JEJAK TIMAH, JEJAK PERLAWANAN

L. K. Ara

 

Dari tanah Gayo, Aceh yang dingin,

seorang pengembara melangkah pergi.

Ia tinggalkan rimba kopi,

menyusuri jejak para pemberani.

 

1. Dari Tanah Rencong ke Pulau Timah

 

Di tepian Danau Lut Tawar,

ia ingat kisah Cut Nyak Dhien,

perempuan besi yang hatinya api,

terbakar marah pada penjajah.

 

Ia bukan hanya istri, bukan hanya ibu,

tapi nyala perang yang tak pernah padam.

Rencongnya berkilat di medan juang,

air matanya tumpah hanya di sepertiga malam.

Ia bersumpah di hadapan Allah:

“Tak akan tunduk, tak akan menyerah!”

 

Di tanah Aceh, lelaki-lelaki menari,

kaki mereka menghentak bumi,

tangan terangkat ke langit,

seperti elang siap menerkam musuh.

Itulah tari Sedari,

tarian perang yang diwariskan leluhur,

mengisahkan keberanian di medan laga,

dan sumpah tak akan tunduk pada penjajah.

 

Pengembara dari Gayo melangkah ke Bangka,

mengikuti jejak Depati Amir,

sang pemimpin yang tak gentar,

mengangkat tombaknya setinggi langit,

kelewang setajam sumpah yang tak terbayar,

dan keyakinan sekokoh batu Hajar Aswad.

 

2. Nyala Timah dan Pengkhianatan

 

Di sepanjang pantai Sungailiat,

pengembara melihat gunung-gunung pasir,

lubang-lubang yang menganga,

seperti luka menganga di dada bangsa.

 

Timah bersinar seperti matahari tenggelam,

indah namun menyimpan duka.

Dari perut bumi ia diambil,

tapi rakyat tetap merintih lapar.

 

Depati Amir tak hanya melawan senapan,

tapi juga mulut manis yang beracun.

Namun ia tahu, Allah tidak tidur,

doa para petani dan nelayan naik ke langit,

menghujam penjajah seperti petir di malam gelap.

 

Busur dan anak panah melesat bagai kilat,

tombak bambu menancap di dada serigala kafir.

Di rawa-rawa Bangka yang sunyi,

perlawanan menjelma bayang-bayang malam.

Ia seperti elang yang melayang tinggi,

mengintai musuh dalam gelapnya belantara.

 

Namun, pengkhianatan adalah ular berbisa,

menyelinap dalam kegelapan,

membelit kaki perjuangan,

hingga Depati Amir jatuh dalam jerat buangan.

 

Di pengasingan, ia sujud panjang,

di tanah asing, ia tetap teguh,

karena ia tahu, dunia ini hanya sementara,

dan kemenangan sejati adalah ridha-Nya.

 

Dari kejauhan, suara rapai bertalu,

gendang perang yang menggetarkan dada,

memanggil ruh-ruh para pejuang,

menyampaikan pesan dari tanah rencong:

“Jangan kau biarkan bumi ini diinjak serigala!”

 

3. Gema Perlawanan yang Abadi

 

Pengembara dari Gayo berdiri,

di tepian pantai Batukadera.

Ombak membisikkan nama:

“Depati Amir, sang nyala timah yang tak padam.”

 

Ia tahu, sejarah selalu berulang.

Dari Aceh hingga Bangka,

dari rencong hingga tombak,

perlawanan adalah jihad yang tak pernah mati.

 

Ia mengepalkan tangan ke udara,

rencong di genggamannya berkilat,

seperti tombak Depati Amir yang terhunus,

seperti bara api yang menunggu angin,

seperti pedang Zulfikar di tangan Ali,

sebuah janji yang takkan padam:

 

“Di mana pun ada penindasan,

di sana ada perjuangan,

dan Allah selalu bersama orang-orang yang sabar!”

 

Malam di Bangka bergetar,

suara pantun berbalas menggema,

tentang perjuangan yang tak boleh pudar.

Di Aceh, hikayat perang kembali berkisah,

tentang pahlawan yang tak boleh dilupakan.

 

Kini, nama mereka terukir di negeri ini:

Cut Nyak Dhien – Pahlawan Nasional

Depati Amir – Pahlawan Nasional

 

Mereka bukan sekadar nama di batu nisan,

mereka adalah nyala api yang tak pernah padam.

 

LK Ara adalah sastrawan Indonesia. Sekarang tinggal di Aceh Tengah

Exit mobile version