Antrean THR di Bulan Ramadan 

Oplus_131072

Oleh : Indra Pirmana

 

Suasana Ramadan terasa begitu dingin yang dilapisi gerimis setiap sorenya. Dani memberanikan diri mencari takjil walau pun Dani dan keluarganya baru dua bulan tinggal di daerah itu. Di saat matahari mulai mau kembali kesarangnya, Dani berjalan keliling kampung untuk mencari takjil. Di sepanjang jalan kiri kanan dihiasi aneka makanan dan minuman.

“Seandainya uangku cukup akan ku belikan makanan yang lezat dan minuman segar untuk Ibu dan adiku.” Ucap Dani dalam hati sambil menunjukan raut wajah sedih sambil memegang uang Rp 10.000.

Di sepanjang jalan dipenuhi warga berbondong-bondong mencari takjil. Dani menyusuri jalan sambil menatap rumah mewah. “Apa yang terjadi di sana?” Dani penasaran dan memberanikan diri untuk mendekati rumah mewah itu.

“Kenapa banyak warga berbondong-bondong keluar masuk rumah mewah itu?” Dari kejauhan, Dani terus memantau. Antrean yang panjang dan tergesa-gesa bahkan warga rela untuk berdesak-desakan. “Dani terus memantau dan melihat wajah ibu-ibu yang sumringah bercahaya setelah keluar dari rumah itu. Dani masih penasaran! Apa aku harus mendekat ya?” Gumamnya dalam hati.

Setelah membeli es buah, Dani terus duduk sejenak dan tidak henti-hentinya memandang rumah mewah itu sambil memandang langit yang mulai gelap dan menandakan waktu berbuka semakin dekat.

“Dani terus menatap dengan tajam rumah mewah itu!”

Ada beberapa Ibu-ibu keluar membawa plastik putih dan amplop. Dani menatap tajam Ibu-Ibu tersebut yang sedang menunjukan wajah senang dan sambil melempar tawa dengan temannya.

“Ibu tersebut menyapa! Ayo, ikutan antre kenapa duduk disitu?” Ucap ibu itu sambil menunjukan barang bawaannya. Tanpa basa-basi Dani langsung masuk barisan dan antre menuju rumah mewah itu. Dani pun terhempit sambil memegang erat es buahnya.

Dani melihat bapak-bapak yang antre memegang kertas kuning ditangannya. “Sedangkan Dani tidak membawa kertas kuning?”hanya es buah yang dibawanya.

“Kenapa Dek, ko kelihatan bingung?”ucap Bapak-bapak sambil menoleh ke arah Dani.

“Iya pak, saya ikut antre namun tidak membawa kertas kuning seperti bapak!” Oo.., coba saja Dek, siapa tahu bisa dapat THR tanpa kertas ini! Sambil menunjukan kertas yang dipegangnya.

Akhirnya Dani mencoba mengikuti saran Bapak tadi supaya mendapatkan THR dan sambil menatap bingkisan yang masih terpampang penuh di meja depan. Antrean menuju penerimaan THR semakin dekat.” Dani merasakan dag, dig, dug yang tak henti.

“Apakah aku harus keluar dari barisan ini?”gumamnya dalam hati.

“Kebingungan terus menyelimuti pikirannya. Apa yang harus Dani lakukan?” Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat.

“Walaupun pikiran kosong, Dani terus melangkah percaya diri sambil menatap sekeliling rumah mewah itu. Apakah aku bisa suatu saat nanti memiliki rumah mewah ini?”gumamnya dalam hati sambil mengkhayal. “Akhirnya tibalah giliran Dani menerima bingkisan. Panitia bertanya terlebih dahulu!” Dek, mana kertas kuningnya?tanya panitia.

“Dani tidak membawanya Pak, soalnya pas lewat beli takjil kemudian duduk di depan pagar besar dan melihat warga berbondong-bondong menuju rumah besar ini. Akhirnya saya ikut antre karena melihat ibu-ibu yang keluar dari rumah mewah ini penuh kebahagiaan.” Jawab Dani.

“Ooo.., begitu ya,” Siapa namamu Dek, di mana rumah mu? tanya panitia.

“Dani Pak, rumah di belakng apotek.” Ucapnya sambil ketakutan. Belakang apotek ??? “Kontrakan Pak Didi itu ya!” tanya panitia.

“iya Pak,” Jawab Dani.

Tunggu dulu ya Dani, Panitia tadi berbisik dan mengasih tahu namanya dengan Pemilik rumah mewah itu.

“Pemilik rumah menatap sejenak, lalu tersenyum melihat Dani yang masih anak-anak memegang es buah dan memakai pakaian tidak layak.” Kenapa Dani yang ikut antre bukan orang tuamu? Tanya pemilik rumah mewah itu.

“Ibu sedang sakit dan Ayah sudah meninggal karena kecelakaan saat aku usia tiga tahun. Ibu juga sudah satu bulan lebih di kontrakan karena sakit jadi Ibu tidak bisa ke sini.” Ucap Dani dengan wajah sedih.

“Ooo…,yang sabar ya Dani.” Mungkin ini ujian buat keluargamu.

“Doakan terus agar ibu cepat sembuh, semoga bapakmu sudah tenang di surga.” Ujar pemilik rumah mewah itu dengan nada lembut.

“Iya Pak, terima kasih.” Jawab Dani Sambil mengangguk.

“Emang Ibu sakit apa?” tanya pemilik rumah mewah.

“Ibu sakit lambung Pak.” Jawab Dani.

“Sebelum ibu sakit, apa kerjaannya?” tanya pemilik rumah mewah.

“Jadi pembantu rumah tangga Pak. Namun, kami sekarang belum lama tinggal di daerah ini. “Jawab Dani.

“Ooo, nanti kalau ibu sudah sembuh bilangya untuk kerja di rumah Bapak kebetulan Bapak masih kurang satu pegawai lagi karena pegawai pertama sudah pulang kampung karena mau nikah. Bilang saja H. Soleh depan Bank Sumsel.

“Baik Pak, nanti disampaikan.” Jawab Dani sambil berbisik di hatinya ternyata orang baik ini, H.Soleh namnya.

“Kamu puasa Dani?” tanya H. Soleh.

“Alhamdulillah Pak,” jawab Dani.

“Ooo…, syukurlah, usia masih anak-anak sudah menjalankan puasa.” Ucap H. Soleh sambil menunjukan wajah sedih.

Nanti bingkisan THR ini bawa pulang ya Dani, ” Mudah-mudahan bingkisan ini bisa membantu. Saya hanya ingin agar semuanya bisa merasakan keberkahan Ramadan 2025 ini,” ucap H. Soleh.

“Akhirnya, Dani dikasih bingkisan dan amplop putih tadi walaupun tanpa kertas kuning.” “Alhamdulillah, ya Allah, atas semua rezeki yang luar biasa ini dan tak henti-hentinya Dani ucapkan terima kasih.” Ucap Dani sambil meneteskan air mata.

“Saya tak bisa membalas kebaikan ini, semoga Allah membalas kebaikan Bapak.” Ucap Dani sambil memegang es buah, bingkisan dan tangan H. Soleh.

“Iya Dani, Saya hanya berusaha berbagi.” Semoga Ramadan ini membawa keberkahan dan kebahagiaan bagi kita semua.” Ucap H soleh.

“Oya Dani, ini bawa dua bingkisan lagi untuk Ibu dan adikmu.”

“Baik pak, sambil menunjukan wajah ceria, Alhamdulillah ya Allah.” Ucap Dani sambil mengela napas panjang.

Saat matahari mulai terbenam dan marbot musala menginformasikan bahwa berbuka puasa tinggal 15 menit lagi. Dani pun pamit pulang ke H. Soleh.

Dani pulang berjalan kaki dengan penuh gembira, karena mendapatkan tiga bingkisan dan amplop. Wajah dengan penuh bahagia memeluk es buah dan tiga bingkisan karena sudah tidak sabar ingin bertemu Ibu dan adiknya.

“Sesampai di depan rumah, Dani memanggil,” Ibu..,Ibu…,Adek…,Adek…, Kakak pulang sambil menunjukan es buah dan bingkisan yang di bawanya.

“Di depan pintu Ibu bertanya, apa yang kamu bawa?” Banyak sekali bawaannya. “Tadikan kamu cuma membawa uang Rp. 10.000 untuk beli es buah!” Tanya Ibuku sambil menunjukan wajah marah.

Dani mencoba menenangkan Ibu dengan bicara pelan-pelan.

“Ibu, begini ceritanya! tadi sesudah membeli es buah, tidak sengaja saat perjalanan pulang Dani melihat rumah mewah di depan Bank Sumsel di kerumuni warga.” Akhirnya duduk sebentar depan pagar rumahnya sambil melihat warga yang antre.

Dani pun terus duduk disitu Bu. Kemudian, ada Ibu-ibu menyuruh Dani untuk antre dibarisan itu. Akhirnya Dani memberanikan diri untuk antre bersama warga. Pada saat itu Dani diselimuti kebingungan. Ternyata harus membawa kertas kuning untuk mendapatkan bingkisan itu.

Dani mencoba tetap dibarisan karena bapak-bapak di depan Dani menyuruh untuk mencoba antre walaupun tidak ada kertas kuning. “Pada saat didepan panitia Dani ditanya. Dek, mana kertas kuningnya?” Dani menjawab tidak ada karena hanya ikut antre Pak. Akhirnya panitia berbisik degan pak H. Soleh. Kemudian berbincang sejenak dan diberi bingkisan. Malahan saat mau pulang bingkisan ditambah dua Bu.

Kata H. Soleh untuk Ibu dan Adikmu. “Ooo.., Begitu, ya, apakah kamu mengucapkan terima kasih?”Tanya Ibu dengan nada pelan.

“Ya, Bu.” Jawabku.

Aku membawa bingkisan ke dalam bersama Ibu. “Rere kemana Ibu? Ko tidak ada di rumah.” Tanyaku pada Ibu.

Rere tadi Ibu suruh menyusulmu, soalnya tadi kamu lama sekali membeli untuk takjil.

“Itu dia,” Rere pulang.

“Kakak, sudah di rumah ternyata.” Tanya Rere sambil wajah cemberut.

“Maafin Kakak ya Re, emang kenapa Kak?” Tanya Rere dengan menunjukan wajah polos.

Kakak telat pulang karena Kakak ikut antre di Rumah Pak H.Soleh yang mewah itu sedang berbagi THR jadi Kaka ikut antre.

“Alhamdulillah Kakak di kasih bingkisan untuk kita bertiga.” Ooo, Rere pun menunjukan wajah senang. Suara sirine berbuka puasa pun berbunyi melalui corong pengeras di musala. Akhirnya kami bertiga berbuka puasa dengan menyantap es buah. Setelah itu bingkisan di kasih ke Ibu dan Adiku. Kemudian kami salat magrib berjamaah.

Setelah salat magrib kami melanjutkan makan. “Rere dan Ibu belum membuka bingkisan yang di kasih H.Soleh tadi.” Ucap Ibu.

“Ayo Bu, kita buka sama-sama bingkisan itu.” Apa ya isinya? Ucap Dani.

Akhirnya ketiga bingkisan tersebut dibuka secara bersama-sama. Ternyata isinya sarden ABC, indomie, gula, kecap, minyak goreng dan bahan pokok lainnya, kemudian di amplop putih masing-masing berisi uang Rp 500.000. Seketika itu wajah Ibu, Dani, dan Rere berubah cerah dan bahagia. Tetesan air mata tak bisa terbendung membasahi pipi Ibu, dan berkata Alhamdulillah ya Allah, Alhamdulillah ya Allah, Alhamdulillah ya Allah sambil menatap foto Suaminya yang terpampang di papan.

Akhirnya kami bisa membeli baju baru dan aneka makanan untuk hari Raya. Ucap Ibu sambil meneteskan air mata dan menahan rasa sakit.

“Jangan lupa Ibu besok berobat ke dr. biar cepat sembuh.” Ucap Dani dan Rere dengan serempak.

“Baik Nak, besok Ibu berobat.” Jawab Ibu.

“Oya Ibu, kata H. Soleh nanti kalau sudah sembuh Ibu boleh kerja di rumahnya.” Ucap Dani. Ibu langsung sujud syukur dan menangis karena Bahagia sambil mengucap terima kasih ya Allah…, terima kasih ya Allah…, terima kasih ya Allah…, “atas semua nikmat yang telah Engkau berikan kepada keluarga kami dan ini merupakan kado terindah di bulan Ramadan ini.” Ucap ibu dalam hati. (BP)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *