Oleh : Rusmin Sopian
Bekaespedia.com _ ” Bagaimana kalau kami saja di situ,” ungkapan itu amat sering kita dengar, saat kita sebagai warga masyarakat membicarakan kondisi daerah.
Disitu itu diartikan bagaimana kalau dirinya yang memegang jabatan di sebuah organisasi perangkat daerah ( OPD).
Kadang ucapan itu terkesan main-main, sekedar humor cerita atau sebagai bagian dari kelakar semata. Kadang karena merasa dekat dengan Pimpinan dan Pemimpin narasi itu dapat diartikan sebagai suatu hal yang bisa didapatinya walaupun kompetensi, dan pengetahuannya untuk memegang amanah tersebut sungguh kurang layak dan tidak pantas.
Dan bukan tidak mungkin dengan jabatan tersebut, justru membuat Pemimpin yang mengamanahkan jabatan untuk dirinya jadi bahan cemoohan publik. Jadi bahan olok-olokan warga, bahkan bukan tak mungkin menurunkan kredibilitas pimpinan yang mengamanahkan jabatan itu.
Pada sisi sebagai mana yang kita pahami jabatan adalah amanah yang diberikan pimpinan dan pemimpin untuk dirinya demi kebaikan negara, daerah, organisasi yang bermuara untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk kepentingan masyarakat banyak.
Jabatan adalah amanah untuk mensejahterakan rakyat, membahagiakan publik. Bukan mensejahterakan dirinya, keluarga, dan koleganya. Apalagi untuk meninggikan kehormatan diri. Kehormatan diri bukan pada jabatan yang diembannya, akan tetapi bagaimana jabatan itu memiliki manfaat bagi publik dan daerah.
Sebagai pendiri bangsa, Bung Karno memberikan teladan penting soal etika bernegara dengan memaknai jabatan sebagai jalan pengabdian.
Sikap ini mestinya dan sangat layak ditiru para pemimpin masa kini sehingga tidak berpikir untuk megeksploitasi kekayaan negara demi hidup bermewah-mewahan di tengah hidup rakyat yang terbatas dan serba kesusahan.
Pejabat publik perlu belajar dari hidup sebagai pengabdian yang telah diajarkan dan diwariskan Bung Karno. Selain Bung Karno, Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta, adalah di antara para pendiri bangsa yang memberikan teladan pengabdian hidup untuk negerinya.
Agus Salim adalah sosok pendiri bangsa yang menjalani hidup dengan sangat sederhana. Sejarah telah menuliskan bagaimana salah satu pendiri bangsa itu hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Bahkan pernah hidup tanpa listrik, dan tidak pernah punya rumah sampai akhir hayatnya.
Kalau pun beliau ingin hidup serba berkecukupan penuh kemewahan, tentunya sangat bisa.
Tetapi ia menjiwai sikap hidup, bahwa jalan memimpin adalah jalan penderitaan, sehingga dia hidup bersama rakyat.
Begitu pula dengan Hatta yang menjadi teladan penting dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana. Usai melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada tahun 1956, Hatta tak punya cukup uang untuk membayar tagihan listrik. Bahkan sekelas Wakil Presiden tak mampu membeli sepatu merk Belly.
Sebagai pendiri bangsa, Hatta menjiwai sepenuh hati tentang arti kehidupan rakyat biasa, dengan penuh sadar dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana sebagaimana yang dialami oleh rakyat biasa. Keteladanan moral yang ditunjukkan Soekarno, Agus Salim, dan Hatta merupakan pedoman penting bagi para pejabat di masa kini dalam menjalani masa tugas kepemimpinan dan sebagai pemimpin.
Pemimpin seharusnya menunjukkan spirit pengabdian untuk Negara, daerah dan rakyatnya. Para pemimpin masa kini harus belajar dari ketulusan hidup para pendiri bangsa dalam mengabdi untuk negara dan rakyatnya.
Sangat penting untuk meneladani sikap para pendiri bangsa yang rela mendarmabaktikan pikiran dan hatinya untuk memilih hidup sederhana dan bahkan ikut serta menderita bersama rakyatnya demi masa depan Indonesia yang maju dan sejahtera.
Tak heran bila nama mereka selalu harum dalam aroma jiwa raga warga bangsa ini yang berkehidupan dari Pulau Miangas hingga Rote, sebab mereka, para pemimpin dulu mewarisi keteladanan hidup dan pelajaran moral dari mereka sebagai pemimpin yang berjiwa pengabdi dan mengabdi untuk kepentingan rakyatnya. Bukan menjadi pemimpin dan pengemban amanah untuk memperkaya diri dan keluarga serta kelompoknya.
Mereka tahu diri, Nabat.
Toboali awal Februari 2024