Sungai yang Menghidupkan

Oleh: Sutiono, S.Pd. Kim., M.M

Di daerah perbukitan dan pepohonan yang menjulang tinggi serta terdapat hamparan persawahan membentang dari barat ke timur, terdapat sebuah desa yang elok nan indah, desa tersebut menjadi terkenal karena hasil alam, kemakmuran dan kedamaian serta penduduk yang sangat ramah. Desa itu terkenal dengan sebutan Desa Siri Wengi. Di tengah Desa Siri wengi yang subur, mengalir sebuah sungai bernama sungai Sari Kemis. Sungai ini telah lama menjadi sumber kehidupan bagi para petani desa. Airnya yang jernih mengaliri sawah-sawah mereka, memberikan kesuburan pada tanaman yang menjadi tumpuan hidup masyarakat dan sungai juga berfungsi sebagai budidya perikanan.

Namun, seiring berjalannya waktu, sungai Sari Kemis sudah berubah. Aliaran air yang dulu sangat bersih, jernih dan menyejukkan sehingga memanjakan kita saat mandi dan berenang, kondisi kini hanya tinggal kenangan karena aliran sungai sudah dipenuhi sampah dan limbah dari aktivitas tambang yang mencemari. Air sungai menjadi keruh, menandakan rusaknya ekosistem yang selama ini menopang kehidupan desa.

Di suatu pagi yang dingin dan sejuk, tetesan embun pagi berjatuhan yang diiringi riuh irama burung bernyayi merdu seolah-olah memanggil mentari supaya cepat bangun dari tidurnya dan segera tersenyum untuk memberi kehangatan jiwa-jiwa manusia yang membutuhkan kehangatannya. Di tepian sungai Sari Kemis, terdapat  sosok yang berdiri sambil menatap arah sungai, dan pemuda itu bernama Tunku Singalangit, seorang anak muda yang baru kembali ke desa setelah lama merantau ke negeri seberang dalam menyelesaikan pendidikan di bidang pertanian dan menjadi sarjana itu merupakan impian dia saat masih kecil. Hatinya perih dan pedih melihat kondisi sungai Sari Kemis yang sangat berbeda dari ingatannya. Dulu, ia sering bermain di tepi sungai bersama teman-temannya, menyaksikan ikan-ikan kecil berenang riang sambil bersembunyi dibalik rerumputan tumbuhan air seolah-olah mengajak mereka bermain. Namun kini, yang tersisa hanya tinggal kenangan dan bayangan masa lalu yang seakan hilang ditelan waktu.

Dalam suasana hening di pagi hari itu, Tunku Singalangit merasa terpanggil untuk mengembalikan kejayaan sungai Sari Kemis. Ia tahu bahwa sungai ini lebih dari sekedar aliran air. Sungai ini adalah simbol kehidupan dan harapan bagi para petani desa. Berbekal ilmu yang ia dapatkan selama kuliah dan pengalaman di tanah rantau, Tunku Singalangit memulai usahanya dengan membersihkan sampah yang mengotori sungai. Ia tidak sendiri, beberapa warga desa yang peduli dan termasuk sahabat masa kecilnya yaitu Su’eb, Samir, Sandi dan Saman yang di kenal julukan lima sekawan (5S), turut bergabung dalam upaya ini, meskipun banyak pula yang meragukan keberhasilan mereka.

Namun, langkah Tunku Singalangit dan kawan-kawannya untuk menyelamatkan sungai Sari Kemis tidak berjalan mulus sesuai dengan rencana. Mereka berhadapan dengan Jarot, seorang pendukung tambang yang selalu melihat keuntungan dari sisi eksploitasi dan ambisi pribadi.

Di suatu hari yang cerah dan mentari bersinar dengan terang tanpa berkedip, ketika Tunku Singalangit sedang mengajak warga membersihkan tepi sungai, Jarot datang dengan wajah sinis. “Tunku Singalangit, apa yang kau lakukan ini, hanya usaha yang sia-sia,” kata Jarot, dengan nada meremehkan. “Tambang ini adalah masa depan desa dan telah merubah hidup kita. Lihat, dengan tambang, kita mendapatkan uang, lapangan pekerjaan, dan pembangunan. Apa yang bisa kau tawarkan selain mimpi yang kosong dan tidak berguna itu?” Tunku Singalangit menatap Jarot dengan tatapan tajam. “Jarot, sungai ini adalah nyawa kita. Apa gunanya uang dan pekerjaan jika air yang kita minum teracuni dan sawah kita kering serta ikan-ikan yang kita budidaya pada mati? Tambang yang kamu banggakan itu, hanya akan menghancurkan kehidupan kita dalam jangka panjang.” Jarot tersenyum sinis dan tertawa kecil serta mencibir. “Kau bicara seperti seorang idealis yang tidak paham kenyataan dan sangat disayangkan gelar sarjana yang tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, Tunku Singalangit. Dunia ini tidak seindah teorimu di buku-buku atau cerita dongeng orang tua kita dulu. Kalau kau terus melawan tambang, kau hanya akan menghambat kemajuan di desa kita ini dan harus bertanggungjawab jika pembangunan tidak terlaksana dengan baik.” Dari belakang Tunku Singalangit terdengar suara lantang dari Sandi, dengan langkah tegas, ia mendekati Jarot yang sedang mengejekkan singalangit. “Jarot, cukup sudah!” kata Sandi dengan suara lantang. “Kau tidak bisa terus-terusan memperlakukan Tunku Singalangit dan warga seperti ini. Sungai ini lebih dari sekadar aliran air biasa. Ini adalah warisan yang harus kita jaga.” Jarot menatap Sandi dengan tatapan meremehkan. “Oh, Sandi, kau juga sekarang ikut-ikutan, sok jadi pahlawan desa, ya? Kalian harus tahu, dengan siapa anda berhadapan.” Dengan wajah merah Jarot dan anak buahnya meninggalkan lokasi pertemuan.

Gejolak yang terjadi tidak berhenti di sana saja, kelompok yang setuju pertambangan yang dipimpin Tuan Jarot mulai melakukan intimidasi terhadap Tunku Singalangit dan warga yang mendukungnya. Mereka mengancam akan mencemarkan nama baik Tunku Singalangit dan menebar fitnah bahwa Tunku Singalangit adalah sosok yang menghambat kemajuan dan pembangunan desa selama ini. Bahkan, Sebagian dari mereka dengan sengaja merusak alat-alat kebersihan yang digunakan Tunku Singalangit dan timnya untuk membersihkan sungai.

Namun, Tunku Singalangit tidak menyerah begitu saja, dengan memiliki pengalaman dan latarbelakang dari keluarga terhormat di desa itu, mendapat dukungan penuh dari warga yang setuju dengan kearifan lokal, pertanian dan perikanan. Baginya, ini bukan hanya tentang dirinya, melainkan tentang masa depan desa Siri Wengi dan generasi yang akan datang. Ia terus berjuang bersama warga yang setia mendukungnya, membersihkan sungai dan menanam pohon di sepanjang tepian sungai serta lahan bekas pertambangan yang dibiarkan begitu saja dengan tujuan untuk mengurangi erosi dan memperbaiki kualitas air.

Perlahan tapi pasti, usaha keras mereka mulai menunjukkan hasil. Air sungai Sari Kemis yang tadinya keruh dan tercemar, kini mulai tampak lebih jernih. Ikan-ikan kecil mulai kembali berenang, dan sawah-sawah di sekitarnya kembali menghijau. Semangat Tunku Singalangit dan warga desa mulai menular, dan semakin banyak orang yang bergabung dalam upaya mereka untuk menyelamatkan sungai.

Ketika berita tentang membaiknya kualitas air dan sungai Sari Kemis mulai jernih menyebar ke seluruh desa, Jarot merasa terganggu dan terancam. Ia dan kelompoknya sekali lagi berusaha untuk menghentikan upaya perbaikan sungai dengan mengancam akan menggunakan kekerasan.

Namun, saat melihat warga yang kini bersatu padu mendukung Tunku Singalangit, bahkan mereka yang awalnya ragu, Jarot menyadari bahwa ia tidak bisa melawan semangat kebersamaan ini. “Tunku Singalangit, kau memang keras kepala, tapi sepertinya orang-orang ini percaya padamu, kau hebat,” ujar Jarot dengan nada menyerah. Tunku Singalangit menatap Jarot dengan tegas namun tersenyum penuh wibawa dan pengertian. “Jarot, kita semua ingin yang terbaik untuk desa ini. Kita bisa maju tanpa harus merusak alam kita. Sungai ini bukan hanya tentang air, ini tentang kehidupan dan harapan, baik masa kini maupun masa yang akan datang, kalau bukan kita siapa lagi.”

Sore itu di ufuk barat, mentari semakin jauh turun sambil tersenyum di balik awan yang menghiasi cakrawala dan menjadi saksi atas kejadian itu semua. Akhirnya, Jarot dan kelompok pro pertambangan dengan berat hati mundur dan mengakui kekhilafan selama ini. Mereka mulai memahami bahwa keuntungan jangka pendek dari tambang tidak sebanding dengan nilai kehidupan yang diberikan oleh sungai Sari Kemis. Warga desa merayakan keberhasilan mereka, merasakan kebahagiaan yang mendalam karena berhasil menyelamatkan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.

Kini, sungai Sari Kemis telah kembali menjadi pusat peradaban dan sendi kehidupan di desa Siri Wengi. Airnya yang jernih, sejuk dan segar mengalir deras, menghidupi sawah-sawah dan ladang-ladang yang subur serta mengembalikan denyut nadi usaha perikanan yang mulai berkembang dan maju lagi.

Di suatu pagi yang cerah, lantunan merdu dari nyanyian burung-burung yang menari di ranting pohon serta bunyi air yang mengalir menambah betapa damai dan indah suasana pagi itu, Tunku Singalangit berdiri di tepi sungai sambil memandang air yang mengalir dan mengucapkan penuh rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya pribadi, tetapi untuk seluruh warga desa dan generasi mendatang.

Dan sungai Sari Kemis ini telah mengajarkan mereka bahwa integritas, etos kerja dan kebersamaan, serta keteguhan hati adalah kunci untuk mejaga keseimbangan alam dan meraih kehidupan bersama. Dengan semangat baru, desa Siri Wengi melanjutkan perjalanan dan mengingatkan mereka bahwa sungai yang menghidupkan dapat membawa harapan, cinta, kedamaian dan kebahagiaan serta masa depan yang lebih baik bagi semua.

Exit mobile version