DESA PERLANG

Peta Perlang (D D 30,44) Sumber : universiteitleiden.nl

Penulis : Meilanto (Pegiat Sejarah dan Budaya Bangka Tengah)

Toponim Desa Perlang
Asal usul mengenai dari nama Perlang, yaitu ketika cerita tentang adanya kehadiran seekor bururng berukuran besar yang sedang mandi, kemudian dikepakkan sayapnya secara berulang-ulang yang mengeluarkan suara khas (keper-keper). Hal tersebut dilakukan sambil mencari ikan. Hal ini terus menjadi bahan perbincanagn masyarakat karena seringnya melihat fenomen aini hingga akhirnya masyarakat terbiasa ingat dengan kebiasaan keper-keper dari elang tersebut sehingga menyebutnya dengan sebutan per-perlang. dan akhirnya disepakatilah nama daerah baru ini dengan nama Aek Perlang yang artinya elang bermain di air.

Seiring berjalannya waktu, nama ini kembali berunah menjadi perlang. Dari nama itulah kemudian awalan per dipersandingkan dengan kata elang, jadi dari dulu hingga sekaramg hal tersebut sudah menjadi pakem atau kebiasaan masyaralat sekitar.

Kisah di atas juga diperkuat oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Perlang. Bapak Mustafa . Perlang berasal dari kata keper-keper, per…per…(mengepak-ngepakkan sayap) anak burung elang. Diceriatakannya pada zaman dulu, di sebuah pemukiman penduduk yang belum memiliki nama terdapatlah sebuah aliran sungai kecil (aik) yang bersumber dari bukit Pading. Penduduk kampung tersebut menggunakan sungai kecil (aik) tersebut untuk keperluan rumah tangga. Hampir setiap hari penduduk yang mandi di air tersebut sering mendengar suara keper-keper (mengepak-ngepakkan sayap) di bagian hulu sungai kecil.

Saat suara keper-keper tersebut didatangi, suara itupun menghilang. Setelah diselidiki berhari-hari, ternyata suara keper-keper di hulu sungai kecil tersebut adalah anak burung elang. Masyarakat setempat akhirnya sepakat menamakan tempat mereka tinggal menjadi Perlang yang berasal dari kata keper-keper, per…per…anak burung elang dan sungai kecil itu diberi nama Aik Perlang.
Sampai tahun 2011 sudah ada tujuh periodesasi gegading/ lurah/ kepala desa. Desa perlang awalnya merupakan desa induk dari Kecamatan Koba .

Perlang dalam Peta Tua
Menelisik peta topografi tahun 1934 yang berjudul Perlang (D D 30,44), Perlang mempunyai pemukiman penduduk yang panjang. Pemukiman penduduk dengan warna hijau yang berarti Kampoeng. Di tengah kampung terdapat tikungan, ke arah kanan menuju ke Loeboek Besar dengan jalan verharde weg, waarvan de verharding 2-4 meter breed is (jalan beraspal dengan lebar 2-4 meter) dan ke arah kiri menuju ke laut melewati niet verharde weg (jalan kecil) sampai ujung pemukiman penduduk selebihnya voetpad.

Sisi utara Perlang, terdapat hutan dengan garis Grens B.W. (Boscwezen) yang sangat panjang. Di sisi utara terdapat banyak air yaitu A. Perlang-ketjil, A. Saba, A. Tilong, A. Perlang yang berhulu melewati jalan raya, A. Pelakat yang semuanya bermuara ke Laut Cina Selatan.

Sementara itu di sisi selatan dipenuhi dengan aangeledge pepertuinen (kebun lada). Terdapat A. Tjoengkoep, A. Pasir, A. Merbak di sisi selatan dan A. Njiur, S. Kajoearen, A.Pajadjangka, A.Melie-ketjil, serta A.Melie di sisi timur. Di sisi timur pemukiman ada dua houten brug (jembatan kayu). Terlihat jelas sebuah masjid (mesigit) di sebelah kiri menuju Loeboek Besar dan inlandsche graven (TPU). Selain kuburan Islam, juga terdapat beberapa titik pendem/ kuburan Cina (Chineesche graven). Selain itu terlihat ada lima meer baik rivier gemeten maupun niet gemeten (maksudnya kolong dekat sungai dengan kedalaman pernah diukur maupun tidak diukur). Selain itu juga terlihat beberapa verlaten mijn (bekas tambang timah).

Pemukiman penduduk dari arah tikungan menuju Loeboek Besar lebih panjang bila dibandingkan dengan pemukiman sebelum tikungan.
Selanjutnya peta topografi Perlang buatan L.H.Q. Cartographic Company Australian Survey Corps tahun 1946 dengan seri D D 33,32 mencakup wilayah yang sangat luas. Pemukiman penduduk (kampung) tidak ada perubahan. Pada peta 1946, kampung tertulis Native village.

Sadap
Sadap merupakan bagian dari Desa Perlang. Pada peta tahun 1934 dan 1946, Sadap masih berupa hutan dan aangeledge pepertuinen. Pada peta tahun 1946 tertulis Airsadap. Jalan yang ditempuh untuk ke Airsadap masih berupa Bridle Path (jalan setapak yang agak lebar/ jalur kekang) dan sedikit footpath (jalan setapak/ kecil). Sadap merupakan bagian dari kaki gugusan perbukitan Pading (Pading Hill)

Nadi
Pada peta tahun 1934 dan 1946, Nadi masih berupa hutan dan sebagian kebun warga (aangeledge pepertuinen). Pada peta tahun 1946, Nadi yang kita kenal saat ini menjadi sebuah dusun tertulis Nadi dengan garis biru kecil yang berarti sungai dan Bt.Nadi (182).

Asal Mula Berdirinya Masjid
Karena kebutuhan akan ibadah yang lebih baik terutama hari jumat dan acara kegiatan lainnya maka masyarakat bergotong-royong masyarakat secara kompak, ada yang menyumbang uang, kayu, genteng sampai tenaga sepenuhnya, bersama-sama membangun dan membuat masjid yang didambakan, awalnya berdirinya masjid bentuknya adalah seperti rumah panggung, bahannya dari kayu balokan yang dibuat papan, yang dikerjakan secara bertahap bersama sampai selesai.

Lalu beberapa puluh tahun kemudian kurang lebih tahun 1937 karena masyarakat diberi keluasan rezeki oleh Allah SWT terutama hasil karet dan ladanya, serta jumlah masyarakat (jamaah) yang semakin banyak maka atas usul bersama mereka mufakat serta sepakat untuk membenahi dan memperbaiki bangunan tersebut bentuknya setengah permanen di mana lantai di tanah dan bahan bangunan dari papan dikerjakan secara gotong royong.
Selanjutnya belasan tahun kemudian masjid itu dibuat secara permanen dengan menggunakan semen, pada bagian dalam masjid terdapat 4 pilar kayu yang menunjukkan bahwa keempat pilar itu saksi bisu cerita bagaimana masyarakat bekerja bersama-sama dengan gigih, bersemangat membangun masjid. Keempat pilar tersebut bukan sembarang kayu dan asalnya dari tiga tempat, dimana satu batang pilar dari daerah Meliye yang jaraknya sekitar 5 Km, dua batang pilar dari arah gunung yaitu daerah Pengumbut yang jaraknya kurang lebih 3 Km dan satu batang lagi berasal dari daerah Sadap.

Cara memilih kayu pilar ini bukanlah sembarangan, memang dipilih kayu yang keras dan kuat, yaitu kayu memaluh. Setelah ditebang, kayu pilar itu diangkut secara bersama-sama dengan cara dipikul. Pengangkutan itu bukanlah mudah, waktu warga mengangkut satu batang pilar memakan waktu dari Nadi, Sadap dari pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore sampai ke kampung. Ini menunjukan betapa semangat kebersamaan dan beratnya pilar, walaupun hanya berbekal nasi satu sumpit dipinggang masing-masing, Setelah selesai kayu pilar dikumpulkan maka mulailah perampungan masjid dikerjakan hingga terbentuk masjid sekarang ini (masjid yang Lama) .

Masjid yang terlihat dalam peta dan yang dimaksud dalam kisah di atas adalah masjid Baitul Rahman. Lahan masjid tersebut merupakan wakaf dari A. Rachmansyah dan Choirul Sholeh selaku nazir dengan luas 3239 m2 seperti yang tertera pada plang tanah wakaf di depan masjid.
Begitu juga dengan TPU sudah nampak pada peta tahun 1934. TPU ini berada di sebuah kelekak yang masih terjaga. Di sisi timur TPU merupakan Air Perlang.
Di desa Perlang masih bisa dijumpai rumah tua. Rata-rata rumah tua masih dipertahankan oleh sang ahli waris.(DM)

Exit mobile version