GOA RAJA ULAR PULAU KELAPAN (KISAH SANNAN DAN CENNING)

Dwikki Ogi Dhaswara

Ilustrasi_Goa Raja Ular Pulau Kelapan

Bekaespedia.com_Di pelukan Selat Lepar yang membiru, hamparan pulau-pulau saling memandang. Laut membentang bagai pengantara antara dua hati. Di sana, di bawah bayang-bayang daun nyiur berdesir, tinggallah Cenning, gadis Bugis Desa Sadai, yang hidupnya berjubah kemilau emas dan kuasa.

Desa Sadai adalah tempat menyadaikan kapal-kapal besar setelah menaklukkan samudera. Ayah Cenning, Sang Juragan bernama Daeng Hasan, adalah saudagar kelapa di wilayah itu. Kekayaannya sepadang dengan luas kebunnya, beserta armada kapalnya bagaikan kawanan burung laut yang berbaris rapi di pelabuhan.

Di seberang pulau itu, nun tak jauh di mata, di Pulau Lepar yang lebih sederhana, hiduplah Sannan. Bujang Melayu, darah dan napasnya berbaur dengan aroma kayu, gergaji, dan dempul. Tangannya yang terampil membentuk lunas dan lambung, menghidupkan perahu dan kapal-kapal dari balok-balok kayu keras.

Kehidupannya bersahaja, bertumpu pada kerja keras dan ketulusan. Makanan seadanya, pakaiannya pun begitu, namun hatinya kaya akan syair-syair indah yang sering ia dendangkan di tepian pantai Lepar, tatkala senja memeluk cakrawala. Ia menyebutnya Bedaek.

Takdir mempertemukan dua insan yang berbeda daratan itu di pelabuhan Sadai yang ramai. Mata Sannan terpana pada Cenning yang anggun bagai purnama memantulkan sinarnya di air yang tenang.

Cenning pun terpikat pada ketulusan Sannan, senyumnya yang hangat, dan syair-syair yang menyentuh kalbu.

Setiap kali layar terbentang dan kapal-kapal disadarkan di Desa Sadai, Sannan diam-diam menunggu pandangan Cenning, kembang desa bermata teduh yang sering membantu ayahnya di dermaga.

“Cenning… matamu bak laut yang tenang. Apakah aku diizinkan berlayar di dalamnya, tanpa pelampung, tanpa jangkar?.” Tanya Sannan.

Cenning hanya tersenyum, namun senyumnya seperti senja yang menghangatkan, walau sebentar.

Cinta mereka tumbuh diam-diam, bagai tunas kelapa yang mencoba menembus celah karang. Namun, cinta itu bagaikan sampan kecil di tengah badai.

Daeng Hasan, ayah Cenning, Kepala Suku Bugis yang disegani dengan sanak saudara yang menjulur kemana-mana, murka mendengar kabar putri mahkotanya terpikat pada pengrajin perahu dari seberang.

“Cenning, cinta itu tak cukup hanya dengan syair. Ia butuh istana untuk tinggal.” Pesan ayahnya.

Setelah itu, pertemuan mereka pun menjadi resah, di bumbui oleh perasaan gundah.

“Kau tahu, Sannan,” bisik Cenning pada suatu senja,” Perasaanku padamu tak bisa ditukar dengan gemilangnya harta sekalipun. Tapi…. keluargaku tak mengenal makna itu, ada adat yang tak boleh ingkar, ada tradisi yang tak boleh pudar.”

“Pantang lelaki mengganti rasa, sekali jatuh tak akan berpaling muka, akan aku temui orang tuamu, meski dunia menentang. Lelaki sejati tak goyah janji, sekali cinta tak akan basi.” Ucap Sannan.

Dengan keberaniannya yang disemai cinta, Sannan memutuskan melamar Cenning. Ia datang bersama orang tuanya yang renta, mengenakan pakaian terbaik mereka, yang tampak lusuh di hadapan kemegahan rumah Sang Juragan.

Berkat bisikan bijak Ibu Cenning, perempuan berhati mutiara, mereka diizinkan masuk. Namun, ruang megah itu terasa dingin. Tatapan Sang Juragan seperti belati menyoroti pakaian sederhana mereka, merendahkan tanpa kata.

“Panai untuk Cenning,” gumamnya lantang, suaranya menggelegar di ruangan yang mendadak sunyi, “Satu peti penuh emas. Tak boleh kurang!”

Satu peti emas! Langit seakan runtuh menimpa Sannan. Harapan yang baru saja bersemi, kini remuk redam.

Sepulangnya dari sana, Ia kembali ke tepian pantai Lepar, hatinya hancur berkeping-keping. Syair-syair kehidupan yang biasa ia nyanyikan penuh harapan, kini menjelma rmenjadi ratapan yang dibisikkan desir ombak dan desau angin malam. Ia menyebutnya Daek Ratap.

Hari-hari pun berlalu, sudah seminggu rasanya tak lagi bersua dengan Cenning. Di dermaga Lepar yang lengang, Sannan berpapasan dengan seorang tua renta, tubuhnya terdapat luka-luka kehormatan dari masa lalu.

Mereka bercakap-cakap, berbagi cerita hidup yang pahit. Sang Tua bercerita tentang masa silam Pulau Lepar, tentang pertempuran sengit melawan lanun yang kocar kacir. “Mereka Kabur ke Pulau Kelapan,” Ucap Sang Tua, matanya menerawang jauh, ”Mereka membawa jarahan berpeti-peti… menyembunyikannya di dalam goa di sana. Konon, goa itu dijaga oleh makhluk gaib, Sang Raja Ular! Mereka pun tewas disana, tak ada yang berani mendekat. Siapa yang mencoba… hanya menyisakan tengkorak.”

Kisah Sang Tua itu bak petir yang menyambar gelapnya hati Sannan. Goa Raja Ular di Pulau Kelapan! Harta karun Lanun! Jalan terjal menuju mahar yang mustahil.

Pikirannya berpacu. Lalu, teringatlah ia pada syair nenek moyang yang selalu ia dendangkan “Di dunia yang fana, segala kuasa, segala keangkuhan, akan luruh di hadapan cinta yang suci dan mulia.” Seberkas cahaya terbit di benaknya. Cinta! Itulah senjatanya melawan Sang Ular Penjaga Goa.

Dengan tekad membaja, Sannan menyusun rencana. Keesokan harinya, ia memberanikan diri ke Pulau Kelapan, mencari goa yang ditakuti.

Pulau “Kelapan”, lahir dari “Kelapahan”, nyanyian rimbun pohon-pohon kelapa yang berjajar bak tentara hijau menguasai sepertiga pulau itu. Seharian penuh Sannan mengelilingi pulau, akhirnya Goa Kelapan berhasil ia temui.

Di mulut goa yang gelap dan menganga bak raksasa tidur, tumbuh tegak sebatang pohon kelapa tua nan perkasa, batangnya melengkung bak punggung naga purba.

Inspirasi menerpanya, dengan ketangkasannya, Sannan memangkas hasil pelepah dan buah kelapa itu. Hanya menyisakan batang melengkung nan gagah.

Dengan arang bekas dan pahat setia, ia bekerja tak kenal lelah. Batang kelapa itu disulapnya menjadi replika ular besar bersisik hitam yang tampak hidup dan garang, lengkap dengan mata dari kerang-kerang yang menyala dalam bayangan.

Setelah replika ular itu siap menggawang, Sannan memasang nyali. Ia masuk ke dalam mulut goa yang berbau anyir dan dingin yang menusuk tulang. Ia menantang, memprovokasi, berteriak memanggil Sang Raja Ular.

Semalaman ia menunggunya, hanya gemericik air dan desis angin yang menjawab.

Hampir ia putus asa, Sannan duduk di mulut goa dan menatap langit. Sampai kembali pada malam berikutnya, saat purnama naik ke puncak langit, membanjiri bumi dengan cahaya perak, tiba-tiba… Gemuruh! Goa bergetar hebat.

Batu-batu kecil berjatuhan. Dari kegelapan paling dekat, dua mata merah menyala sebesar mangkuk muncul, diikuti kepala ular raksasa bersisik gelap yang lebih besar dari perahu Sannan! Sang Raja Ular keluar dengan desisan maut!

Sannan berlari sekuat tenaga, memancing sang ular keluar dari goa. Api unggun yang ia siapkan sebelumnya dinyalakannya, menerangi medan pertempuran yang mengerikan.

Raja Ular itu mengincar dengan ganas, mulutnya menganga memperlihatkan taring sepanjang pedang. Sannan tidak melawan. Ia berlari, memutar, mengarahkan amukan Sang Raja Ular ke arah replika ular buatannya, yang berdiri megah di bawah sinar purnama.

Ketika Sang Raja Ular melihat replika hitam itu, ia mendadak berhenti. Matanya menyala penuh kebingungan dan amarah. Ada makhluk lain di wilayahnya! Dengan geram, ia melilitkan tubuh raksasanya dengan kuat pada batang pohon kelapa yang dianggapnya makhluk lain itu. Kayu tua berderak menahan beban dahsyat.

Melihat itu, Sannan tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menerobos masuk ke dalam goa yang kini terbuka lebar. Di dalamnya, di ruang yang lembab dan gelap, berpendar cahaya redup dari obor yang ia bawa, terlihat samar-samar peti-peti kayu tua yang sebagian sudah lapuk.

Harta karun! Dengan tenaga terakhir, Sannan hanya bisa menarik dua peti terdekat, terberat yang bisa ia bawa, dan meninggalkan obornya di tempat itu. Ia hanya mengandalkan firasatnya, berlari di dalam kegelapan untuk keluar dari goa.

Tiba-tiba, teriakan kemarahan yang menggelegar mengguncang goa. Sang Raja Ular sadar telah ditipu! Ia melepaskan lilitannya dari pohon kelapa dan meluncur seperti petir mengejar Sannan.

Namun, Sannan sudah terlalu jauh dan berhasil meninggalkan Pulau Kelapan. Peti itu dibukanya pelan-pelan, semua bercampur di dalam peti itu, berisi gumpalan emas batangan, koin-koin kuno, dan kepingan timah yang berharga.

Dua peti harta karun itu mengubah nasib Sannan. Ia menjadi saudagar terkaya di Pulau Lepar. Ia bukanlah juragan yang lupa diri. Sebagian besar hartanya ia bagikan kepada rakyat jelata di Lepar, dan pulau-pulau sekitarnya. Ia membangun perahu untuk nelayan miskin, memperbaiki rumah yang reyot, dan memastikan tak ada lagi anak yang kelaparan.

Dengan mahar yang lebih dari cukup itu, satu peti emas ditambahkan kepingan timah, Sannan kembali ke Desa Sadai dengan kepala tegak. Membawa arak-arakan khas Pulau Lepar, bersama rakyat Lepar mereka mendatangi kediaman Cenning.

Kali ini, Sang Juragan hanya bisa terdiam, matanya terbuka lebar melihat kekayaan yang dibawa oleh Bujang Melayu Lepar itu. Penolakan pun luluh. Cinta Sannan dan Cenning akhirnya bersatu dalam ikatan suci.

 

TAMAT.

Toboali, 16 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *