Oleh: Meilanto (Penulis, Pegiat Sejarah dan Budaya Bangka Tengah)
Vliegterrein
Dalam bahasa Belanda, Vliegterrein berarti lapangan terbang. Lapangan terbang tersebut berada di sisi kanan jalan menuju Koba berada di Km. 55 dan 56. Dalam peta Goentoeng (D D 30,35 tahun 1933) dan Koba (D D 30,36 tahun 1934) terlihat jelas Vliegterrein. Di dalam komplek Vliegterrein tersebut terdapat bangunan yang terbuat dari batu.
Menurut penjaga sekolah SMP Negeri 1 Koba yang sempat diceritakan oleh kakeknya, di lapangan bola sekolah pernah melihat pesawat kecil diparkir di lapangan terbang itu. Ini menandakan bahwa lapangan terbang itu pernah beroperasi untuk kebutuhan perang pada zaman Belanda sekitar tahun 1920-an sampai pada masa Jepang tahun 1943 yang membangun Lapangan terbang baru dekat wilayah Kota Pangkalpinang (Bandara Depati Amir sekarang).
Lapangan terbang itu kini masih menyisakan dua buah batu yang diduga sebagai tiang pancang. Batu pertama teronggok tidak jauh dari pos satpam SMP Neegri 1 Koba. Sebuah batu besar bekas cor sebuah pondasi. Beton cor tersebut menggunakan campuran batu kerikil. Berukuran tinggi sekitar satu meter dengan lebar sekitar 50 cm x 50 cm. Selanjutnya dibagian atas terdapat besi H beam (baca H bim) yang telah terpotong dan terdapat plaster berukuran sekitar 30 cm.
Berjarak sekitar 30 meter juga terdapat seonggok batu yang sama dengan besi H beam yang sudah terpotong. Berukuran tinggi sekitar 1 meter dan lebar 1 meter x 1 meter. Besar kemungkinan, beton cor tersebut telah digali dan berpindah tempat mengingat telah dibangunnya lahan tersebut menjadi SMP Negeri 1 Koba dan lokasi aslinya bukan ditempat sekarang. Secara administrasi, bekas lapangan terbang berada di Kelurahan Arungdalam, Koba.
Sinar Laut
Sinar Laut merujuk pada nama pemukiman penduduk yaitu kampung Sinar Laut dan nama jalan yaitu Jalan Sinar Laut. Kampung Sinar Laut berada tidak jauh dari bekas perkantoran PT. Kobatin. Kampung ini berada di pesisir timur Pulau Bangka.
Untuk tiba di Kampung Sinar Laut, sebelum eks. perkantoran PT. Kobatin belok kiri (dari tugu ikan) jalanan menurun.
Dari kejauhan sudah terlihat laut dan pancaran sinar matahari. Terutama pada waktu pagi dan petang. Dari keadaan alam ini, pancaran sinar matahari yang dipantulkan dari air laut, maka kampung ini dikenal dengan nama Sinar Laut. Selanjutnya, jalan yang menuju ke kampung ini diberi nama Jalan Sinar Laut dengan panjang jalan 2,36 Km dengan nomor ruas jalan 4.04.
Di Kampung Sinar Laut terdapat komplek pemakaman tokoh masyarakat Koba yaitu Demang Bahmim. Bahmim adalah nama seorang Demang di Koba yang diangkat sebagai Demang pada 10 Maret 1877 – 19 Januari 1883. Demang Bahmim (dalam katalog Belanda disebut Demang Bahamin) juga dikenal dengan nama Demang Yah karena kebiasaannya menyebut Yah jika berbicara. Makam Demang Bahmim beserta keluarga besarnya terdapat di Makam Keluarga di Kampung Sinar Laut Koba.
Komplek makam ini terletak di atas bukit yang tidak terlalu tinggi. Sementara itu, M. Ilyas yang juga dimakamkan dalam satu komplek dengan Demang Bahmim, adalah seorang pedagang dan kemudian melahirkan keturunan Abdul Rahman. Abdul Rahman adalah ayah dari Bustami Rahman (mantan rektor Universitas Bangka Belitung), Rusli Rahman (mantan anggota DPD RI) dan 8 bersaudara lainnya.
Selama hidupnya di Koba, Abdul Rahman ialah tokoh intelektual yang dikenal tegas dan aktif mengikuti berbagai diskusi yang mulai banyak digelar di pulau Bangka pada waktu prakemerdekaan. Selain itu ia juga sebagai seorang guru di Koba. Ketika Jepang masuk ke Koba, situasi sosial langsung mengalami perubahan secara drastis, termasuk membuat Abdul Rahman dan keluarganya menyingkir ke Belinyu. Di sana ia kembali menekuni profesinya yaitu sebagai Kepala Pelabuhan. Ia meninggal dunia tahun 1968 dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di TPU Jalan Mentok Pangkalpinang.
Oleh karena itu, nama Abdul Rahman layak dijadikan nama gedung di komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah atau nama jalan mengingat jasa beliau sebagai seorang guru dan juga kepala pelabuhan.
Jalan Syafrie Rahman
Syafrie Rahman adalah anak dari Abdul Rahman. Ia pejuang yang gigih melawan Belanda pada masa awal revolusi fisik. Ayah Syafrie Rahman (Abdul Rahman) dulunya bekerja di pelabuhan Berok Koba yang dulunya disebut Syahbandar.
Syafrie Rahman berpangkat mayor lahir di Belinyu tahun 1927. Ia juga terlibat langsung dalam berbagai gerakan perlawanan dengan Agresi Militer II Belanda. Ia kemudian ditugaskan secara berpindah-pindah, misalnya ke Surabaya, menjadi pasukan penjaga di Istana, pernah menjadi Dandim di Bangka dan kemudian menjabat sebagai Bupati Bangka mulai tanggal 17 Juli 1963 sampai 30 Juli 1965.
Mayor Syafrie Rahman meninggal secara tragis, yaitu sebagai korban sabotase anggota PKI. Kapal yang ia tumpangi, dibakar dan ditenggelamkan dalam sebuah pelayaran antara Mentok dan Palembang pada tahun 1965. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pawitralaya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Selanjutnya nama Syafrie Rahman diabadikan menjadi nama jalan di Kota Koba. Jalan ini mempunyai panjang 0,43 Km dengan nomor ruas jalan 4.10. Jalan Syafrie Rahman dimulai dari rumah Belanda dekat bundaran Tugu Ikan sampai bertemu dengan jalan Kranggan dan jalan Sinar Bulan (dekat praktek dokter Bahrun).
Kampung Tangsi Lama
Dalam peta topografi Koba tahun 1934, Kampung Tangsi Lama tidak ditulis. Secara geografis kampung ini berada diklaster Cina (Cin Kamp). Dinamakan Kampung Tangsi Lama karena di kampung ini terdapat tangsi (barak) polisi pada masa Belanda (lama/ zaman dulu). Kini bangunan tangsi masih menyisakan satu bangunan yang kini ditempati warga. Bangunan itu berdinding papan horizontal bergaya melayu perpaduan eropa. Di belakang rumah terdapat sumur besar lengkap dengan kamar mandinya. Sumur tersebut sangat besar dan kini masih digunakan. Dalam peta topografi tahun 1934, terlihat ada beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tangsi (barak).
Di Kampung Tangsi Lama terdapat terminal Koba lama, dan dekat TPU Koba, dan bekas bangunan SMP Pading Koba. (Habis)