Sastra  

Cerpen : Sisa Penyesalan (2)

Ilustrasi (Sumber : Liputan6.com)

Penulis : Azza Auliya. Q (Siswa SMPN 2 Toboali Kelas 7)

Koridor ruang ICU rumah sakit Bagaskara, pukul 18.00. Dua wanita paruh baya dan satu orang pria sedang menatap pintu ruangan yang menjadi tempat Jihan dirawat. Tatapan khawatir terlihat jelas di wajah mereka bertiga.

Ya Tuhansemoga anakku baik-baik saja.” ucap wanita yang tubuhnya masih dibalut pakaian kantor lengkap. Ya. Itu adalah Yuni, ibunya Jihan.

Sudah ku bilang dari dulu kau memang tidak pernah becus dalam mengurus segala hal,” ujar Ridwan mengomeli mantan istrinya, Yuni, yang tengah menangis tersedu-sedu.

Sudah, mas. Ini bukan waktunya untuk bertengkar…” sela wanita bernama Farida dengan lembut berusaha melerai emosi suaminya.

Sempat terjadi keheningan sesaat sebelum terdengar derap langkah kaki bersahutan dari ujung koridor yang menuju ke arah mereka.

Bagaimana keadaan Jihan, tante?” tanya seorang lelaki yang masih menggunakan seragam putih abu-abu dengan nametag di dadanya tertulis Irsyad. Di sampingnya terlihat juga ada Clarissa dan Arya dengan pakaian yang sama persis seperti yang dikenakan Irsyad. Yuni, Wanita yang disapatante’ oleh Irsyad mengenali mereka bertiga sebagai teman sekolah anak semata wayangnya.

Yuni menggelengkan kepalanya, menatap ke arah tiga remaja itu dengan mata sembab. “Belum ada kabar lebih lanjut tentang keadaan Jihan, mengapa bisa seperti ini Clarissa?” ujar Yuni dengan nada cemas sembari menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan Clarissa.

Tante tenang ya.. Jihan pasti baik baik saja, dia kan anak yang kuat.” Tangan Clarissa mengelus-elus punggung Yuni untuk menenangkannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 18:21. Artinya Jihan sudah berada di dalam ruang ICU selama 3 jam sejak peristiwa kecelakaan lalu lintas yang menimpa dirinya. Keheningan dan kecemasan mengiringi suara jarum jam yang berdetak.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka. Perhatian semua orang teralihkan. Di pintu tampak seorang dokter dan dua orang perawat yang keluar dari ruangan Jihan. Lalu semuanya datang menghampiri dokter tersebut.

Bagaimana keadaan Jihan, Pak?” tanya Ridwan pada sang dokter yang bernama Aris dengan tergesa-gesa.

“Kalian pihak keluarga Jihan? Betul?” tanya dokter Aris dan dibalas anggukan kepala oleh semua.

Baiklah, kalau begitu saya akan jelaskan,” ucap dokter Aris terhenti untuk menghembuskan napas pelan. Lalu ia melanjutkan, “Kecelakaan yang dialami oleh Jihan tidak mengambil resiko banyak, hanya ada beberapa luka di bagian wajah dan lengannya saja.” Terdengar jelas helaan napas lega dari orang-orang tersebut setelah mendengar penjelasan dokter Aris.

Tapi…,” kata dokter Aris terhenti. Perasaan lega yang semula merayap di hati mereka kini perlahan surut ketika mendengar kata ‘Tapidari si dokter. “Yang menjadi masalah utamanya adalah penyakit gagal ginjal yang diderita Jihan sudah memasuki tahap kronis karena terlalu lama diabaikan.” lanjut si dokter kembali.

Napas bak tersekat, jantung berhenti berdetak. Lidah juga terasa kelu dan kehabisan kata-kata. Itu yang dirasakan oleh kelima orang tersebut, Yuni, Ridwan, Clarissa, Irsyad, dan Arya. Terkecuali Farida yang terlihat masih mampu mengendalikan diri karena memang dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang Jihan dan tidak memiliki kedekatan dengan Jihan.

“Ga-gagal ginjal?” tanya Yuni dengan terbata-bata karena merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dokter Aris katakan.

Ya.” jawab dokter Aris dan kembali membuat bahu kelima orang itu semakin lemas, terlebih lagi Yuni, karena ia merasa benar-benar gagal menjadi seorang ibu. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sehingga tidak mengetahui apa yang dialami anak semata wayangnya.

Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Ridwan, sang ayah. Sedari tadi ia tak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri. Karena keegoisan dirinya dan Yuni, membuat dampak besar pada kehidupan terutama pada anak mereka.

Irsyad, Clarissa, dan juga Arya benar-benar tidak menyangka bahwa Jihan memiliki penyakit yang serius. Mereka sangat merasa bersalah karena tidak mengetahui apa-apa tentang penyakit yang diderita oleh Jihan. Terlebih Clarissa dan Irsyad yang merupakan orang terdekat. Mereka merasa gagal menjaga Jihan, mereka gagal membuat Jihan merasa nyaman dan percaya pada mereka hingga Jihan tidak menjadikannya sebagai tempat sandaran ketika ada masalah.

Ehm…” dokter Aris mengeluarkan suara lagi untuk memecahkan keheningan saat itu. “Dan untuk sekarang keadaan Jihan sedikit membaik dari sebelumnya. Jika pihak keluarga ingin melihat secara langsung boleh tapi ingat, jangan buat keributan di dalam karena pasien belum pulih sepenuhnya.” jelas dokter Aris panjang lebar lalu dibalas anggukan kepala oleh semua pihak.

***

Perlahan sebelah tangan Yuni terangkat untuk mengelus pelan kepala Jihan. Jihan yang merasakan elusan itu lantas berusaha keras untuk membuka matanya yang sedari tadi terpejam.

Jihan, kamu sudah sadar?” segera Yuni menghapus jejak air mata di pipinya lalu memasang wajah sumringah. Jihan hanya merespon dengan anggukan kepala pelan serta senyum yang tak luntur dari bibirnya karena merasa tidak percaya bahwa seseorang di hadapannya ini benar-benar ibunya.

Maafkan Ibu yang gila akan kerja hingga tidak mengetahui apa yang kamu alami selama ini,” suara isakan tangis mulai keluar dari mulut ibunya.

Maafkan ayah juga karena tidak pernah sekali pun mengunjungimu, bahkan untuk sekedar menanyakan kabar. Maafkan kami, karena keegoisan kami yang memutuskan hubungan secara sepihak tanpa minta persetujuan dari kamu Jihan. Dan bahkan kami tidak sadar bahwa yang mendapat semua resiko itu kamu sendiri Jihan. Kami benar-benar minta maaf, kami gagal jadi orang tua,” ucap ayah Jihan penuh sesal. perlahan tangisan sang ayah mulai pecah dan terlihat histeris.

Seulas senyum terukir di bibir Jihan. Ia merasa senang karena orang tuanya sudah kembali hangat seperti dulu. Tapi sejenak kemudian, perasaan senang itu memudar mengingat kenyataan bahwa dirinyalah yang tidak bisa seperti dulu lagi.

“I-ibu? Ayah? Kalian… Kesini?” lirih Jihan. Ada sorot kebahagiaan bercampur putus asa yang terpampang jelas di kedua matanya.

Yuni menggapai tangan Jihan lalu menempelkannya pada pipi kirinya. “Jihan kenapa bisa seperti ini?”

Jihan terbatuk pelan, “Jihan tidak apa-apa, bu. Hanya kurang hati-hati saja saat menyeberang tadi.”

Yuni dan Ridwan terdiam mendengar jawaban anaknya itu. Padahal bukan itu yang membuat kondisi Jihan memburuk. Namun anak itu masih saja menutupi yang sebenarnya dari mereka.

Pandangan mata Jihan menatap Yuni dan Ridwan secara bergantian. “Jihan rindu kehangatan dari kalian yang seperti ini,” ujar Jihan.

JihanMaafkan ayahmu, Nak. Ayah benar-benar menyesal. Dan ayah sudah menikah lagi sejak tiga bulan yang lalu.” Ridwan menundukkan kepalanya dalam.

Kenapa Jihan tidak tahu, Yah..? Berarti hah ha-rapan aku be..nar-benar tidak bisa tercapai ya?” ratap Jihan dengan suara pelan, bak disambar petir yang kesekian kalinya. Ya, kepedihan yang berpuluh-puluh kalinya yang harus dialami Jihan akibat sikap dan perilaku egois ayahnya terhadap ia dan ibunya.

Lalu Jihan tertawa hambar, dan berucap, “Seharusnya aku tidak pernah mengharapkan itu. Mengharapkan bahwa kalian bisa kembali seperti dulu.” Perlahan tapi pasti. Suara isakan mulai terdengar dari mulut Jihan.

Maaf. Maafkan Ayah sayang. Ayah menikah lagi tanpa memberi tahu kamu lebih dulu.” terang Ridwan menceritakan yang sebenarnya.

Jihan memejamkan matanya. Meresapi rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh tubuh dan juga hatinya. Clarissa dan temannya yang lainnya tidak berani angkat suara. Mereka hanya diam seribu bahasa. Namun perasaan mereka sama. Kegetiran dan pahitnya perjalanan hidup Jihan dapat mereka rasakan sampai ke relung hati mereka yang terdalam. Kegetiran dan kepahitan yang sekian lama betah bersembunyi di balik senyum dan wajah manis teman mereka.

Kini Jihan memegangi pinggangnya yang semakin terasa nyeri. Gadis itu meringis pelan membuat yang lain merasa khawatir. Dokter Aris yang berdiri tak jauh dari mereka pun hendak membantu. Namun Jihan memberikan kode menolak.

Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa.” ujar Jihan terdengar begitu memilukan di telinga mereka.

Selang beberapa saat, Jihan hanya diam dan mencoba untuk mengatur napasnya yang terasa sesak. “Selamat ulang tahun Ibu. Aku ada hadiah untuk Ibu,” ucapnya sembari memberikan sebuah gelang yang sebelumnya sudah sempat ia pakai di tangannya. Gelang itu memang sudah ia siapkan untuk hadiah ulang tahun ibunya, Yuni.

Yuni yang sedari tadi mematung menyesali nasib anaknya, termasuk nasib dirinya, dengan tangan bergetar, mengambil gelang itu lalu memakainya. “Astaga, Jihan… ” suara Yuni tanpa mampu melanjutkan kata-kata lagi dan terdengar bergetar menahan isakan.

Maaf. Aku minta maaf karena selalu menyusahkan kalian, terutama Ibu. Maaf aku belum bisa membuat kalian bangga padaku. Aku punya ribuan rasa bersalah pada kalian. Sekali lagi aku minta maaf.” Jihan memberi jeda sejenak lalu menarik pelan nafasnya. “Tapi tenang saja, aku tidak akan merepotkan kalian lagi. Aku… akkh-…” suara Jihan terputus.

Jihan bicara apa Nak..? Jika Jihan memiliki ribuan rasa bersalah maka kami punya ribuan kata maaf. Tapi satu yang harus Jihan ketahui, Jihan tidak punya salah apa-apa. Jihan tidak perlu meminta

maaf, Nak. Justru kami yang seharusnya meminta maaf padamu Jihan,” sela Ridwan memotong pembicaraan anaknya.

Jihan tertawa tanpa suara. Lalu ia memulai lagi kalimatnya. “Terima kasih Ayah. Tapi, aku tetap harus minta maaf karena aku tidak bisa menjadi diriku seperti yang dulu lagi. Jihan yang sekarang ini lemah. Jihan tidak bisa tertawa lepas seperti dulu lagi. Hidup Jihan semua bergantung pada rumah sakit.” Jihan menghela napas. “Dan mulai sekarang, Jihan tidak mau bergantung pada rumah sakit dan cuci darah lagi. Jihan ingin tertawa lepas dan bermain bebas lagi seperti dulu. Tapi tidak di sini,” pungkasnya dengan suara yang semakin pelan.

Ridwan mendekat. “Jangan bicara seperti itu, Nak. Jihan pasti bisa kembali seperti dulu lagi dan masih bersama kita sayang.”

“Iya sayang, kita bisa perbaiki semuanya. Tapi Jihan harus janji Jihan bisa bertahan ya, Nak,” timpal Yuni dengan suara bergetar. Air mata ibunya semakin mengalir deras.

Jihan memejamkan matanya. Ia berusaha keras menahan cairan bening yang ingin menerobos keluar dari matanya. “Untuk apa, Bu? Toh, keinginan Jihan sudah tercapai. Jihan sudah memberikan hadiah ulang tahun pada Ibu untuk yang terakhir kalinya.”

Kali ini Irsyad angkat bicara karena sudah emosi dengan omongan kekasihnya yang mulai melantur kemana-mana. “Tidak. Tidak ada yang terakhir. Kisahnya masih akan berlanjut. Semuanya pasti akan membaik, Jihan. Berhenti bicara yang tidak-tidak. Ku mohon bertahan Jihan, aku tidak ingin kehilanganmu,” ujar Irsyad dengan suara bergetar dan kedua tangan yang mengepal.

Irsyad benar. Kau pasti bisa sembuh dan kita akan merayakan kelulusan sama-sama seperti yang kau inginkan Jihan,” ucap Clarissa terisak.

“Aku juga kan pernah bilang bahwa aku memintamu mewakiliku untuk lulus dan mengambil ijazahku? Kau ingat itu kan? ” Tanya Jihan pada Clarissa.

Kalau begitu aku tidak akan melakukannya. Kau harus melakukan itu sendiri, Jihan. Kau harus menepati janjimu untuk bersama-sama hingga kuliah dan mengambil jurusan yang sama. Kau harus tepati itu, Jihan,” balas Clarissa terisak-isak. Suaranya bahkan terdengar seperti raungan yang menggema di seluruh sudut ruangan kecil tersebut.

Ruangan bernuansa putih dan berbau obat itu kini dihiasi dengan penuh tangisan. Semuanya merasakan kehancuran dan kegagalan. Tidak ada satu pun yang tidak ikut menangis, termasuk Farida, istri baru ayah Jihan. Mereka semua merapalkan do’a untuk kesembuhan Jihan.

Aakhhsakit…” Jihan merintih karena merasakan sakit yang luar biasa pada area pinggangnya.

Dokter Aris yang melihat bahwa kondisi kesehatan Jihan kembali memburuk langsung memberi tanda isyarat dengan tangannya kepada semua pengunjung untuk keluar dari ruangan, dan ia pun segera menangani Jihan.

***

Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa mengubah takdir Tuhan tentang kematian seseorang, sekalipun dengan berbagai usaha dan do’a. Ternyata rasa sayang yang dimiliki Tuhan kepada Jihan lebih besar dibandingkan dengan teman, kekasih dan keluarganya. Di usia yang masih terbilang muda itu Jihan sudah dipanggil untuk kembali oleh sang Pencipta.

Tepat pukul 03.13 malam Jihan menghembuskan nafas terakhirnya dan memejamkan mata untuk selama-lamanya. Semua merasakan kehilangan yang besar dan sukses membuat pertahanan

mereka hancur seketika. Terlebih kedua orang tua Jihan. Rasa menyesal terus merayapi hati mereka, karena keegoisan mereka semua ini terjadi.

Benar kata pepatah, bahwa penyesalan selalu datang terakhir. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Semuanya sudah ada garis takdirnya masing-masing.

Mau menyesal dan menangis sekuat mungkin pun tidak akan mengembalikan Jihan yang sudah bahagia dan lepas dari derita batin dan sakit yang dialaminya selama ini.

TAMAT.

Exit mobile version