Opini  

Ketukan Palu Oligarki Bergaris Turunan Kapitalisme Membunuh Pelan Tapi Pasti

Anash Barokah SPd. S.IP

bekaespedia.com _ Sudah tak asing Pembahasan Cipta Kerja (Ciptaker) selalu menimbulkan polemik tatanan negara , sebab sudah tiga tahun belakangan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja menjadi hangat di perbincangkan ketika Palu Sidang mencekik para buruh secara tersruktur yang di dasari oleh pasal-pasal yang merugikan para pekerja demi mengkais rezeki hanya karena bertahan untuk makan, hidup dan juga anak istri bahkan keluarga di kampung halaman.

Pada rapat paripurna pada bulan Oktober 2020 DPR RI ngotot mengesahkan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) . Tentu hasil dari rapat tersebut menuai banyak reaksi negatif sebab UU ini cendrung mengakomodasi kepentingan perusahaan dari pada masyarakat, seperti memudahkan eksploitasi sumber daya alam serta merepresi hak-hak pekerja .

Point-point kontroversil UU Cipta Kerja
– pasal 79 ayat 2 B yang mengatur istirahat mingguan pekerja menjadi 1 hari dalam 6 hari kerja , artinya 5 hari kerja di hapus dalam undang-undang ini dan hak cuti berpotensi hilang seperti haid dan melahirkan bagi perempuan karena hak upah pekerja atas cuti hilang.

– Pasal 88 B, pasal ini mengatur standar upah perwaktu/jam dengan dalih berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil, karna itu tidak sedikit yang mengganggap skema pengupahan ini akan menjadi dasar bagi prusahaan untuk memperlakukan perhitungan upah perjam dan juga bahkan mengilangkan hak-hak pekerja.

– Pasal 88 C, disebutkan menetapkan upah minumum sebagai jaring pengaman ,dalam hal ini kaitan upah mininum yang di maksud adalah upah minumum provinsi. Pada point ini juga banyak kwatiran pada pemerintah tengah berupaya menghilangkan upah upah minuman kabupaten/kota (UMK) melalui praturan ini.

– Pasal 77 yang mengatur waktu kerja pekerja 8 jam dalam waktu 1 hari dan 40 jam dalam seminggu, pasal ini sangat merugikan dari pada pasal sebelumnya yaitu pasal 77 No. 13 UU cipta kerja tahun 2003 yang berbunyi mengenai peleksanaan ketentuan waktu kerja 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. Pasal terbaru ini di anggap sangat mengeksploitasi pekerja dalam faktor ketahanan tubuh.

– Penghapusan pasal 59 UU Cipta kerja (Ciptaker) yang mengatur pekerja dengan syarat waktu tertentu (Status Kontrak) dengan di hapusnya pasal ini dalam UU Cipta Kerja Maka tidak ada aturan sampai kapan seseorang perkerja ini bisa di kontrak dan akibatnya bisa saja pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup .

– pasal dalam Perppu Ciptaker juga berpotensi mengancam dan membahayakan lingkungan hidup serta masyarakat adat. Ketentuan yang dimaksud antara lain Pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),

– Pasal 162 yang berpotensi menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang menolak tambang, pemberian royalti O persen bagi perusahaan yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan tambang-tambang melalui Pasal 128 A, hingga penghapusan ketentuan kecukupan 30 persen luas kawasan hutan.

Guncangan dari polemik ini mengundang berbagai elemen masyarakat sipil untuk tidak tinggal diam, permohonan judicial review pun dilayangkan. Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, dan apabila tidak dilakukan perbaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diberikan, UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional permanen.

Alih-alih mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah justru mengambil jalan kilat dan mengingkari amanat MK dengan menerbitkan produk hukum yang mereplikasi hampir seluruh substansi UU Ciptaker melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Perppu( Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang) ini selanjutnya dietapkan menjadi undang-undang oleh DPR pada tanggal 21 Maret 2023. Dengan Nihilnya niat Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Ciptaker memperlihatkan urgensi sebenarnya dari pengesahan undang-undang ini, adalah ambisi elite oligarki semata-mata tanpa mengindahkan kesejahteraan masyarakat.

Bahkan mirisnya lagi akibat dampak dari sahnya Undang-Undang ini yang kaya makin kaya yang miskin makin meretapi tubuh yang makin kurus kering. Tak hanya itu banyak drama yang terjadi pada rapat siang itu “Walkoutnya” salah satu Fraksi partai dan intrupsi dari partai berbeda tak di indahkan oleh sang maha benar puan dan tuan yang berjas memimpin sidang.

Hilangnya perlindungan hak-hak kekayaan intelektual,proses ligislasi yang tidak transparan bahkan terkesan buru-buru penjadi penompang bawasannya DPR RI bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tapi melainkan Dewan Perampok Rakyat nonpRestasI.

Oleh karna itu sebagai warga negara yang katanya baik bahkan paham dan taat akan aturan perundang-undangan dan pancasila, seharusnya pemerintah harus menjunjung tinggi amanah yang sudah di tetapkan, bahkan DPR juga harus hadir dalam mengontrol dan menghentikan kegilaan yang di buat oleh kaum elite pemerintah bukan malah memanjakan kaum oligarki, sebagaimana didasari pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945.

Kewenangan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara Presiden dengan DPR dalam membentuk peraturan perundang-undangan. DPR seharusya dapat diandalkan untuk mempertahankan legitimasi putusan MK sehingga kekuasaan yudisial tidak diperkosa begitu saja, Namun, bukannya mendukung rakyat, DPR justru mengkhianati rakyat dan MK.

Exit mobile version