Historiografi Desa Kepoh Bagian 3

Benteng, Kampong Kepoh, Masjid, Kuburan dan Rabeng

Oleh : Meilanto

Benteng Kepo

Pada masa Kesultanan Johor pertengahan abad ke-17 (1600-1700), besi menjadi salah satu upeti untuk sultan Palembang sebelum diganti dengan timah. Mengutip tulisan Akhmad Elvian “Bajak laut menyerang pulau Bangka dan membangun pangkalan dan benteng di dekat Sungai Kepo, mereka merampok di pulau Bangka antara Tahun 1792-1795 Masehi. Bajak laut melancarkan serangan dari Kapo Lama di pesisir Timur pulau Bangka memutar secara ekstrem ke wilayah pesisir Barat pulau Bangka dan menjarah kawasan Toboalih dan kampung-kampung di sekitarnya. Penjarahan dan perampokan bajak laut kemudian meluas juga di wilayah pesisir Timur pulau Bangka ke wilayah Koba, Kurau, Pangkol (dekat Pangkalpinang) dan kemudian menyerang daerah pedalaman di Paku, tempat penduduk mengusahakan besi. Perampokan bajak laut terhadap wilayah Paku, menyebabkan penduduk lari ketakutan dan bersembunyi di dalam hutan, penambangan besi di wilayah Paku kemudian terbengkalai dan tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. Bajak laut menyerang pemukiman penduduk asli dan daerah yang penting dan luas di Paku dan mengulangi kebiadaban yang dilakukan di Toboalih. Menurut laporan yang saya terima di pemukiman yang tersisa terdekat dari Pangkalpinang dan Tirak beberapa ratus keluarga telah direnggut (dirampok) di pemukimannya, tapi jumlah terbesar tewas di hutan akibat kelelahan dan kelaparan; mereka melarikan diri ke distrik Utara (dari Pangkalpinang, Tirak (Terak), Depa, Marawang dan Sungailiat) dimana mereka menemukan tempat berlindung dari ancaman. Depati Pakuk tewas dalam serangan itu; penerusnya banyak kini bermukim di Tirak (Horsfield, 1848:317)” (Akhmad Elvian; 2020).

Perampok yang menamakan diri mereka sebagai Illanun atau lanun berasal dari daerah Lanoa, dekat Kepulauan Mindanao, Filipina. Mereka membangun benteng dekat muara Sungai Kepo. Tentunya keberadaan benteng di Muara Sungai Kepo menjadi sangat menarik untuk digali dan ditelusuri lebih dalam dan menjadi khasanah kekayaan bagi Desa Kepoh.

Saat penulis ke Desa Kepoh, Selasa, 20 Februari 2024, penulis menjumpai beberapa warga sedang duduk santai dekat dermaga kecil hendak turun melaut. Ada tujuh orang di situ dan semuanya mengetahui jika di kampung mereka ada benteng.

“Ade Pak benteng e di ilir sungai, benteng Belande,” begitu kata para warga.

Tentunya penyebutan Benteng Belanda yang beredar di tengah-tengah masyarakat perlu diluruskan. Benteng tersebut bukan Benteng Belanda melainkan benteng milik lanun yang mereka dirikan tahun 1792 yang diberi nama Benteng Mulut.[1]

Benteng Kepo yang dimaksud laporan Horsfield di atas tentunya adalah benteng tanah. Mengingat benteng-benteng yang dibangun pada masa abad ke-17 adalah berupa tanah atau gundukan.

Pada masa Kesultanan Johor, Kesultanan Minangkabau dan Kesultanan Banten berkuasa di Pulau Bangka pada sekitar abad 17 Masehi, sudah berkembang beberap batin di wilayah Bangka bagian selatan, seperti Batin Olim (dekat Sungai Olim/ Ulin), beberapa batin di dekat Sungai Kepo seperti Batin Gerunggang, Batin Jiwad atau Batin Balaikambang dan Batin Ketapik (Elvian, 2010).

Selanjutnya sejarah Kampung Kepoh tercatat dalam Buku A.A. Bakar yang berjudul Bahrin, Amir, dan Tikal yang dikutip dari Akhmad Elvian, Kampoeng di Bangka Jilid II, 2016.

Tampaknya kepala-kepala rakyat atau batin-batin yang berada di wilayah distrik Toboali juga turut memberikan bantuan kepada Depati Amir dalam Perang Bangka (tahun 1848-1851 Masehi), sehingga kampung-kampung yang ada di distrik Toboali juga harus terpaksa dipindahkan oleh Belanda ke kiri dan kanan jalan raya yang dibangun dari ibukota distrik Koba ke distrik Toboali untuk memudahkan pengawasan. Bantuan yang diberikan kepada Depati Amir dari distrik Toboali dalam Perang Bangka, seperti bantuan yang diberikan oleh Batin Ketapik dan Batin Gerunggang di Sungai Kepoh (Bakar, 1969).

Kapan berdirinya Kampung Kepoh?

Dari profil Desa Kepoh yang penulis ketahui melalui youtube, Kampung Kepoh dibentuk pertama kali tahun 1832. Jika merunut lebih jauh lagi, justru Kampung Kepoh sudah ada dalam peta M.H. Court (perhatikan pembahasan peta pertama) yang diterbitkan tahun 1821. Peta Inggris tersebut tentunya dibuat sebelum tahun 1821.  Bahkan dalam literatur, disebutkan Kepoh sebagai sebuah Kampung dengan nama Kapo Lama yang mempunyai benteng pada masa Kesultanan Johor abad ke-17. Bajak laut menyerang pulau Bangka dan membangun pangkalan dan benteng di dekat Sungai Kepo, mereka merampok di pulau Bangka antara Tahun 1792-1795 Masehi. Bajak laut melancarkan serangan dari Kapo Lama di pesisir Timur pulau Bangka memutar secara ekstrem ke wilayah pesisir Barat pulau Bangka dan menjarah kawasan Toboalih dan kampung-kampung di sekitarnya. Penjarahan dan perampokan bajak laut kemudian meluas juga di wilayah pesisir Timur pulau Bangka ke wilayah Koba, Kurau, Pangkol (dekat Pangkalpinang) dan kemudian menyerang daerah pedalaman di Paku, tempat penduduk mengusahakan Besi. Perampokan bajak laut terhadap wilayah Paku, menyebabkan penduduk lari ketakutan dan bersembunyi di dalam hutan, penambangan besi di wilayah Paku kemudian terbengkalai dan tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. Bajak laut menyerang pemukiman penduduk asli dan daerah yang penting dan luas di Paku dan mengulangi kebiadaban yang dilakukan di Toboalih. Menurut laporan yang saya terima di pemukiman yang tersisa terdekat dari Pangkalpinang dan Tirak beberapa ratus keluarga telah direnggut (dirampok) di pemukimannya, tapi jumlah terbesar tewas di hutan akibat kelelahan dan kelaparan; mereka melarikan diri ke distrik Utara (dari Pangkalpinang, Tirak (Terak), Depa, Marawang dan Sungailiat) dimana mereka menemukan tempat berlindung dari ancaman. Depati Pakuk tewas dalam serangan itu; penerusnya banyak kini bermukim di Tirak (Horsfield, 1848:317)” (Akhmad Elvian; 2020).

Selanjutnya mengutip tulisan Akhmad Elvian dalam bukunya Kampung Di Bangka jilid 1 tentang Kampung Jeriji. Berikut tulisan Akhmad Elvian yang penulis kutip.

Di Pulau Bangka sekitar abad XVI Masehi berkembang beberapa daerah kekuasaan yang dipimpin oleh patih atau pateh dari pribumi Bangka yaitu di daerah Jeruk, Menduk, Depak dengan patih kembar empat dan di tanah Cempurak serta satu patih lagi yang membuat kota di kuala Menduk.

Pada masa Pulau Bangka dipimpin oleh para patih dan hulubalang, pasukan bajak laut dari Tidung yang merupakan salah satu daerah dari empat muara Sungai Berau yang Bernama Muara Pantai, Muara Guntung, Muara Garura dan Muara Tidung di Kalimantan Timur menyerang dan merampok pulau Bangka.

Bajak laut dari Tidung berhasil menguasai Pulau Bangka dan menyebabkan ketakutan yang luar biasa pada masyarakat Bangka sehingga lari bersembunyi ke dalam hutan. Berkuasanya bajak laut Tidung di Pulau Bangka antara lain karena pengkhiatan dari patih Singa Panjang Jongor yang tinggal dan membuat kota di kuala Menduk.

Dua kesultanan yang cukup berpengaruh di kawasan Pantai timur Sumatera pada abad XVI masehi yaitu Kesultanan Mingkabau dan Kesultanan Johor kemudian menaklukkan dan mengamankan Pulau Bangka serta wilayah perairannya dari perompak laut atau bajak laut dari Tidung. Raja Mingkabau mengutus Hulubalang Alam Harimau Garang dan Sultan Johor mengutus Panglima Syarah untuk memulihkan keamanan Pulau Bangka termasuk memerangi Patih Singa Panjang Jongor.

Satu-satunya pateh yang tidak diserang oleh bajak laut raja Tidoeng adalah pateh Singa Pandjang Djongor yang berkuasa di Kuala Menduk. Rupanya pateh Singa Pandjang Djongor telah melakukan kerjasama dengan bajak laut raja Tidoeng (memberikan informasi dan jalan yang memudahkan bagi para bajak laut menguasai wilayah pulau Bangka). Mengetahui hal ini Panglima Syarah dan Hulubalang Alam Harimau Garang mengerahkan pasukannya untuk menyerang pateh Singa Pandjang Djongor. Mengetahui dirinya akan diserang, pateh Singa Pandjang Djongor mempersiapkan pasukannya. Benteng kotanya di perkuat dan dijaga ketat oleh pasukan, istana panggungnya dijaga oleh “Hulubalang Selikor”, artinya dijaga oleh Dua Puluh Satu orang Hulubalang kenamaan. Pada suatu malam dalam suasana pengepungan yang mencekam oleh pasukan gabungan panglima Syarah dan Hulubalang Harimau Garang beserta pateh-pateh dan hulubalang dari Bangka, salah seorang anak dayang Pateh Singa Pandjang Djongor bernama Dupang (ada enam anak dayang Pateh Singa Pandjang Djongor), turun dari istana panggungnya untuk menutuk padi, guna bekal bagi orangtuanya berperang esok harinya. Akan tetapi malang saat turun dari panggung istananya, Dupang dipatuk ular berbisa “Mati Ekor” dan tewas.

Salah seorang saudara perempuannya yang kemudian menemukan Dupang terbujur kaku, berteriak: “Dupang mati dipatuk Ular Mati Ekor”!, teriakan itu terdengar oleh Raja Pandjang Djongor, bahwa anak dayangnya Dupang, mati dibunuh oleh hulubalang Selikor, dan dalam pemikirannya, bahwa para hulubalangnya telah membelot dan berkhianat membantu musuh yang menyerangnya.  Pateh Singa Pandjang Djongor kemudian melarikan diri dan bersembunyi di rawa-rawa (payak) kuala Menduk dalam waktu yang lama dan hidup dari memakan cacing payak kuala Menduk (dalam cerita rakyat karena memakan cacing payak mulutnya/jungornya memanjang seperti Babi hutan sehingga dikenallah ia dengan sebutan Pateh Pandjang Djongor). Setelah situasi dirasakan aman, Pateh Singa Pandjang Djongor kemudian melarikan diri ke Selatan pulau Bangka. (Elvian;2024).

Hulubalang Alam Harimau Garang kemudian berkuasa dan menetap di Kotawaringin sedangkan Panglima Syarah beserta pengikutnya menetap dan berkuasa di Bangka Kota serta menyebarkan agama Islam di Pulau Bangka.

Dalam Carita Bangka, het Verhaal van Bangka Tekstuitgave Met Introductie en Addenda, E.P. Wieringa, 1990 Vakgroup Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit te Leiden, halaman 65, dinyatakan: “Dengan sebab itu tuan Syarah sama raja Alam Harimau Garang suruh pukul itu kota patih Singa Panjang Jongor dengan separuh angkatan peperangan dari darat serta sudah diberitahu lebih dulu kepada patih Singa Panjang Jongor. Maka itu patih sudah sedia dengan rakyat hulubalang yang akan melawan angkatan serta sudah berjaga malam dan siang di dalam dan di luar kotanya dengan rakyat dengan alat senjatanya dan ada lagi dua puluh satu orang prajurit berjaga keliling tempat rumah itu patih di dalam itu kota juga,”

“Berkuasalah seorang pateh di Kualo Menduk bernama “Pateh Singa Pandjang Djongor”, Istana panggungnya dijaga “Hulubalang Selikor, seorang anak dayangnya, bernama Dupang turun  dari panggung tewas digigit “Oelar Mati Ekor”, raja Pandjang Djongor diserang pasukan Djohor dan meninggal di Djeridji dikenallah makamnya dengan “keramat Dentelor”,  Bangka kemudian di bawah Panglima Sarah dalam daulatnya “sultan Djohor”, berkuasalah di pulau Bangka pateh Raksakoening, Alam Harimau Garang dan “hulubalang Selangor” (Dalam Bankanese History, Elvian, 2018).

Prajurit yang menjaga rumah patih Panjang Jongor berjumlah 21 orang sehingga sering disebut nasyarakat Bangka dengan sebutan prajurit selikor. Karena terdesak patih Singa Panjang Jongor lari dan kemudian mati dalam pengembaraannya di Kampung Jeriji Distrik Toboali. Di kampung ini terdapat satu makam yang disebut orang Bangka dengan sebutan Keramat Panjang Jongor atau Keramat Dentelor (kuburnya patih Singa Panjang Jongor). (Elvian, 2014:95-97).

Dari penjelasan di atas, patih Singa Panjang Jongor terdesak dan kemudian meninggal. Diduga meninggalnya patih Singa Panjang Jongor karena dikejar oleh tuan Syarah dan raja Alam Harimau Garang dan keletihan. Mengingat kuburannya berada di Jeriji yang relative dekat dengan Kampung Kepoh.

Selanjutnya dari hulu sampai ke hilir Sungai Kepoh terdapat beberapa kelompok pemukiman penduduk setingkat batin. Ada beberapa batin yang terkenal pada waktu itu yaitu di daerah pemukiman penduduk di daerah Mmok Balai Kambang, sekarang letaknya di antara Desa Serdang dan Desa Jeriji, di wilayah ini dahulu dikuasai oleh seorang Bernama Batin Jiwad, kemudian daerah kea rah hilinya lagi dari Lubuk Balaikambang disebut Lubuk Serampang. Di daerah ini berkuasa orang sakti Bernama Batin Ketapi. Kemudian selanjutnya ke arah hilir lagi Sungai Kepoh ada sebuah lubuk yang bernama Lubuk Sangkar Ikan dan lubuk bercabang yang disebut Lubuk Gerunggang. Pada Lubuk Gerunggang berkuasa seorang sakti Bernama Batin Gerunggang.

Masyarakat yang tinggal di Desa Jeriji sekarang, pada awal mulanya bermukim di sekitar Sungai Kepoh, di daerah yang terdapat tiga kekuasaan batin di atas, yaitu Batin Gerunggang, Batin Ketapi dan BatinJiwad/ Balaikambang.

Masing-masing batin di atas sangat gemar mengarungi sungai dan lubuk, baik yang ada di Pulau Bangka maupun di Pulau Sumatera. Batin yang paling gemar mengarungi sungai sampai ke daerah Palembang adalah Batin Jiwad. Beliau sudah mengarungi sungai sampai ke daerah Palembang untuk menangkap ikan-ikan di Sungai Musi. Ikan-ikan tersebut tidak hanya untuk dimakan atau dijual melainkan ada juga yang ditebar di lubuk dan di sungai.

Lubuk yang banyak ditebar dengan ikan oleh Batin Jiwad yang berasal dari perairan Sumatera Selatan atau Sungai Musi adalah Lubuk Sangkar Ikan. Tidaklah heran jika di sungai-sungai Bangka Selatan banyak ditemui ikan yang mirip dengan ikan-ikan di perairan Sumatera Selatan. (Elvian, 2014: 98-99)

Masjid

Merujuk pada peta tahun 1936 sudah terlihat adanya sebuah masjid yang berada dekat pertigaan. Dalam peta ini masjid ditandai dengan warna merah segiempat dengan lengkung seperti bulan sabit pada bagian atas. Dalam legenda peta ditulis mesigit yang berarti masjid.

Peta topografi Kampung Kepoh Tahun 1936

Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Saat ini masjid itu sudah dirobohkan dan pindah ke lokasi baru berjarak sekitar 100 meter dari lokasi masjid lama. Masjid baru terlihat sangat megah dengan halaman yang luas. Lokasi masjid lama dibangun taman sebagai tempat bagi warga untuk bersantai. Di taman tersebut ada tugu udang satang dan beberapa kursi dan hiasan lainnya.

Menurut Abok Aldi seperti yang ia sampaikan kepada penulis, seingatnya, masjid lama berdinding papan yang disusun secara vertikal. Lantai semen dengan pondasi yang tinggi.

Tugu udang satang di lokasi masjid lama Kampung Kepoh

Sumber foto: Dokumentasi penulis, 20 Februari 2024

Inlandsche Graven

Dalam peta topografi Tahun 1936 sudah nampak adanya Inlandsche Graven (Tempat Pemakaman Umum Muslim) yang ditandai dengan tanda lengkung seperti bulan sabit berwarna merah. Inlandsche Graven terletak di sebelah barat daya kampung sebelum pemukiman penduduk (sebelum masuk ke perkampungan).

Saat kunjungan ke lapangan pada Selasa, 20 Februari 2024, di TPU Kampung Kepoh ada beberapa warga Perempuan sedang membersihkan kuburan. Setelah penulis tanyakan ternyata kegiatan membersihkan kuburan dilakukan dalam rangka menyambut sedekah Ruwah Kubur.

Di TPU Kampung Kepoh terlihat beberapa makam dengan nisan terbuat dari batu granit. Nisan jenis Demak Tralaya berbentuk gada segi delapan. Penulis sempat menanyakan kepada warga yang sedang membersihkan pemakaman, mereka tidak mengetahui siapa pemilik makam-makam dengan nisa jenis Demak Tralaya itu.

Beberapa makam dengan nisan tipe Demak Tralaya di TPU Kampung Kepoh

Sumber: Dokumentasi penulis

Rabeng

Desa Kepoh menyimpan kekayaan hayati yang perlu digali dan sangat potensial apabila dikembangkan. Tidak menutup kemungkinan, Desa Kepoh akan menajdi desa ekowisata. Ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. (Black, 1999).

Sebagai kampung yang terletak non-pesisir dan sungai yang panjangnya mencapai 5 Km kampung ini mempunyai hutan rabeng yang sangat luas. Rabeng adalah istilah dalam bahasa Melayu Bangka yang berarti kawasan hutan heterogen yang berada di pesisir pantai. Jenis tanaman yang heterogen dalam satu kawasan pesisir seperti bakau, perepat, pedada, nyireh, nipah, dan sebagainya.

Tentunya kekayaan hayati itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Desa Kepoh. Udang galah dan ikan-ikan sungai serta laut menjadi magnet bagi para pemancing.

 

Daftar Pustaka

 Bahan Bacaan

Bakar, A.A, 1995, Bahrin, Amir Tikal, Pemda Tingkat II Bangka, Cet 2.

Elvian, Akhmad, 2014. Kampeong Di Bangka Jilid I, Dinas Kebudayaan, Pariwisata,

Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang.

Elvian, Akhmad, 2016. Kampeong Di Bangka Jilid II, Dinas Kebudayaan, Pariwisata,

Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang.

Elvian, Akhmad, 2021, Makalah Distrik Koba (bagian 3).

ANRI, 2019. Citra Kabupaten Bangka Selatan Dalam Arsip. Jakarta.

Setiyarini, Triyana dan yustina Chrismardani, Konsep Pengembangan Ekowisata Garam

            Melalui Pendekatan Triple Helix Di Pulau Madura, Universitas Trunojoyo Madura.

Internet

Chairullah, 2023. https://bangka.tribunnews.com/2023/04/13/kekayaan-hayati-desa-kepoh-      potensi-pengembangan-agrowisata-bangka-selatan  diakses pada 18 Februari 2024 pukul 23.00 WIB.

https://jateng.tribunnews.com/2022/06/23/mitos-kepoh-sebagai-rumah-genderuwo-ternyata-tumbuhan-ini-kaya-manfaat-untuk-kesehatan?page=2

https://babelpos.disway.id/read/660879/pateh-singa-pandjang-djongor diakses pada Jumat, 23 Februari 2024 pukul 09.20 WIB.

Narasumber:

  1. Abok Yamin
  2. Abok Aldi
  3. Bapak Rusmin Sopyan
  4. Bapak Drs. Akhmad Elvian

Peta-peta

  • A Map of The Island of Banca by M.H. Court London Fublished, 1 Aug. 1821, by Black Kingsbury Papury & Allen.
  • Kaart van het Eiland Banka zamengesteld in 1845 en 1846 door H.M. Lange.
  • Kaart van het Eiland Banka (cartographic material) volgens de topograhische opneming  in dejaaren 1852 tot 1855 by L. Ullman.
  • Kaart van het eiland Bangka D D 22,3
  • Kaart van het eiland Bangka D D 22,5 Shet 3
  • Opgenomen door den Topografischen dienst in 1932 -1933 Blad 36/XXVII i D 30,88. Reproductiebedrijf Toppgrafische dienst, Batavia 1936
  • Soakbatoe 1946
  • Muara Kepoh (B 25,1) 1973.
  • Geologische kaart van Bangka Naar de opnemingen der Mijningenieurs en eigen onderzoekingen samengesteld door DR. R.D.M. Verbeek Schaal 1:300.000
  • Schets-taalkaart van de Residentie Bangka 1889.

[1] Wawancara dengan Drs. Akhmad Elvian via telepon pada Rabu, 21 Februari 2024 pukul 12.30. Drs. Akhmad Elvian merupakan sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung yang mendapat penghargaan Anugrah Kebudayaan Indonesia (AKI) dari Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI tahun 2018. Selain itu ia juga mendapat gelar Darjah Pangeran Mahkota Palembang (DPMP) dari Kesultanan Palembang Darussalam Tahun 2018.

Exit mobile version