Apa perintah tuanku? Akan hamba laksanakan, ” katanya dengan penuh hormat.

Limpu terkejut, namun dengan cepat ia menguasai diri. Ia menyadari bahwa bocah itu adalah anak jin. Sebuah ide terlintas di benakku. “Antarkan aku ke istana negeri,” perintah Limpu, “Aku ingin menghadap putri pemimpin negeri!”

Anak jin itu dengan sigap menggendong Limpu dan membawanya terbang menuju mahligai putri. Sesampainya di sana, anak jin itu menghilang. Putri yang sedang menikmati sore di mahligainya, terkejut melihat seorang pemuda tiba-tiba berdiri di hadapannya.

“Wahai anak muda, apa hajat dan keperluanmu datang kemari?” tanya putri dengan nada keheranan.

Limpu tipis tersenyum. “Hamba dibawa terbang oleh anak jin, Tuanku Putri. Hamba datang ke sini ingin bertemu dengan yang mulia putri.”

Putri memandangi Limpu dengan saksama. Dalam hatinya, ia menyimpulkan, “Cukup tampan dan gagah pemuda ini.” Tak butuh waktu lama, keakraban tumbuh di antara mereka. Mereka bermain dan bersenda gurau seperti sahabat lama, mengisi kekosongan hati masing-masing. Karena kelelahan, Limpu tertidur pulas di samping putri.

Saat Limpu terlelap, putri melihat sesuatu terselip di balik baju Limpu. Ternyata itu adalah seruling indah tadi. Penasaran, putri mengambil seruling itu dan meniupnya. Suara melengking kembali terdengar, dan sekali lagi, gumpalan asap muncul, menjelma menjadi bocah jin.

“Apa keperluan Tuan Putri memanggil hamba?” tanya anak jin itu sambil menyembah. “Apapun perintah Tuan Putri, akan hamba laksanakan!”

Putri terkejut setengah mati, hampir pingsan. Namun, ia berhasil menenangkan diri. “Tolong, bawa pemuda ini ke puncak gunung di sebelah sana!” perintah putri sambil menunjuk ke arah selatan. Anak jin itu segera memanggul Limpu dan membawanya ke puncak gunung, lalu menghilang.

Tak lama setelah anak jin pergi, Limpu terbangun. Ia terkejut bukan karena mendapati dirinya berada di hutan lebat. Serulingnya pun telah raib entah ke mana. “Di mana aku? Dan serulingku… ke mana dia?” gumamnya bingung. Setelah merenung sejenak, Limpu bangkit dan mulai menjelajahi hutan.

Di tengah lebatnya hutan, samar-samar terdengar suara percakapan. Limpu mengendap-endap mengikuti sumber suara, dan ia menemukan dua bocah kecil sedang duduk berhadapan di atas pohon yang rindang, kaki mereka menjuntai. Di tangan mereka ada tiga benda aneh: sebuah garu , sebuah cincin , dan sebuah anak panah . Raut wajah mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah manusia biasa, melainkan anak jin penghuni puncak gunung.

Anak jin kedua itu tampak kebingungan membagi benda ketiga tersebut. “Jika aku mengambil anak panah, kau dapat garu, lalu cincin ini untuk siapa?” kata salah satu anak jin.

“Jika aku dapat cincin, kau dapat garu, lalu anak panah ini untuk siapa?” balas yang lain. Begitulah mereka terus berdebat, tak ada habisnya.

Limpu memperhatikan dengan saksama. Dia tahu ini adalah kesempatan emas. Ia memutuskan untuk mendekati mereka dari samping. Saat salah satu anak jin berkata, “Jika aku dapat anak panah, kau dapat garu, lalu cincin ini untuk siapa?”, Limpu muncul tiba-tiba.

“Untukku!” seru Limpu.

Kedua anak jin itu terkejut dan teringat. “Jika cincin ini untukku, apa gunanya?” tanya Limpu.

“Jika cincin ini digosok, apa pun yang kamu inginkan akan segera terkabul,” jawab salah satu anak jin, serahkan benda ketiga itu kepada Limpu. “Begitu pula dengan garu dan anak panah ini.”

Limpu menerima benda ketiga itu dengan gembira dan mengucapkan terima kasih. Tanpa membuang waktu, ia menggosok anak panah dan diperintahkan agar ia diantar kembali ke mahligai putri. Sekejap mata, Limpu sudah berada di hadapan putri.

Putri semakin takjub. “Bagaimana mungkin pemuda ini bisa kembali ke sini? Benda ajaib apa lagi yang dimilikinya?” pikirnya dalam hati. Namun, kekhawatiran putri sirna dengan cepat, karena jauh di lubuk hatinya, ia sangat menyukai Limpu. Mereka kembali akrab dan bercanda ria. Karena kelelahan, Limpu pun kembali tertidur.

Benda ajaib ketiga yang diberikan kepada anak jin gunung kembali diambil oleh putri. Namun, kali ini, putri tidak lagi ingin memisahkan diri dari Limpu. Benih-benih cinta telah tumbuh di hatinya. Sebuah ide terlintas: bagaimana jika mereka pergi berdua ke pulau yang jauh dari istana? Putri menggosok anak panah dan diperintahkan agar mereka berdua dibawa ke sebuah pulau. Dalam sekejap mata, mereka telah tiba di pulau tujuan.

Limpu kembali terkejut saat terbangun dan mendapati dirinya berada di pulau terpencil bersama putri. Mereka kembali bercandaria, dan tanpa disadari, Limpu kembali tertidur. Saat Limpu terlelap, putri memanfaatkan kesempatan itu untuk memerintahkan anak panah ajaib untuk membawa kembali ke istana. Limpu terbangun sendirian di pulau terpencil.

Sekali lagi, Limpu terjerembap dalam kesulitan. Benda-benda ajaib pemberian anak jin gunung telah dibawa pergi oleh putri. Dalam kebingungannya, ia berjalan mengikuti ke mana kakinya melangkah. Hingga akhirnya, ia sampai di bawah pohon Nyato yang besar. Lelah berjalan, ia memutuskan untuk beristirahat di dahan pohon yang rindang.

Saat ia duduk, seekor burung Betet terbang mendekat, tak menyadari kehadiran Limpu. Tak lama kemudian, seekor burung Betet lain naik. Kedua burung itu mulai bercakap-cakap. “Kayu pohon Nyato ini, kalau dipatahkan dan diambil pucuknya, apa saja yang menjadi kemampuan kita akan dapat terkabul,” kata salah satu burung.

Burung yang lain menyyahut, “Jangan bicara begitu! Nanti didengar manusia dan kita tidak bisa berkawan lagi.”

Setelah itu, kedua burung Betet itu terbang pergi, tak menyadari bahwa percakapan mereka telah didengar dengan jelas oleh Limpu. Dengan sigap, Limpu mematahkan pohon Nyato, mematahkan pucuknya, dan berkata, “Bawalah saya ke mahligai putri!” Sekejap mata, Limpu sudah berada di hadapan putri.

Putri semakin tercengang. “Bagaimana bisa Limpu kembali lagi? Berapa banyak benda ajaib yang dimilikinya?” pikir putri. Namun, rasa cinta dan kasih sayangnya kembali bersemi. Kali ini, ia bertekad menceritakan semua yang telah dialaminya bersama Limpu kepada ayahnya, sang datuk pemimpin negeri.

Putri pun turun dari mahligai, namun ia merasa heran kesibukan melihat para hulubalang, pembesar istana, dan prajurit. “Ayahanda yang mulia, ada gerangan apakah sehingga seluruh kerajaan tampak sangat sibuk? Apakah negeri kita mendapat ancaman dari musuh?” tanya putri kepada ayahnya.

“Betul, wahai anandaku tersayang,” jawab datuk pemimpin negeri dengan wajah cemas. “Negara kita sedang menghadapi serangan musuh.”

Putri teringat akan Limpu. “Paduka Ayahandaku yang mulia,” katanya, “di mahligai ananda, ada seorang pemuda yang memiliki banyak benda pusaka berkekuatan gaib. Ananda yakin ia mampu membantu kita melawan dan mengusir musuh-musuh!”

Datuk pemimpin negeri terkejut. “Dari mana pemuda itu bisa masuk ke dalam istana dan sampai menaiki mahligai putriku, padahal penjagaan sangat ketat?” pikirnya. Coba panggilkan pemuda itu dan suruh menghadap paduka ayahanda!

Limpu pun dipanggil menghadap datuk pemimpin negeri. “Apakah kamu dapat melawan musuh-musuh yang akan menyerang negeri ini?” tanya datuk pemimpin negeri.

“Ampun paduka tuanku,” jawab Limpu dengan penuh keyakinan. “Hamba akan laksanakan setiap titah. Kiranya hulubalang tuanku saya harapkan juga bersiap-siap membantu hamba. Dengan demikian, hamba mampu menghadapi musuh!”.

Limpu kemudian memohon pamit untuk mempersiapkan diri. Ia meminta putri mengembalikan semua benda ajaib yang disimpannya: seruling, anak panah, garu, dan cincin pemberian anak jin. Setelah semuanya kembali padanya, Limpu memblokir perbatasan negeri untuk menghadapi musuh.

Mula-mula, ia membakar garu. Asapnya yang pekat membuat musuh mabuk dan kerepotan. Saat musuh limbung karena asap garu, Limpu melepaskan anak panah ajaibnya. Dengan kekuatan gaibnya, anak panah itu melesat, menghujam, mencari, dan mengenai sasaran, merenggut nyawa banyak pasukan musuh.

Setelah beberapa hari pertempuran, pasukan musuh akhirnya melarikan diri kocar-kacir dari medan perang. Pasukan negeri meraih kemenangan gemilang berkat usaha dan jasa Bujang Limpu.

Sebagai penghargaan atas jasanya kepada kerajaan, datuk pemimpin negeri mengawinkan Limpu dengan putri. Pesta pernikahan dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, disambut seluruh rakyat negeri dengan suka cita. Limpu dan putri hidup berbahagia. Setelah datuk pemimpin negeri wafat, tahta negeri pun diserahkan kepada Limpu sebagai penggantinya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana, dan negeri itu pun hidup dalam kedamaian.

 

Unsur Kearifan Lokal:

1. Pundok Hume: Rumah tradisional Bangka

2. Bulo Temiang: Bambu khas Bangka

3. Garu: sejenis pohon kayu yang mengeluarkan aroma khas jika dibakar.

4. Kayu Are & Nyatoh: Pohon endemik Bangka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *