Kurau Masa Pendudukan Jepang

SOENGI KOROUW, S. CARRAOW, Koorouw Riv, Koerouw, Koeroam, Koerau dan Kurau . (Part : 3)

Eks Bioskop Kurau. Sumber: Layar tangkap google map

Oleh : Meilanto, S.Pd (Penulis, Pegiat Sejarah dan Budaya Bangka Tengah)

Kurau Pada Masa Pendudukan Jepang

Penjajahan Jepang di Indonesia berlangsung tidak lebih dari 3 tahun. Melemahnya kekuasaan Belanda terhadap Indonesia terjadi pada awal dimulainya Perang Dunia II, kemudian pada Mei 1940 Belanda berhasil diduduki oleh Jerman (Nazi). Hal inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda berada dalam posisi siaga. Belanda kemudian bernegosiasi dengan Jepang untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat, namun negosiasi gagal karena Jepang berniat menguasai Asia Tenggara.

Pasukan Jepang akhirnya dapat mengalahkan pasukan Belanda pada maret 1942. Penjajahan Jepang terhadap Republik Indonesia dimulai pada tahun 1942. Tahun 1942 tanggal 28 Februari, Jepang melakukan serangan udara terhadap Belitung. Ini menimbulkan kepanikan luar biasa, sekolah ditutup, orang-orang kota bersembunyi ke hutan dan kampung-kampung. Orang Eropa dievakusi ke Jawa, dua buah kapal yang membawa mereka ditenggelamkan. 10 April 1942 Jepang masuk ke Belitung, pegawai NV GMB di internir. Demang KA. Moh.Yusup ditunjuk Jepang sebagai pengganti asistent Residen untuk waktu tiga bulan dan bertanggung jawab kepada komandan militer.

Tahun 1943 bulan Januari, sekolah-sekolah dibuka lagi, upaya mendatangkan bahan makanan untuk rakyat. Perbaikan besar-besaran terjadi termasuk pembukaan tambang-tambang timah. NV GMB dirubah menjadi MKK yaitu “Mitsubishi Kogyoka Kaisha”. Tambang terowongan di Gunung Selumar dibuka lagi khusus untuk menggali  bijih besi dan tembaga.

Tahun 1943, peladangan padi dibangun Jepang di Perpat selama 6 bulan dan menghasilkan 800 ton padi ladang. Tahun 1943, Jepang membuka pelabuhan bebas, Belitung berkembang pesat dan ramai, dibuka sekolah pertukangan perahu di Manggar. Dan perahu-perahu 50 ton ke atas dibangun.

Di zaman Jepang, Karesidenan Bangka Belitung di perintah oleh pemerintahan Militer Jepang yang disebut Bangka Beliton Ginseibu.

Bagaimana dengan Kurau?
Letak Kurau yang berada dijalur jalan nasional Pangkalpinang Koba dengan sungai yang mengalir dari hulu yang cukup panjang menjadikan kurau sebagai tempat yang strategis. Ditopang dengan sungai yang bermuara ke laut sehingga Kurau dijadikan sebagai tempat basis bagi tentara Jepang untuk menghambat dan mengawasi kedatangan tentara Belanda dan sekutunya masuk ke Bangka dari pesisir timur maka dibangunlah pos jaga (pillbox) di muara sungai Kurau. Pos-pos jaga tersebut tersebar dibeberapa titik. Sampai saat ini pos-pos jaga tersebut masih bisa dijumpai dengan kondisi yang memprihatinkan.

Menurut bapak Alwi (wawancara pada 25 Mei 2018/ masyarakat Kurau memanggilnya dengan sebutan Man Bujang), rumah-rumah Jepang tersebar dibeberapa titik terutama disepanjang pinggir laut Kurau yang berupa bakau-bakau. Lokasi rumah Jepang ini agak sulit untuk ditemui terutama apabila saat air sungai pasang karena berada di hutan bakau belum lagi nyamuk-nyamuk dan sampah berserakan menambah suramnya kondisi rumah Jepang satu ini serta dua buah terletak di Kurau Barat (di gang Nelayan dan gang Buntu).

Dari ketiga pos jaga (pillbox) Jepang ini memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Pos jaga (pillbox) bagian atas berbentuk seperti kubah dengan tinggi sekitar tiga meter. Bagian dinding berbentuk pentagon. Ketebalan dinding 30 cm dengan lebar pintu masuk 80 cm x 120 cm. Pada sisi kiri dan kanan terdapat lubang persegi panjang dengan panjang 30 cm dan lebar 20 cm yang berfungsi untuk mengawasi keadaan sekitar atau untuk menembak. Pada bagian tengah terdapat lubang berbentuk lingkaran dengan diameter 10 cm. Bagian dalam atas seperti eternit dengan permukaan datar dan terdapat lubang berbentuk lingkaran sampai tembus ke bagian atas. Ruangan dalam dengan luas kurang lebih 12 m2 dan tinggi hanya 1,5 meter sehingga tidak bisa leluasa berdiri. Rumah Jepang terdiri atas beberapa sisi dengan bahan bangunan campuran batu granit.

Dari ketiga pos jaga (pillbox) yang berhasil ditemui, kondisinya sangat memprihatinkan. Pos jaga (pillbox) yang terletak di Kurau tidak jauh dari TPI, bagian dalam dipenuhi dengan sampah dan pecahan beling. Pada bagian dinding terdapat akar-akar pohon yang menempel hampir menutupi dinding.
Dua buah yang lainnya juga tidak kalah memprihatinkan. Berada didekat rumah warga persis dekat kamar mandi dan pada bagian dalam dipenuhi pecahan beling dan kondisinya juga sudah miring. “Kalau dulu diatas rumah Jepang ini sempat dipasang antena parabola” menurut Mang Bujang sambil mengarahkan tangannya ke pillbox saat di gang Nelayan Kurau Barat.

Pilbox (Pos Jaga) Peninggalan Jepang

Menurut Mang Alwi, di hutan bakau (baik wilayah Kurau Barat maupun Kurau) banyak pos jaga (pillbox) yang berfungsi untuk pos penjagaan. Ia sering menjumpai pos jaga tersebut saat sedang ke hutan bakau.
Pembuatan pos jaga (pillbox) dengan tenaga warga Kurau yang dipaksa (kerja romusha). Laki-laki bekerja dalam pengawasan tentara Jepang. Para pekerja digaji hanya dengan beras sekaleng susu perhari.
Menurut Mang Alwi, empat orang penduduk Kurau pernah menjadi tentara bentukan Jepang atau Heiho yaitu 1). Bahri, 2). Ardan, 3). Kacong (abok Kacong), 4). Sulaiman Salam. Diduga empat orang anggota Heiho tersebut pernah berjaga-jaga di pos jaga (pillbox).

Saksi bisu pembersihan bekas-bekas TKR juga menyisakan beberapa kuburan yang terletak didekat pemukiman warga desa Kurau. Dari tinjauan ke lokasi, ditemui beberapa kuburan. Kuburan pertama yaitu terletak di belakang rumah ibu Ardati. Untuk mendatangi kuburan ini harus melewati jalan sempit antara dua rumah. Kuburan dilokasi ini berjumlah lima buah.

Menurut ibu Ardati (wawancara pada 25 Mei 2018 pukul 14.30) yang belakang rumahnya persis dekat lima buah kuburan, selesai hujan sering mendengar suara orang menjerit serta bercakap-cakap dari arah kuburan. Dari kelima kuburan tersebut terdapat satu kuburan perempuan (dengan nisan yang berbeda yang umumnya nisan perempuan). Salah satu adik ibu Ardati yang agak bandel sempat mencabut nisan salah satu kubur dan dibawa ke tempat tidur. Dalam mimpinya, adik dari ibu Ardati didatangi oleh kakek dengan berpakaian serba putih minta batu nisan dikembalikan.

Kelima kuburan ini sejak tahun 2005 telah dipugar dengan memberi semen pada pinggir atau jirat kubur (tertulis 2005 pada jirat semen tersebut). Dari kelima kubur tersebut, hanya tiga kubur yang masih memiliki batu nisan yaitu dua kubur dengan nisan terbuat dari semen dengan tinggi sekitar 20 cm dan satu kubur dengan batu nisan menggunakan batu merah. Sedangkan dua kubur lainnya tidak memiliki nisan sama sekali.”Dulu semua kubur ini memiliki batu nisan, tapi yang dua kubur ini entah kemana nisannya!”, ujar ibu Ardati sambil menunjuk ke kuburan.
“Dulu sempat orang dari salah satu kampung datang ke kuburan ini memasang kain putih dan menaburkan uang logam diatas kuburan. Tetapi atas inisiatif warga sekitar, kain putih tersebut dilepas kembali supaya tidak menjerumuskan warga ke hal-hal yang berbau syirik.

Kuburan selanjutnya yaitu berada disebelah kanan rumah Man Bujang di jalan Lama. Kedua kuburan ini sudah dipasang keramik berwarna putih dengan nisan dari kayu dengan tinggi sekitar 50 cm dan 30 cm. Dari ukuran kuburan ini tampak sangat kecil. Menurut Man Bujang, beberapa tahun yang lalu, ada orang yang datang untuk mengetahui kondisi kuburan. Menurut orang tersebut, didalam kuburan tersebut bukanlah jenazah tapi berupa benda-benda pusaka peninggalan perang. Kedua kuburan ini berjarak kurang lebih enam meter. Tidak jauh dari kedua kuburan ini, di seberang jalan juga terdapat sebuah kuburan dengan ukuran juga hampir sama dengan dua kuburan sebelumnya dengan bagian pinggir disemen dan batu nisan menggunakan batu merah. Rumah man Bujang merupakan ujung dari kampung Kurau saat itu dan tidak jauh dari ujung kampung terdapat rumah tentara Jepang.

Zaman pendudukan Jepang, warga Kurau mengalami kerja romusha. Laki-laki dewasa diminta menggali bandar besar dan dalam. Tujuan penggalian bandar tersebut sebagai tempat perlindungan bagi tentara Jepang jika suatu waktu Belanda kembali menyerang. Setelah keadaan aman, bandar besar digunakan warga untuk keperluan mandi. Kini bandar tersebut sudah ditutupi dan sudah berdiri rumah warga. Lokasi bandar tidak jauh dari lapangan bola Desa Kurau sekarang.(DM)

Exit mobile version