Sastra  

William dan Biolanya

Sumber : Kompasiana.com

Karya : Saskia Puspita Sari (Siswa SMAN 1 Payung)

Suara ketukan pintu dari luar rumah memecahkan lamunanku. Dengan sigap aku membuka pintu, dan terlihatlah seorang lelaki dengan menggunakan jas hujannya.

Lelaki itu memberikan sebuah selebaran yang berisi pergelaran konser. Kemudian, dia melakukan gerakan dengan tangan seolah-olah mengajak ku bicara. Aku mengerti.

Orang ini berbicara dengan bahasa isyarat. Setelah ia mengucapkan terima kasih dengan bahasanya, dia langsung pergi dengan mengendarai motornya.

“Hmm… Konser biola ya?”

Melihat isi dari selebaran tersebut, aku jadi tertarik untuk menonton konser biola itu.

Keesokan paginya, aku disambut oleh sinar matahari yang menerpa wajah ku. Dari jendela kamar masih terlihat embun air pada dedaunan sisa hujan semalam. Aku langsung teringat akan konser biola hari ini.

Aku pun melakukan aktivitas seperti biasa sampai akhirnya tiba waktunya untuk pergi ke konser.

Sekitar pukul 08.00 aku berangkat ke lokasi yang sudah tertera denahnya di selebaran kemarin, lokasinya lumayan terpencil. Saat aku tiba, aku agak terkejut. Tempat konsernya kecil, sedikit kotor, dan orang-orang yang datang hanya sedikit.

Hanya sekitar 10 orang yang hadir, tapi sudahlah, yang penting aku sudah tidak sabar ingin menyaksikan konser biolanya.

Setelah menunggu selama 10 menit muncullah seorang lelaki tampan dengan biola di tangannya. Aku berkata dalam hati.

“Akhirnya, yang ku nantikan pun tiba.” Tapi tunggu sebentar, bukankah dia adalah orang yang memberikan selebaran padaku kemarin? Tanpa berlama-lama, lelaki itu langsung memainkan biolanya.

Aku termangu dengan permainan lelaki ini. Suara biola yang terdengar di telingaku sangat merdu.

Keindahannya merasuki hatiku sampai ke tulang rusukku. Lagu yang dibawakan oleh lelaki ini mengingatkanku akan masa lalu yang kelam.

Sejenak kemudian, aku menumpahkan air mataku. Tangis kecilku mengundang perhatian para penonton. Menyadari hal itu aku langsung keluar dan meninggalkan tempat konser.

Sekarang aku berada di tempat favoritku di seluruh kota, Taman Indah Sari. Danau yang jernih, kicauan burung yang merdu, dan bunga yang tersebar di mana-mana.

Angin yang bertiup terasa sangat sejuk. Sungguh suasana yang sangat tepat untuk menenangkan perasaan.
Saat aku sedang menikmati pemandangan taman, tiba-tiba aku mendengar suara biola lagi.

Aku menghampiri suara itu. Ternyata, suara itu berasal dari lelaki yang sama saat memainkan biola di konser tadi.

“Oh, kau adalah wanita yang menangis di konser ku tadi bukan?” Tanya lelaki itu dengan bahasa isyarat.
Aku pun membalasnya dengan bahasa isyarat juga.

“Iya. Kita bertemu lagi.”

“Terima kasih karena sudah datang ke konser ku tadi. Ngomong-ngomong, kenapa kamu menangis?” Lelaki itu bertanya lagi padaku.

“Permainanmu sangat indah. Aku terharu”.

“Oh, benarkah?”

Lelaki itu agak terkejut ketika aku memuji permainan biolanya.

“Ya. Lagumu membawaku kembali ke masa lalu.”

“Yah, begitulah. Terkadang, aku juga sampai menangis mendengar permainan ku sendiri. Itu juga karena masa lalu yang kembali menghantuiku.”

Lelaki itu tampak sedih. Dia hampir menumpahkan air matanya.

“Apakah kau mau menceritakan cerita mu? Aku akan mendengarkan mu dengan sepenuh hati.” Dengan mata yang berbinar, lelaki itu menjawab.

“Terima kasih. Aku senang ada yang ingin menjadi tempat ku bercerita. Baiklah, aku akan mulai bercerita.”

Di sebuah rumah yang mewah hiduplah anak laki-laki bernama William dengan keluarganya. William hidup berkecukupan, tidak pernah kurang.

Sejak kecil sampai dewasa William punya bakat hebat. Ia pandai sekali bermain biola. William juga anak yang sangat pintar. Karena bakat dan kepintaran nya, William telah meraih puluhan prestasi.

Namun, dibalik semua itu ada kisah yang menyedihkan. Karena kehidupannya yang bisa dibilang sempurna, banyak orang menjadi iri pada William. Ia kerap kali menjadi bahan bullyan di sekolahnya.

Mirisnya, keluarga William juga tidak menyukainya, ada kekurangan yang dimiliki William, sehingga membuat keluarganya jadi acuh tak acuh padanya. William bisu, dia juga memiliki penyakit jantung dan pernapasan. Karena pengobatannya membutuhkan banyak uang, orang tua William menjadi kesal. Walaupun kaya, mereka sangat pelit.

Hanya satu orang yang sangat menyayangi William, orang itu adalah Neneknya. Sedari kecil, William diurus oleh neneknya. Hanya neneknya lah yang peduli padanya dan selalu membelanya.

Di saat para saudaranya ingin menjatuhkannya, di saat ia dimarahi bahkan dipukul oleh kedua orang tuanya. Karena kasih sayang yang diberikan Nenek nya begitu dalam, William pun sangat mencintai Neneknya.

Bakat bermain biola yang dimiliki William pun ia dapatkan dari Neneknya. Nenek William sangat suka bermain biola, dan hal itu menular kepada cucunya itu.

Setiap hari, William selalu dimainkan dua atau tiga lagu oleh sang Nenek. Ia juga rutin diajari bermain biola oleh Neneknya setiap hari.

Hingga tiba saatnya ajal menjemput sang Nenek, William menjadi kesepian.

Perbuatan keluarganya terhadap dirinya pun semakin menjadi-jadi. Ia jadi lebih sering dipukul, dan semakin dikucilkan. Bahkan, ia pernah dikurung di kamar mandi selama dua hari oleh para saudaranya, karena ia memakan salad di kulkas karena kelaparan. Ternyata, salad itu adalah milik saudara nya.

Selain itu, ia juga semakin sering di-bully teman-teman nya disekolah.

Pernah juga suatu ketika ia hampir tiada karena seseorang mencoba menabraknya. Ternyata, itu adalah keluarga nya sendiri, yang menginginkan dia mati.

Sejak Neneknya meninggal, William jadi sakit-sakitan karena tidak ingin makan. Kesehatan nya jadi terganggu. Tentu saja hal itu karena ia sangat terpukul akan kematian Neneknya. Orang yang paling dia sayang, yang selalu membelanya telah meninggalkan nya.

Hanya biola peninggalan Neneknya lah yang menjadi kenang-kenangan baginya.

Biola itu selalu menemani nya kemanapun ia pergi. Karena sudah tidak sanggup menghadapi kelakuan keluarganya, William memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia mencoba menghidupi kebutuhannya dengan mengadakan konser biola secara kecil-kecilan agar ia tidak bisa ditemukan keluarganya. William juga menjadi guru di tiga tempat les.

Les biola, les matematika, dan les biologi.

Selain itu, di waktu tertentu, ia menulis buku dan mengirim nya ke penerbit. Dia menggunakan nama samaran di buku nya agar tidak ketahuan keluarga nya. Penghasilan dari pekerjaan yang ia lakukan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan melakukan pengobatan untuk penyakitnya.

Aku terdiam membisu mendengar kisah dari pria di sampingku ini. Ternyata, aku tidak sendiri. Masih ada orang yang mengalami masa yang kelam sama seperti ku.

Pria bernama William itu bicara lagi dengan bahasa isyarat nya.

“Sekarang penyakit ku sudah sembuh. Aku bisa bertahan karena aku selalu mengenang Nenek ku melalui biola ini. Ke mana pun aku pergi, aku selalu membawa nya. Aku sangat bersyukur Nenek selalu menyayangi ku sewaktu ia masih hidup. Kalau tidak ada Nenek, mungkin aku tidak akan hidup sampai sekarang. Aku sudah menganggap biola ini sebagai hidupku, sama seperti Nenek,” ucap William.

Dengan lembut aku berkata kepadanya.

“Kau tahu William? Aku yakin, Nenek mu sangat baik dan indah seperti seorang malaikat, sama sepertimu. Kalian berdua sangat menyayangi satu sama lain. Tidak ada yang berhak menyakiti orang seperti kalian.”

William termangu mendengar perkataan ku barusan.

Dia tersenyum, lalu berterima kasih. Hening sejenak, kami berdua menikmati pemandangan taman bersama.

“Oh iya, aku lupa menanyakan namamu.” Kalimat yang diucapkan William memecahkan suasana hening diantara kami.

“Nama ku Ayana. Salam kenal William.”

“Ya. Senang sekali bisa bertemu denganmu.”

Kami saling bertatapan sejenak. Setelah menyadari situasi, kami langsung mengalihkan pandangan masing-masing. Aku melihat jam di tangan ku sudah menunjukkan pukul 09.00. Aku punya jam kuliah, jadi aku memutuskan untuk pulang. Aku pun berpamitan dengan William.

“Maaf William. Aku punya jam kuliah sekitar pukul 10.00. Sebelum itu, ada hal lain yang harus ku siapkan, jadi aku harus pulang sekarang.”

Dengan senyumannya, William menjawab.

“Baiklah. Hati-hati di jalan Ayana. Terima kasih banyak sudah mau mendengarkan cerita ku.”

Aku pun membalas dengan tersenyum. “Sama-sama.” Tentunya dengan bahasa isyarat. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung mempersiapkan segala kebutuhan kuliah ku. Seperti bekal, buku-buku, dan keperluan lainnya.

Sembari melakukan kegiatan, aku kembali mengingat kisah William bersama biolanya. Ternyata, dibalik permainannya yang indah, dia menyimpan kisah yang memilukan. Yang membuat ku lebih kagum lagi, dia bisa bertahan dari semua situasi yang ia alami.

Dia tidak menyerah. Dia terus menguatkan diri untuk bertahan. Dia selalu berusaha dan berjuang untuk hidupnya. Hingga dia bisa keluar dari masalah yang membelitnya.

Bukankah dalam setiap kesulitan selalu terbuka pintu keluar yang membahagiakan?

Payung, November 2023.

Exit mobile version