Penulis : Prof. Saidun Derani (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tulisan Ady Amar pemerhati Sosial Keagamaan di Media On Line Republika, 2 Agustus 2018 “Labelling Islam” Islam yang dilabelkan dengan aspek geografi dan semacamnya akan menimbulkan persoalan ontologis. Islam disempitkan maknanya yang tadinya Mondial menjadi peri-peri dan parsial. Kayak Islam radikal, Islam Arab, Islam Nusantara, dan Islam Garis Keras. Labelling semacam justru membuat Islam tidak nyaman dilihat dari aspek ketauhidan.
Dalam konteks inilah penulis pikir perlu mendapat perhatian akademisi dan para Ustad tulisan tersebut. Hal ini terkait masalah tanggung jawab dan tupoksi mereka yang paling terdepan. Mengapa perlu mendapat perhatian mereka ini sekurang-kurang ada tiga alasan.
Pertama, sebagai akademisi (ulama) dan Ustad, mereka ini merupakan pemikir dan menyuluh masyarakat. Dengan kata lain, rusak akhlak ulama maka rusak akhlak umara dan rusak akhlak rakyat karena rusak akhlak umara. Demikian penegasan al Hujjatul Islam Abu Hamid Imam al-Ghazali (w. 1111) dalam kitanya “Ihya al-Ulumuddin”
Kedua, manusia yang masuk dalam katagori ulama dan Ustad ini sangat berat siksanya di Akhirat kalau sampai menyembunyikan kebenaran karena satu dan lain hal atau salah menyampaikan substansi ajaran pokok Islam kepada ummat. Hal ini terkait masalah tanggung jawab tupoksi mereka yang paling terdepan. Dan ini sebanding dengan balasan Allah. Ketika masuk ke dalam masjid ingin menggoda orang lagi solat, Iblis tidak jadi karena dilihatnya ada orang yang sedang tidur. Ketika ditanya, kenapa takut sama orang yang tidur? Jawabnya yang sedang tidur itu orang yang berilmu pengetahuan. Jadi sangat tinggi posisi ulama di sisi Allah Swt.
Ketiga, Ulama dan Ustad ini menjaga dan melindungi ummatnya dari anasir-anasir yang menyesatkan kepada kesyirikan baik syirik khafi maupun syirik berat. Sebab itulah penjajah kolonial Belanda dan Jepang berusaha sekuat tenaga bagaimana menguasai Ulama dan Islam. Ketika benteng ini berhasil dikuasai maka ummat akan mengikuti Ulama dan Ustad yang Su’ (cinta dunia dan takut mati)
Islam itu adalah rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil alamin). Islam tidak dibatasi aspek geografi, bangsa dan etnis tertentu. Islam tidak dapat dimonopoli kelompok tertentu. Betul Islam lahir di Makkah akan tetapi tidak ada penyebutan dan tidak dibenarkan Nabi penisbahan
Islam Arab. Klaim atas Islam pada kelompok tertentu gugur dengan sendirinya.
Islam adalah agama yang diturunkan Allah tidak untuk kelompok tertentu dan tidak boleh dibelokkan sebagai penanda entitas kelompok tertentu. Islam itu nama yang diberikan Allah guna menandai sebuah agama,. Sebab itu tidak pas dikoreksi dengan pengurangan dan atau penambahan pada kata “Islam”, baik pada namanya maupun pada ajarannya.
Adakah kesempurnaan melebihi kesempurnaan pemberian Allah. Jika ada dan merasa mampu ada kesan mengalahkan kesempurnaan Allah.
Karena itu konsep Pencipta (Al-Khaliq) yang dimiliki-Nya tereduksi makhluk yang terkesan melebihi-Nya. Ini bentuk kesyirikan yang dibangun secara sistemik. Suka atau tidak, inilah bentuk perlawanan kepada Allah secara terang benderang. Atheis. Mengapa manusia anti Tuhan, insyaAllah akan ditulis sendiri pada kesempatan yang lain.
Islam sebagai agama yang diwahyukan kepada Muhammad Saw sejak awal tidak pernah diembel-embeli dengan tambahan nama lain. Tidak pernah ditemukan bahwa para Sahabat Nabi yang telah membuka pintu gerbang bangsa Timur sampai Barat dan menegakkan peradaban Islam di sana lalu karena kebanggaannya mengklaim sebagai Islam Arab.
Mereka tetap menyebut Islam tanpa dilabelkan. Mereka paham betul kalau Islam dilabelkan kuat diduga tidak akan mempersatukan penduduk negeri lain dalam keluarga besar Islam. Mereka mengajarkan Islam tidak dalam ukuran dan batas geografis dan karenanya menjadi eksklusif. Muaranya akan sampai pada sifat digdaya, kesombongan dan merasa paling baik dibanding Islam di luar geografisnya. Tidak mustahil jika itu dilakukan maka Islam akan menjadi sekte-sekte sempit dan tidak universal.
Penisbatan Islam pada geografi tertentu, tidak lain dan tidak bukan mengacu pada adat yang berkembang, yang ingin “dinikahkan” dengan Islam. Niatnya agar Islam menjadi lebih baik, lebih santun, ramah, bisa menghormati perbedaan antar pemeluk agama lainnya. Apa iya seperti itu?
Apakah Islam agama yang diturunkan Allah tidak sempurna sehingga adat istiadat perlu diserap dijadikan bagian keberagamaan? Bukankah Islam itu paripurna dan keparipurnaannya dijamin Penciptanya: “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (Q.S. al-Ma’idah: 3). Dalam konteks ini keramahan, kesantunan, penghormatan, tolerance, sikap tengah, sikap
lembut, tapi Islam tegas menerima perbedaan agama/keyakinan, dan lainnya. Punya prinsip hidup yang jelas.
Dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia orang pertama yang diminta Perintah Kolonial Belanda yang beragama resmi Protesthan untuk menyelidikan kekuatan Islam di Indonesia adalah Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936). Dari sinilah lahir konsepsi Snouck tentang “Asosiasi Budaya” yang sangat terkenal itu. Lalu menyusul Dr. George Alexander Wilken (1847-1891), seorang Pamongpraja dan Etnolog Belanda, dan Dr. Frederik Albert Liefrinck (1853-1927), seorang Pamongpraja Belanda yang menggeluti hukum adat. Dari penggalian mereka inilah kemudian dikumpulkan Dr. Van Vollenhoven (1874-1933) dikodifikasikan bernama “Hukum Adat” (Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law).
Van Vollenhoven secara sengaja mengabaikan dimensi keislaman dari hukum adat itu, seolah hukum adat itu lahir dari ruang hampa. Inilah kritik paling fundamental pada skenario Van Vollenhoven itu. INi juga harap maklum karena memang untuk kepentingan penjajahan.
Pengakuan Van Vollenhoven terhadap eksistensi Hukum Adat itu juga mengabaikan pengaruh mendalam Islam terhadap prinsip-prinsip atau pondasi Hukum Adat. Di Ranah Minang “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamakai.”
Pepatah Ranah Minang itu sudah hidup jauh sebelum kehadiran kolonialisme Belanda di Sumatera Barat. Sudah ada sejak abad ke-14. Sama juga dengan di Aceh, Ambon, Banjar, Bugis, Sasak dan ranah lainnya. Bisa dikatakan pondasi dari adat yang tersebar di seluruh Nusantara bersendi pada ajaran Islam.
Betula da sebagian akademisi dari sejumlah kampus belakangan justru kurang kritis pada strategi Snouck dan skenario Van Vollenhoven ketika berhadapan dengan isu radikalisme dan terorisme. Terjebak dalam sikap rasis melalui pembedaan terhadap Islam Arab yang seolah keras serta stigma negatif lainnya tanpa melihat latar belakang kenapa “keras” itu muncul di semenanjung di Jazirah Arab.
Pembedaan itu akan menemui masalah dalam hubungan antara etnis yang ada. Sebab etnis Minang, Jawab, Melayu, Aceh, Banjar, Bugis, Sasak dan lainnya, justru bisa jadi melihatnya sekadar rekayasa dominatif budaya Jawa atas ekspresi keislaman di Nusantara.
Maka penolakan MUI Sumatera Barat tidaklah aneh dan semestinya itu dimaknai bahwa pelabelan Islam atas nama tertentu justru akan menciptakan penafsiran yang berbeda. Dan jika
pemaksaan diteruskan maka tidak mustahil akan terjadi setidaknya polarisasi pemikiran dan lepasnya kohesi sosial yang berkepanjangan, khususnya di kalangan umat Islam. Dan itu berbahaya dalam konteks kesatuan dan persatuan NKRI.
UM-Surabaya, 6 Januari 2023. (DM)