Oleh: Aisyah Wulan Sya’bannia, Ayub Siahaan, Irmawati (Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Bangka Belitung)
Pembentukan Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara) oleh pemerintah membawa harapan besar dalam mengoptimalkan aset negara, khususnya BUMN. Terinspirasi dari Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia, Danantara digadang-gadang mampu menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia adalah dua contoh sovereign wealth fund yang sering dijadikan acuan dalam pembentukan Danantara. Temasek, misalnya, didirikan pada 1974 dan memiliki portofolio investasi di berbagai sektor, termasuk keuangan, telekomunikasi, dan transportasi. Keberhasilan Temasek tidak lepas dari transparansi serta profesionalisme dalam pengelolaan aset negara. Namun, ada juga kritik bahwa Temasek tetap memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah Singapura, sehingga tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik.
Sementara itu, Khazanah Nasional di Malaysia juga memiliki tujuan serupa, yakni mengelola investasi negara untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, Khazanah pernah mengalami skandal keuangan akibat tata kelola yang kurang transparan, yang menunjukkan bahwa tanpa pengawasan ketat, badan semacam ini bisa menghadapi risiko penyalahgunaan kekuasaan. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Danantara akan lebih dekat dengan model Temasek yang sukses atau justru menghadapi tantangan seperti Khazanah? Ini menjadi antara harapan atau kekhawatiran?
Menurut laporan Kementerian BUMN, total aset BUMN Indonesia mencapai sekitar Rp9.000 triliun. Jika dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi instrumen untuk mengoptimalkan aset tersebut agar lebih produktif. Pemerintah menargetkan Danantara dapat menarik investasi asing hingga Rp300 triliun dalam beberapa tahun ke depan. Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian mengenai mekanisme pengelolaan dan transparansi dalam proses investasi. Beberapa BUMN yang dikabarkan akan masuk dalam pengelolaan Danantara termasuk sektor energi, infrastruktur, dan perbankan, yang merupakan sektor strategis bagi negara. Ketidakpastian ini memunculkan pertanyaan: apakah langkah ini benar-benar membawa kesejahteraan? Atau justru sebaliknya, menjadi jebakan ekonomi bagi rakyat Indonesia? Apakah kita siap menerima segala konsekuensinya, atau ini hanya strategi politik yang lebih menguntungkan pihak tertentu?
Pada awalnya, Danantara ini dianggap sebagai terobosan dalam memperbaiki tata kelola BUMN yang selama ini kerap menghadapi masalah inefisiensi dan intervensi politik. Jika dikelola secara profesional, badan ini berpotensi meningkatkan efisiensi BUMN melalui pengelolaan investasi yang lebih baik, menarik investasi asing untuk proyek infrastruktur, serta mengurangi ketergantungan pada utang dengan memaksimalkan aset negara. Namun, seberapa realistis harapan ini? Bagaimana jika badan ini justru menjadi alat baru bagi segelintir elite ekonomi? Apakah kita akan menjadi saksi drama ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat?
Dari perspektif teori konflik Karl Marx, pembentukan Danantara bisa dipandang sebagai upaya memperkuat dominasi ekonomi oleh kelompok elite. Konsolidasi aset negara dalam satu badan investasi besar berpotensi membuat kontrol ekonomi semakin terpusat pada mereka yang memiliki akses politik dan ekonomi. Hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan antara elite dan masyarakat umum. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, bukan tidak mungkin keputusan investasi akan lebih menguntungkan kelompok elite daripada kepentingan publik. Apakah kita siap jika Danantara justru menjadi alat baru untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi dan politik?
Selain itu, ada risiko lain yang perlu dipertimbangkan. Privatisasi BUMN demi investasi bisa membuat negara kehilangan kontrol atas sektor strategis. Risiko korupsi dan nepotisme juga meningkat mengingat besarnya dana yang dikelola tanpa pengawasan ketat. Belum lagi kemungkinan terjadinya PHK massal pada BUMN yang dianggap tidak produktif. Apakah kita rela jika efisiensi justru berdampak buruk pada pekerja? Jika politik ikut campur dalam kebijakan investasi, bukankah Danantara menjadi lebih rentan terhadap kepentingan politik?
Untuk mencegah risiko ini, pemerintah perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan investasi agar dapat diawasi oleh publik. Batasan dalam privatisasi juga harus jelas agar tidak ada kepentingan pribadi yang mendominasi. Selain itu, perlindungan pekerja harus diprioritaskan agar jika terjadi restrukturisasi, tidak berujung pada PHK besar-besaran. Diperlukan pengawasan independen dari akademisi, masyarakat, dan media agar pengelolaan Danantara tetap berada pada jalur yang benar.
Selain transparansi dari pemerintah, peran masyarakat dalam mengawasi Danantara juga sangat krusial. Masyarakat harus diberikan akses informasi yang jelas terkait kebijakan investasi, penggunaan dana, serta dampak ekonomi yang dihasilkan. Dengan keterlibatan akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil, pengelolaan Danantara dapat diawasi dengan lebih baik, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar menguntungkan bangsa. Tanpa adanya keterbukaan, kepercayaan publik terhadap Danantara akan melemah, dan ini bisa berdampak buruk pada stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme akuntabilitas tidak hanya formalitas belaka, tetapi benar-benar berjalan untuk kepentingan bersama.
Agar Danantara tidak menjadi jebakan ekonomi, beberapa langkah yang bisa diterapkan antara lain dengan memastikan adanya mekanisme pengawasan independen melalui pembentukan lembaga pengawas yang benar-benar terlepas dari intervensi pemerintah serta memiliki kewenangan untuk melakukan audit dan investigasi jika terdapat indikasi penyimpangan. Selain itu, keterlibatan publik dalam proses keputusan juga sangat penting, di mana masyarakat dan akademisi harus diberikan akses terhadap informasi terkait investasi yang dilakukan Danantara agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu. Pemerintah juga perlu menetapkan batasan yang jelas dalam perlindungan terhadap sektor strategis, sehingga sektor-sektor vital tidak sepenuhnya diswastanisasi demi menjaga kedaulatan ekonomi negara. Di samping itu, penerapan good corporate governance harus menjadi prioritas, termasuk memastikan transparansi keuangan, pelaporan berkala, serta pemilihan pemimpin yang berintegritas dan profesional agar pengelolaan Danantara tetap akuntabel dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Pada akhirnya, Danantara memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi BUMN, menarik investasi, dan mengurangi beban anggaran negara. Namun, tanpa pengelolaan yang transparan dan profesional, badan ini justru berisiko menjadi alat bagi segelintir elite ekonomi yang dapat memperlebar kesenjangan sosial. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan yang ketat, keterlibatan publik, serta penerapan tata kelola yang baik harus menjadi prioritas agar Danantara benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian nasional. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam menjaga transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Jika langkah-langkah tersebut diterapkan dengan baik, Danantara bisa menjadi peluang emas bagi Indonesia, bukan jebakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Apakah kita mampu memastikan Danantara menjadi peluang emas dan bukan jebakan ekonomi bagi Indonesia? Atau justru kita hanya akan menyaksikan sebuah harapan besar yang berakhir tanpa hasil?