ANAK BANGKA RANTAU

Penulis adalah Dosen Pancasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta serta pengamat sosial ekonomi keagamaan selain sebagai Pengurus MKMB Jaya 2023-2026

H. Saidun Derani

Oleh : Saidun Derani

Bekaespedia.com _ Kehadiran Musyawarah Kekeluargaan Masyarakat Bangka disingkat MKMB merupakan sebuah keinginan yang lahir dari lubuk hati yang mendalam dari manusia Bangka perantauan apakah itu di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya yang ada di Nusantara (Indonesia). Wujud keinginan itu melahirkan sebuah paguyuban yang di dalamnya mengekspresikan bahwa eksistensi manusia Bangka diakui keberadaannya sekurang-kurangnya antara sesama perantauan.

Banyak hal yang mendorong mengapa sebuah paguyuban lahir sebagai ajang silaturrahmi antara sesama daerah asal. Substansi dari kelompok sosial yang anggotanya memiliki ikatan batin  murni, alamiah dan bersifat kekal. Katakanlah semacam sikap ashobiyah yang dimimiliki setiap suku dan bangsa. Timbulnya akibat rasa cinta dan persatuan  yang bersifat alami atau telah ditakdirkan.

Dengan pengertian di atas maka anggota paguyuban memiliki garis keturunan yang sama. Sementara yang lainnya karena terikat sifat kebersamaan dan solidaritas. Jadi pada prinsipnya paguyuban biasanya melakukan kegiatan gotong royong dan tolong menolong antar anggota dengan tulus tanpa pamrih.

Tiga Tipe Paguyuban : 

  1. Paguyuban karena ikatan darah atau keturunan
  2. Paguyuban karena tempat di mana kumpulan orang yang tinggal berdekatan sehingga saling tolong menolong
  3. Paguyuban karena memiliki pemikiran yang sama yaitu kumpulan yang mempunyai kesamaan pikiran, jiwa serta seideologi.

Sementara itu Patembayan merupakan bentuk kehidupan antar anggota yang memiliki hubungan bersifat sementara dan disatukan pemkiran yang sama. Jadi masyarakat patembayan bisa juga diartikan dengan masyarakat sivil yang kebutuhannya mendapatkan prioritas penting daripada asosiasi sosial.

Sifat hubungan Patembayan adalah impersonal dan tidak langsung. Hubungan dibentuk untuk kepentingan efisiensi atau pertimbangan ekonomi dan politik. Selain itu anggota Patembayan yang tidak memiliki kepentingan apapun dapat ke luar kapan saja dari kelompok.

Adapun ciri-ciri Paguyuban adalah sebagai berikut; bersifat menyeluruh dan mesra (intimate), memiliki hubungan yang bersifat pribadi (private), memiliki pikiran bahwa hubungan hanya “kita” dan tidak untuk orang yang di luar kelompok (exclusive), memiliki tipe masyarakat yang rural dan tradisional, saling mengenal, berkebudayaan, dan berbahasa yang sama, lebih mementignkan kepentingan umum di atas pribadi dan terikat dengan adat.

Sedangkan masyarakat Patembayan memiliki ciri-cirinya adalah bersifat impersonal,  urban, moderen, dan industri yang tradisinya lemah, hubungan kontekstual dan kontraktual, didominasi kompetisi, bergerak berdasarkan komando, dan mementingkan prinsip efisien, umumnya dipimpin berdasarkan wewenang dan hukum, lebih memiliki orintasi ekonomi dan tidak kekal.

Contoh paguyuban adalah keluarga atau kerabat, kelompok arisan, Rukun Tetangga dan rukun warga, mahasiswa, dan partai politik. Lalu contoh Patembayan adalah perusahaan, ikatan antar pedagang, organisasi profesi, organisasi buruh dalam insdustri

Antara Mingel dan Kebanggaan

Diskusi Panjang penulis Kamis, 22 Juni 2023, dengan Seniman dan Musisi Bangka  Bung Artono, Pencipta lagu Bedincak, cukup menarik. Ketika ditanya apa sebenarnya karakteristik manusia Bangka itu. Tanpa pikir panjang beliau menjawab adalah mingel alias nek katanya lah. Susah diatur dan cendrung mau menang sendiri.

Ketika dikejar dengan pertanyaan lain apa yang membentuk manusia Bangka keras kepala dan nek katanya lah tersebut dengan tegas dijawabnya dengan nyantai karena dibentuk faktor alam yang selama selama memanjakannya. Pengertian alam di sini seperti pisau bermata dua, bisa dartikan dengan positif dan dapat dimaknai dengan “negative”.

Merujuk kepada sejarah Pulau Bangka dikenal memang dengan kekayaan Sumber Daya Alamnya (SDA) Timah dan Karet yang keduanya merupakan komoditi dunia international sampai hari ini.  Dalam konteks inilah sejak abad ke-17 sehingga Belanda mendatangkan Suku China Hokkia dipekerjakan untuk menambang Timah. Dan sejak ini pula etnis China -sekarang lebih nyaman dipanggil Etnis Tionghoa- beranak pinak di kepualauan Bangka dan Belitung sekitarnya.

Argument ini bisa saja diterima. Sebagai analogi dan perbandingan  bisa saja sebuah pertanyaan yang sama diajukan kepada orang Bogor mengapa hidup lebih “nyantai” untuk tidak mengatakan “malas” dibandingkan teman-teman dari Madura.

Ketika masalah ini ditanya pemandu acara Ramadhan Prof. Komaruddin Hidayat, Mantan Rektor UIN Syahid Jakarta 2006-2010 dan 2010-215, kepada budayawan Madura Djamal Rahman jawab beliu karena faktor alam. Bercocok tanam sangat sulit karena tanahnya gersang dan kalau ke luar maka akan melawan laut yang sangat ganas.

Sebab itulah kata Rahman lebih lanjut mengapa bahwa orang-orang Madura di manapun mereka berada selalu menjadi pekerja keras dan hemat. Yang tidak kalah penting lagi adalah orang Madura sebagi kelompok kecil sangat memegang teguh kekerabatan  dan harga diri yang dikenal dengan budaya “Carok”.

Karateristik yang disebutkan di atas sangat cocok dengan budaya manusia moderen sebagaimana yang dikatakan oleh Prof Alexis dari Harvard Universiti AS.  Dan Budaya inilah yang dibawa orang-orang Eropa Barat yang menganut ajaran Kristen Protestan dikenal dengan Protestan Ethik dengan teori “N-Ach”nya. Tipelogi inilah salah satunya yang dapat dilihat pada manusia Prof. Dr. KH. Mahfud MD sebagai contoh.

Sebaliknya manusia Bangka karena dimanjakan alam maka sikap “dek kawa nyusah” menjadi adagium yang lama kelamaan “cepat mereteng” dan ada kecendrungan keras kepala yang pada akhirnya urusan besok “kemuha engke” atau “engke kumaha” (bagaimana nanti), kalau mengambil istilah Urang Sunda. Tanpa terasa hal ini tentulah menimbulkan masalah ketika berhadapan dan bersaing hidup dengan kawan-kawan Rantau yang beretnis Tionghoa di Pulau Bangka yang memiliki jiwa pekerja keras dan sikap hidup hemat alias menabung dengan kekerabatan yang kental pada umumnya.

Kata bangga (proud) semakna dengan kata sombong, angkuh, agung, lantam dan langguk kata Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Lebih luas leksikon dari kata bangga adalah berbesar hati atau merasa gagah karena mempunyai keunggulan. Jadi kata kunciny adalah pemilikan keunggulan (nilai lebih). Dengan kata lain kalau kita memiliki suatu keunggulan itu akan membuat kita berbesar hati dan membuat kita bangga.

Dalam Management sumber keunggulan (kekuassan) itu sekurang-kurangnya ada tujuh di antaranya adalah legitimate power  (SK), kayak menjadi Ketua, menjadi Presiden, Jajaran Direksi, Pengacara dan seterusnya. Dengan kata lain menjadi orang “Berpangkat” dan memegang “Tongkat”. Kedua memiliki asset baik luquid dan non-liquid dan sudah masuk level 3. Para ekonom membagi kelas orang dilihat aspek ekonominya ada 3, yaitu level 1, level 2, dan level 3. Kalau level 1 orang ini lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Sedangkan level dua sudah masuk katagori kalau mempunyai keinginan pertanyaan di mana maunya. Adapun level 3 yang biasa digunakan adalah bahasa besok makan siapa.

Ketiga yang melahirkan kebanggaan itu adalah memiliki expert (mu’allim) yang disimbolkan dengan berbagai gelar antara Prof, Dr, LLM, Ph, D, SH, MH, Kyai, Ajengan, Buya, Datuk, Sri Maharaja, Datin, Haji, dan seterusnya. Keempat, Force power karena memiliki kemampuan kekerasan yang bersifat refresif, dalam katagori ini masuk kelompok Polri, TNI, kartel dan preman. Kelima adalah conections power orang akan bangga karena memiliki koneksi yang luas dan ada kecendrungan semacam broker. Keenam yang mendorong orang berbangga arena faktor informations power. Banyak tahu berbagai informasi yang sifat bersifat A1. Terakhir adalah kharismatik dan dari sini melahirkan penghargaan dari kelompok masyarakatnya (rewert power).

Kata Hujjatul Islam Imam Ghazali (w. 1111) namanya adalah Abu Hamid, penulis Kitab Ihya Ulumuddin, salah satu dari ketujuh hal itu dapat membuat seseorang bangga, apalagi memiliki ketujuhnya. Akan tetapi bukankah ada lagu Mayjen (Pur TNI AD) Basofi Sudirman mantan Gubernur Jawa Timur 1993-1998 mengatakan “Tidak Semua Laki-laki”.

Membalik kilas sejarah para perantau muda Bangka tahun-tahun 1970-an dan 80-an dan seterusnya berdatangan ke Jawa dengan membawa beragam keingingan dan terjun ke berbagai profesi. Jadilah orang-orang Bangka seperti Prof. Sofyan Effendi kelahiran Jebus menguasai Jogya dan Indonesia untuk menyebut salah satunya, dan ada juga dari kalangan birokrasi-tehnokrat seperti Dr. Ridwan Jamaluddin, Pengacara seperti Hanta Yudha dan Imam Haryanto, kalangan akademisi seperti Prof. MT. Zen, Prof. Jamaluddin Ancok, Prof. Zulkifli, HE. Pangkapi seorang politisi kawakan, dan Chandra Lee seorang pengusaha, belum lagi seniman besar Bangka bernama Artono, S.Ikom, mengharu biru menguasai jagad Nasional.

Mereka-mereka inilah mewakili Anak Bangka yang ke luar dari “kepengaban” (selama ini di bawah bayang-bayang Admin Provinsi Sumsel dan baru merdeka tahun 2003) Bangka Island yang dianggap belum mampu menjawab keinginan besar anak-anak muda ini. Di Jawa lah mereka berekspresi dan tanpa disadari kesadaran ini melahirkan “kebanggaan” ke dalam diri dan kebanggaan tempat mereka berasal yang kemudian diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai bentuk ekspresinya.

Dalam konteks inilah penulis melihat perilaku Anak Bangka Rantau beragam gaya dengan simbol-simbol dunianya bisa berupa Harta, Tahta dan Wanita, sungguhpun penulis juga melihat dan merasakan tidak semua “Anak Bangka Rantau” keras kepala dan arogan sebagaimana dilambangkan lagu Basofi Soedirman di atas dengan judul “Tidak semua Laki-laki”.

Dalam  konteks inilah penulis melihat lahirnya MKMB atau semacamnya satu sisi kerinduan dasar manusia yang ingin berkumpul dengan nilai-nilai sama; bisa etnis, bisa spacing, bisa bahasa, bisa kuliner dan seterusnya, akan tetapi pada sisi lain juga mengekspresikan kemampuan diri tanpa melukai speradik lain yang tidak beruntung nasibnya. Ibarat memasak maka tuntutan terbesar ditujukan kepada para sesepuh dan pengurus ormas itu untuk bersikap bijak dan mampu mengembangkan leadershipnya dalam merespons perubahan nilai yang dihadapi Anak Bangka Rantau seperti penulis sebutkan di atas.

Penutup

Dengan memahami latar di atas pengurus MKMB memang kudu kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras dan tuntas “meramu” anak Bangka di rantau. Benarlah kata hikmah, “ketidaktahuan orang lain itulah yang menjadi kehebatan saya dan dibalik ketidaktahuan saya di sanalah kehebatan teman saya yang lain”.

Nashsrum min Allah wa Fathun Qarieb.

Kampus (29/11/2023)

 

Exit mobile version