Sastra  

KOLONI DI TEPI RAWA

Abu Khalid

Foto Ilustrasi

Bekaespedia.com_Sebuah rawa luas dikelilingi pepohonan tinggi, air keruh penuh lumut. Ditengahnya, batu besar berlumut menjadi panggung alami. Puluhan kodok berjejal diatasnya, mata mereka tajam menatap ke atas, sementara dibawah, kodok-kodok kecil berjuang naik dengan menginjak tubuh sesama. Di kejauhan, seekor kodok tua duduk di daun teratai, memandang dengan sorot muram.

Pesta di Atas Batu

Raja, kodok berjenggot kelabu, berteriak lantang dari puncak batu: “Kita adalah yang terkuat! Siapapun yang menghalangi kemajuan koloni harus disingkirkan!” Sorak-sorai menggema. Kaki-kaki belakang mereka menendang lumpur ke wajah kodok dibawah yang mencoba menaiki batu. Di sudut rawa, Kero, kodok muda bermata cerah, memandang dengan gelisah. Ia baru saja menyelamatkan seekor kecebong terjepit akar, tapi tak ada yang peduli. “Mengapa kita tak lagi mendengar tangisan mereka yang terinjak?” gumamnya.

Malam itu, Kero mendatangi Kodjok, kodok tua yang hidup di daun teratai terpencil. “Dulu, koloni ini menjunjung kebersamaan,” bisik Kodjok sambil menunjukkan goresan gambar kuno dibawah lumut : kodok-kodok saling menyokong membangun tanggul. “Tapi sejak Raja datang, kita lupa : air rawa bisa kering jika terus dikotaki ego.”

Keringnya Empati

Keesokan hari, Kero menemukan anak-anak kecebong mati di kubangan menyusut. Air rawa tercemar limbah lumut racun yang diproduksi koloni untuk mempercepat pertumbuhan ganggang makanan mereka. Saat ia protes di hadapan Raja, ejekan meledak : “Lembek! Kekuatan adalah hukum alam!” Kodok-kodok diatas batu tertawa, kaki-kaki mereka menginjak kepala saingan yang mencoba merebut posisi.

Tangisan yang Tak Terdengar

Kero memutuskan turun ke dasar rawa. Disana, ia menemukan kodok-kodok cacat terbuang, mengais sisa makanan. Salah satunya, Lana, kehilangan kaki karena diinjak Raja. “Mereka di atas lupa : tanpa kami yang membersihkan dasar rawa, seluruh koloni akan keracunan,” gerutu Lana. Kero tersentak : sistem koloni rapuh, tapi semua sibuk berebut puncak.

Sementara itu, Raja mengumumkan “Proyek Puncak” : menumpuk batu lebih tinggi untuk mendekati matahari. Kodok-kodok dipaksa kerja, yang lemah jatuh dan menjadi pijakan.

Akar yang Melawan

Kero dan kodok-kodok bawah tanah membentuk aliansi diam-diam. Mereka memperbaiki saluran air tua yang tersumbat ego. “Kita butuh air bersih, bukan puncak,” kata Kero. Tapi upaya mereka dianggap pengkhianatan. Raja mengirim pasukan menghancurkan saluran, tapi Kero berhasil menyelamatkan satu pipa dengan bantuan Kodjok.

Runtuhnya Menara

Musim kemarau tiba. Rawa mengering, batu puncak runtuh. Raja terjepit di reruntuhan, berteriak minta tolong. Kero dan kawanan berlari ke saluran air rahasia. Dengan susah payah, mereka memutar roda kayu tua. Air bersih dari mata air terjauh mengalir, menyapu racun, menghidupkan kembali rawa.

Tapi koloni terpecah : separuh ingin kembali ke sistem lama, separuh memilih ikut Kero. Di atas daun teratai, Kodjok berbisik : “Zona nyaman itu seperti lumut—menyuburkan tapi juga membelenggu.”

Di Batas Dua Dunia

Kero berdiri di tepi rawa yang mulai hijau. Di sebelah kiri, sisa-sisa koloni Raja masih berupaya menumpuk batu. Di kanan, koloni baru membangun tanggul bersama. “Empati bukan kelemahan,” katanya pada kecebong kecil yang mulai berenang bebas. Di kejauhan, Kodjok tersenyum : pertarungan antara zona nyaman dan kemanusiaan tak pernah usai, tapi selama masih ada yang mendengar jerit dari bawah, harapan tetap hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *