Oleh : Rusmin Sopian
Setiap malam, saat gerbang cahaya Ramadhan datang menyapa alam raya, warga kampung kami berduyun-duyun ke Masjid. Mereka, lelaki dan perempuan, tua, dan muda dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh menyegerakan diri ke masjid.
Sebelum suara azan Isya berkumandang mensakralkan alam, mereka, warga kampung Kami telah berada di masjid. Pada saat itu suasana kampung kami sunyi sekali. Seperti kampung mati. Tak berpenghuni.
Tak ada aktivitas warga yang terlihat di jalanan. Sunyi. Semua warga kampung kami berada di masjid. Shalat tarawih.
Sebelum gerbang malam Ramadhan tiba, kampung kami kedatangan seorang lelaki tua yang misterius.
Bagaimana tidak misterius, lelaki tua itu hadir saat warga kampung kami sedang berkumpul.
Dan sejurus kemudian, tiba-tiba dia menghilang dari pandangan mata para warga yang sedang berkumpul.
“Siapa lelaki tua itu, Mbok,” tanya seorang warga saat mereka sedang berkumpul di warung kopi Mbok Painem.
“Orang singgah ngopi. Biasalah,” jawab Mbok Painem sang pemilik warung.
“Aku baru lihat. Warga baru ya,” sambung warga yang lain.
“Kalian ini mau ngopi atau mau ngurusin orang. Kayak wartawan saja kalian ini. Banyak pertanyaan,” jawab Mbok Painem dengan nada kesal.
“Bukan begitu, Mbok. Kita perlu waspada. Kan sebagai warga yang baik, tak salahkan kalau kita waspada. Jangan sampai kampung kita kedatangan tamu yang tak jelas rimbanya,” urai warga yang lain.
“Waspada sih waspada. Tapi jangan terlalu ikut campur ngurusin hidup orang. Hidup kita saja belum lurus,” celetuk Mbok Painem dengan nada kesal.
Cahaya matahari sudah di atas kepala. Beberapa warga kampung yang sedang menikmati kopi di warung Mbok Painem, tiba-tiba wajahnya seperti kain kafan. Pucat pasi. Jantung mereka berdegub amat tak karuan. Bahkan ada seorang warga yang merasa jantungnya seakan-akan mau lepas dari katupnya.
Dan ketika mendengar suara azan dzuhur berkumandang dari corong pengeras suara masjid, mereka dengan langkah kaki yang tergesa-gesa meninggalkan warung kopi Mbok Painem. Mereka menuju masjid kampung.
“Apa yang dikatakan bapak tadi sungguh benar. Aku jadi takut,” ujar seorang warga saat mereka menuju masjid.
“Bapak tua itu kayaknya orang sakti. Dia tahu semua kesalahanku,” sambung warga yang lain.
“Terlepas bapak itu orang sakti atau utusan dari langit, mumpung masih ada waktu, kita harus segera bertobat dan memohon ampun kepada Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengampun atas segala dosa kita selama ini,” celetuk warga yang lainnya.
Melihat kedatangan warga kampung ke masjid saat waktu shalat dzuhur tiba, Pak Imam masjid menyambut mereka dengan senyum bahagia. Sejuta senyuman diumbarkannya kepada para warga yang datang. Ada kebahagian yang terpatri dalam dadanya.
“Alhamdulillah. Ayo Bapak-bapak kita segera shalat,” ajak Pak Imam Masjid dengan nada suara penuh kebahagian.
Perkataan bapak tua yang misterius itu kepada hampir semua warga kampung kami yang ditemuinya saat para warga berkumpul, menjadi topik pembicaraan di kalangan warga.
Para warga kini diliputi ketegangan. Kening mereka berlipat mendengar perkataan bapak tua tentang mereka dan kehidupan mereka. Jantung mereka berdegup tak karuan. Tengkuk mereka diliputi kengerian yang sangat luar biasa.
“Kita memang harus tobat dan tobat,” ujar seorang warga kampung.
“Apa yang diucapkan bapak tua itu sungguh benar sekali. Kita terlena dengan kehidupan duniawi. Melupakan kehidupan akherat yang abadi,” sambung warga yang lain.
“Kita memang perlu bekal untuk hidup di alam sana,” lanjut warga yang lain.
“Aku sangat berterima kasih dengan bapak tua itu. Perkataannya membuat aku sadar dan sadar,” ucap warga yang lain.
Kini, di saat matahari mulai menyembunyikan diri di ufuk timur, sebelum azan magrib berkumandang merelegiuskan jagad raya, para warga kampung kami sudah berada di masjid.
Tak ada lagi yang berlalu lalang di jalanan. Mereka khusuk bersujud sembari memohon ampunan kepada Allah SWT, Sang Maha pencipta dan Maha Pengampun bagi mahluknya.
Tak heran hingga shalat Isya selesai, kampung kami kosong melompong. Bak kampung yang tak berpenghuni. Semua warga kampung tumpah ruah di masjid. Bersujud ke hadapan Sang Maha Pencipta. Memohon ampunan.
Demikian pula, ketika sang matahari mulai terbangun dari mimpi panjangnya, sebelum suara azan subuh berkumandang, sebelum sang rembulan rebah dalam pangkuan alam, para warga kampung Kami sudah berbondong-bondong menuju masjid kampung.
Suara azan subuh menggetarkan gendang telinga mereka. Membangunkan mereka dari lelapnya mimpi dan impian.
Langkah mereka tergesa-gesa menuju masjid.
Mereka , para warga kampung kami, ingin segera bersujud dan bersujud memohon ampunan kepada Sang Maha Pencipta. (**)
Toboali, awal ramadahn 1444 H.