Penulis : Rapi
Kelambu yang menjadi tempat Ray dan Nenek tidur telah dilepas, Ray bangkit dan segera merapikan tempat tidurnya. Kebul asap dari tungku di belakang rumah Nenek sudah ramai. Seperti biasa Nenek sudah di dapur memasak, menyiapkan sarapan untuk Ray sebelum berangkat ke Sekolah.
Sejak kecil Ray memang sudah diasuh dan tinggal bersama Nenek, sedang Ayah dan Ibu Ray tinggal dirumahnya, tepat dibelakang rumah Nenek. Ray merupakan salah satu cucuk yang paling dekat dengan Nenek.
Setiap hari rumah Nenek memang ramai berkumul cucu-cucunya, bahkan cucu yang paling jauh rumahnya hampir setiap hari meminta untuk diantarkan kerumah Nenek. Cucu Nenek memang senang bermain dan berkumpul dirumah Nenek. Rumah Nenek memang tidak pernah sepi.
Nenek selalu punya cara untuk membuat suasana rumahnya hangat, baik dari segi fisik maupun emosional. Kehangatan dan keramaian cucu-cucunya yang datang silih berganti, membuat rumah kecil itu terasa penuh dengan cinta dan kebersamaan.
Ray berjalan ke dapur, melihat Nenek sedang sibuk mempersiapkan nasi goreng. Aroma wangi dari masakan Nenek selalu membuatnya merasa nyaman. “Nek, masak apa hari ini?” tanya Ray sambil duduk di meja makan.
“Kamu sudah bangun, Ray? Hari ini ada banyak kerjaan di kebun belakang, tapi Nenek ingin kamu makan dulu,” jawab Nenek sambil menambahkan kecap manis pada nasi goreng yang sedang dimasak.
Ray memandang Nenek dengan penuh perhatian. Belakangan ini, tubuh Nenek terlihat lebih lemah. Namun, Nenek selalu berusaha untuk tetap ceria, bahkan terkadang ia merasakan sakit tiba-tiba. Ray tahu bahwa meskipun Nenek tak pernah mengeluh, ada sesuatu yang kurang dari kebersihan rumah itu.
Setelah makan, Ray bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Namun, saat akan melangkah keluar, ia tiba-tiba merasakan perutnya mulas. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan rasa sakit yang datang begitu tiba-tiba.
“Nek… perutku sakit,” keluh Ray, sambil memegangi perutnya. Nenek yang mendengar suara Ray langsung menghampiri dan memegang perut cucunya itu.
“Oh, jangan khawatir, Ray. Nenek punya cara mengatasi sakit perut seperti ini,” kata Nenek, sambil tersenyum. Nenek kemudian mengambil sebuah batu kecil dari bawah meja, batu yang selalu ada di dekat tungku dapur. Batu itu tampak biasa saja, namun bagi Nenek, batu itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
“Batu ini, Ray, adalah batu penghilang sakit perut. Dulu, nenek mendapatkannya dari ibu nenek. Kata ibu nenek, batu ini punya energi alami yang bisa meredakan rasa sakit dalam perut. Kalau kamu sakit, pegang batu ini di tanganmu dan rasakan khasiatnya,” ujar Nenek, sambil memberikan batu kecil itu pada Ray.
Ray melihat batu itu dengan cermat. “Benarkah Nek? Seperti batu ajaib?” tanyanya ragu.
Nenek tertawa pelan, “Bukan batu ajaib, tapi kadang kekuatan alam itu lebih kuat dari yang kita kira. Percayalah, kamu akan merasa lebih baik setelah menempelkannya dibagian perut yang sakit.”
Ray mengangguk, merasa sedikit lega. Ia menggenggam dan menempelkan batu itu di perut yang sakit, merasakan kehangatannya. Sejenak, perutnya mulai terasa lebih baik, dan rasa mulas yang semula datang perlahan menghilang.
“Terima kasih, Nek. Aku merasa lebih baik sekarang,” kata Ray dengan senyuman lebar.
Nenek hanya mengangguk sambil tersenyum. “Terkadang, hal-hal kecil yang kita terima dari orang-orang yang kita sayangi, seperti batu ini, bisa memberi banyak makna. Ingat, Ray, yang penting bukan batu itu, tapi kasih sayang dan perhatian yang selalu ada di sekitarmu.”
Ray merasa nyaman mendengar kata-kata Nenek. Meski batu itu terlihat sederhana, namun makna yang terkandung di dalamnya jauh lebih besar dari sekadar alat penyembuh. Ray tahu bahwa kasih sayang Nenek adalah obat yang paling ampuh dalam hidupnya.
Dengan perut yang kini sudah merasa lega, Ray bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia memegang batu itu erat-erat dalam saku bajunya, sebagai pengingat akan cinta dan perhatian yang tak ternilai dari Nenek.*