(Foto Illustrasi Tangkapan Layar dari Google Meta)
Oleh : Nada Julia
Siswa SMP Negeri 1 Simpang Rimba*
Masih ingat dalam benakku ketika masih kecil, ayahku sering menasihati, membimbing dan mengajarkanku tentang nilai-nilai kehidupan.
Ayah selalu ada di sampingku, di saat aku membutuhkannya. Kasih sayang dan dukungan selalu mengalir bak air yang tak pernah kering. Itu sekelumit perjalanan hidup bersama ayahku.
Namun, semua itu kini tinggal kenangan; bila mengingat itu, air mataku terkuras.
Saat itu, ketika aku mulai menapaki Sekolah Menengah Pertama, sosok yang biasanya selalu aku andalkan, sosok tempat aku menumpahkan segala resah gelisah, gundah gulana, dan tempat aku bermanja, hari itu harus pergi menghadap yang Maha Kuasa. Seketika itu juga bahagiaku seolah terenggut dengan paksa, sirna. Tentu aku takmampu menolak takdir yang telah tertulis dalam garis hidupku.
Sejak saat itu pula, aku merasa seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan dengan hidupku. Aku merasa seperti tidak memiliki tujuan yang jelas. Aku mulai merasa kesepian dan bergelut dengan nestapa.
Yang membuatku kuat dengan kondisi di mana saat itu aku merasa terpuruk, aku selalu mengingat kata-kata Ayah. Ayah selalu dan sering mengatakannya,
“Kamu harus percaya pada kemampuan dirimu sendiri, Nak. Jangan pernah menyerah dalam kondisi apa pun. Kamu harus kuat, harus mandiri,” nasihat Ayah suatu ketika.
Dalam keterpurukan yang kuhadapi, aku bertekad harus bangkit, harus kuat, sebagaimana pesan Ayah.
Aku mulai berusaha untuk menemukan kembali arah hidupku. Aku mulai berbenah. Aku tahu apa yang ingin aku lakukan dengan hidupku yang sesaat ini. “Aku harus bangkit dan membuat rencana untuk mencapai tujuanku”, tekadku dalam hati.
Walaupun kadang aku masih merasa kesepian dan kehilangan, tapi aku tidak merasa sendiri, masih ada Emak, Ayuk, Kakak dan teman-teman yang selalu baik padaku.
Aku tahu bahwa ayahku masih dan tetap ada di hatiku. Dan walau Ayah telah tiada, tetapi Ayah akan tetap selalu hidup dalam hatiku.
Masih banyak hal yang bisa aku lakukan untuk meraih impianku. Aku berharap suatu hari nanti, aku bisa menjadi seperti ayahku, orang yang kuat, mandiri, dan bijaksana.
Suatu hari nanti, aku harus mendapatkan peran sebagaimana yang aku impikan, walau ada takut dan khawatir.
“Takut itu wajar, tapi jangan biarkan takut itu menghalangi kamu untuk mencapai tujuanmu”, ujar ayahku suatu ketika.
Aku ambil napas dalam-dalam, kuhela dan kulepas secara perlahan untuk melepaskan beban yang terasa sesak kuhadapi.
Dalam lamunanku, terbit tekad yang harus kuperjuangkan.
“Suatu saat, aku harus berhasil. Aku harus membuat orang tuaku bangga. Membuat mereka bahagia, membuat ayahku tersenyum dalam keabadiannya.”
(Penyampar, Desember 2024)