Mengungkap Tabir Sejarah Desa Kepoh Toboali dalam Lensa Waktu Bagian 2

Penduduk Desa Kepoh dan Akhir Kejayaan Kota Transit

Oleh : Marwan Dinata S.Pd

PENDUDUK DESA KEPOH
Sebagian orang hanya menyangka kepo Desa Kepo hanyalah masyarakat asli saja.
Perlu diketahui ada beberapa penduduk yang ada 3 di di desa kepoh Yaitu
1. Penduduk China Tionghua (Thongyin)
2. Penduduk Suku laut ( Sekak)
3. Penduduk Bangka Asli (Phangin)

Penduduk asli di Desa Kepoh, Bangka, berasal dari sekitar Toboali dan wilayah sekitarnya. Meskipun mayoritas penduduk adalah orang asli Bangka, perlu dicatat bahwa pada masa lalu terdapat juga keberadaan penduduk Tionghoa (China) di Desa Kepoh. Meskipun pada saat ini mungkin tidak lagi ada penduduk Tionghoa di sana, catatan sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, beberapa kelompok ini, yaitu penduduk asli dan Tionghoa Serta adanya Suku Laut( sekak ), hidup bersama di Desa Kepoh.

Orang Desa Kepoh mengatakan orang Thongyin atau disebut sebagai suku Hakka. dan Hokian. Orang thongyin ini sendiri sudah ada di desa kepo sudah lama semenjak Abad 18 sampai abad ke 19 pertengahan..

A, Kedatangan penduduk Singkek China ke Kepo
Suku Hakka atau biasa disebut suku Khek merupakan suku china yang datang ke kepo dikenal dengan istilah singkek . Kenapa dibilang singkek singkek adalah pendatang baru dalam bahasa china. Mereka bukan pelarian atau Buronan dari china mereka secara tidak sengaja datang ke Kepo dengan suatu misi yang dibawa oleh China yaitu Imigrasi besar besaran. Pada waktu terjadi pergolakan besar besaran di China pada Dinasty Qing abad 18 yang waktu itu penduduknya melonjak dengan pesat. Atas dasar itu penduduk banyak yang bermigrasi ke Daerah lain. Mereka berasal dari Heinan dan Hokian China

Pada 14 Januari 1822, Kapal Tek Sing berangkat dari Xiamen, Hokian China, membawa sekitar 2000 imigran Tiongkok yang bermaksud menuju Batavia (sekarang Jakarta). Kapal ini memiliki julukan “Tetanik dari Timur” karena ukurannya yang sangat besar sekali 50 Meter. Tenggelamnya Kapal Tek Sing pada 16 Februari 1822 di antara Selat Gelasa dan Gaspar, Bangka Belitung, disebabkan cuaca dan gelombang yang sangat ekstreme menimbulkan korban jiwa yang signifikan. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 180 orang yang berhasil diselamatkan oleh kapal Inggrismenurutut catatan yang tertulis. Namun, pada kenyataannya, banyak yang selamat dan terdampar di Pulau Lead, pulau terdekat dengan lokasi tenggelamnya kapal.

Seiring berjalannya waktu, para imigran Tiongkok ini bercampur dengan masyarakat Pongok. Mereka membentuk pemukiman di sekitar Pelabuhan Pongok, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Laut. Artinya Tionghoa sudah ada di Pongok dan sekitarnya pada abad ke 18. Masyarakat Thongyin di China terkenal dengan fokusnya pada bisnis dan perdagangan dan perkebunan . Mereka menetapkan jalur perdagangan dengan Pongok, melakukan kegiatan mencari barang dagangan yang dapat mereka tukar dengan hasil laut, seperti ikan, kain, dan kebutuhan lainnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Pongok.

Peradaban semakin berkembang di masyarakat Thongyin, mereka melakukan perjalanan laut mereka pergi beberapa pulau, termasuk Toboali, Tanjung Labu, Penutuk, dan Tanjung Sangkar. Khususnya, Sungai Kepo memiliki peran krusial sebagai jalur utama untuk mobilitas dan perdagangan. Pada waktu itu , tidak adanya pelabuhan formal sebagai jalur masuk ke Toboali membuat Sungai Kepo menjadi jalur utama sebagai entry point.

Proses perdagangan dimulai dengan Thongyin berlayar ke pulau-pulau tersebut untuk mencari stok barang yang dapat mereka tukar dengan hasil laut, kelapa dan hasil bumi seperti ikan. Sungai Kepo bukan hanya sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai akses utama untuk membawa barang dagangan ke daratan. Karena itulah, peran Sungai Kepo sebagai jalur masuk utama memiliki dampak besar dalam memfasilitasi pertukaran barang antara Thongyin dan pulau-pulau lain

Pada abad ke-18 hingga ke-19, Desa Kepo menjadi jalur perdagangan yang penting. Sebagian masyarakat Thongyin (China) untuk menetap di sana. Situasi berubah pada tahun 1947 ketika konflik Rasis etnis yang mengerikan terjadi di Toboali . Akibatnya, penduduk Thongyin (Tionghoa/China) di Desa Kepo terpaksa pindah ke Kaposang. Meskipun peristiwa ini memiliki dampak yang mengerikan, rincian konflik tidak diuraikan secara detail karena dianggap tidak etis untuk dijelaskan. Perpindahan penduduk Thongyin ke Kaposang mencerminkan situasi sulit dan konflik etnis yang terjadi antara Suku melayu (Pangin) dan (khongyin).

Akhirnya masyarakat china Tionghoa dari Kepo itu membuat perkampungan baru yang diberi nama Kaposang Kapo adalah wilayah kepo itu sendiri asal Sang = Menjadi dalam bahasa china ada lagi yang menyebutkan Kaposang artinya masyarakat kapo yang Usang atau lama.Untuk saat ini mungkin hanya sedikit Penduduk china Tionghua keturunan yang ada di Kepo tetapi masih banyak bukti otentik seperti kuburan, Pendem China dan bentuk bentuk rumah yang ditinggalkan.

B.Penduduk Sekak atau suku Laut
Suku laut Nomaden Sea atau yang dikenal dengan nama Suku Sekak. Suku ini terkenal dengan keahlianya bidang kemaritiman dan ini diakui oleh dunia. Mereka mampu menjelajahi lautan dengan sangat berani tanpa rasa takut suku ini ada di berbagai tempat seperti Bangka Belitung. Istilah lainnya adalah Suku Sekak, Sakai,Kubu dan Sawang. Mereka hidup di pesisir dan tidak menetap lama tergantung dengan cuaca dan alam tempat mereka mencari Ikan.

Suku sekak ini sudah ada pada tahun abad 16 dan menguasai pesisir Bangka termasuk Pongok, Penutuk Kumbung dan Tanjung Sangkar. Ini dibuktikan oleh berbagai catatan Jhon Francis London dan Gedenkboek menggambarkan situasi tentang suku sekak yang ada di Bangka Belitung dan banyak lagi penulis yang lain menggambarkan tentang Suku sekak ini termasuk Maxwel ini menandakan keberadaan suku sekak ada di Bangka belitung terutama Pongok yang waktu itu. Suku Sekak juga ada masuk ke Kepoh dan bermukim di Kepoh dilihat dari berbagai sumber banyaknya keturunan suku laut yang ada di kepo itu sendiri.

Kapal yang digunakan oleh nelayan adalah kapal yang kita kenal dengan nama kulek. Dengan memanfaatkan layar dan pengetahuan alam orang suku sekak yang mahir dalam berlayar menuju ke kepo perjalanan ini membutuhkan waktu berhari hari tergantung dengan cuaca dan angin

Saya bertanya langsung kepada pemilik kapal yang berada di Pongok pada jaman dulu seperti Bang Berahim, Bang Barsu, Pak Marzuki, laode Butun Dll . Mereka mengatakan dulu “kami kalau Nek ke Habang liwat Sungai Kepo” kata bang Ibrahim berlayar berhari hari kadang sampai ke Kepo itu sendiri selama 7 hari. Mereka menggunakan kulek sejenis kapal yang berberntuk seperti jong yang mempunyai dua haluan. Dengan memanfaatkan Angin dan dayung. Cuma ukuran kulek yang dibuat cukup besar bukan seperti sampan Kulek. Sampan kulek biasanya dipakai pada saat tertentu saja dan pada waktu tertentu saja. Seperti ke penutuk tanjung labu atau ke tanjung sangkar khusus pongok mereka menggunakan kapal yang agak besar dikarenakan gelombang laut dan cuaca di pongok sangat ekstrim.

Seperti inilah gambaran kapal yang digunakan saat itu dengan membawa kelapa dan hasil bumi dari pongok seperti kelapa dan ikan asin. Ditukar dengan beras dan kenutuhan yang lain. Mereka banyak berasal dari suku sekak yang berasal dari pongok tanjung sangkar,kumbung atau tanjung labu dan bermukim di desa kepo dan menetap disana. Suku sekak berasimilasi menjadi penduduk asli dengan perkawinan akhirnya mereka menetap di kepo itu sendiri yang berada pada bagian pesisir nya.
Ini adalah foto Kulek yang diambil dari buku Gedenkboek Billiton, 1927. Kulek masih saya temukan semenjak saya masih kecil dahulu sering memancing menggunakan kulek bersama Alm Mertua Paman saya Pak Kamaludin beliau merupakan suku sekak juga . Dan kulek ini masi ada di Pongok dipergunakan masyarakat Padang keladi untuk Ngancau ngancau adalah mencari ikan teri di laut. Selain dari Pongok suku sekak juga berasal dari kumbung , dan Belitung. Mereka hanya sebagai pelaut saja tidak menjadi petani

C. Penduduk Bangka Asli (Phangin)
Penduduk asli Kepoh adalah penduduk yang berasal dari Toboali dan sekitarnya pekerjaan mereka adalah bertani dan nelayan. Suku mereka adalah suku melayu pada umumnya. Penduduk desa kepo asli pada umumnya tidak berada dipesisir pantai atau sungai mereka lebih menjorok ke daratan. Adapun yang hasil nelayan kepo itu sendiri adalah kerang , udang, ikan dan masih banyak lagi yang lain. Perkebunan dan pertambangan juga masih mendominasi di kepo itu sendiri.

AKHIR KEJAYAAN KOTA TRANSIT
Sejak dibukanya pelabuhan Sadai pada tahun 1990, itu menjadi tanda akhir dari peran sebagai kota pelabuhan di Desa Kepoh. Pada periode ini, masyarakat lebih memilih melewati Sadai karena transportasi darat ke Toboali telah semakin lancar. Transportasi darat pada waktu itu masih menggunakan mobil Simpuk.

Adanya perkembangan transportasi darat menjadi salah satu faktor utama dalam perubahan pola perjalanan masyarakat. Mobil Simpuk, sebagai sarana transportasi darat, memberikan kenyamanan dan efisiensi yang mendorong orang untuk lebih memilih menggunakan darat daripada melalui pelabuhan tradisional.

Selain itu, pendangkalan Sungai Kepoh yang semakin parah setiap tahunnya turut berperan dalam pergeseran aktivitas pelabuhan. Kapal-kapal besar tidak dapat lagi merapat ke sungai tersebut karena kedalamannya yang semakin dangkal. Faktor ini, yang bersifat alamiah, menjadi penyebab lain yang tak dapat diabaikan dalam perubahan peran pelabuhan di Desa Kepoh

PENUTUP
Desa Kepoh, dengan kekayaan sumber daya alamnya yang masih terjaga hingga saat ini, menjadi sebuah kisah makmur yang patut diperhatikan. Meskipun dalam 15 halaman ini hanya mampu memberikan pengantar dan dasar, namun masih terdapat banyak data dan penyelidikan yang perlu dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap misteri yang masih tersimpan di Desa Kepoh.

Harapan penelitian lebih lanjut mencakup pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan kekayaan sumber daya alam, perkembangan ekonomi, dan aspek-aspek lain yang memainkan peran dalam membangun identitas dan kesejahteraan Desa Kepoh. Sebagai desa yang sangat terkenal gemilang, menjaga dan merekam sejarahnya dengan cermat akan memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita terhadap warisan budaya dan ekonomi yang kaya

DAFTAR PUSTAKA
Gedenkboek Billiton 1852-1927. 1 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927.
Loudon, John Francis. De Eerste Jaren Der Billiton-Onderneming. Amsterdam: J.H.de Bussy, 1883.
Kurniawan, Wahyu. Kulek Terakhir Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong. 2016.
John Murray, 1818, oyage of His Majesty’s Ship Alceste
Nara Sumber Langsung Dato Ekhmad Elvian Budayawan Bangka Belitung
https://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_Tek_Sing
https://maps-prints.com/antique-maps-east-indies/9322-antique-map-of-bangka-island by-stemfoort-1885.html
https://www.oldmapsonline.org/map/uu/1874-366712
https://www.lingoace.com/id/artikel/trending/sejarah-dan-budaya-4-suku-tionghoa-terbesar-di-indonesia/

TENTANG PENULIS
Nama : Marwan Dinata S.Pd
Asal : Kepulauan Pongok
Tempat Tinggal : Toboali, Bangka Selatan (sejak 2012)
Profesi : Guru di Bangka Selatan
Kontak : 081995481810
Organisasi : Lam Bangka Selatan 2021
Pendidikan : S1 Pendidikan (S.Pd)
Minat dan Kegiatan : Minat dalam Sejarah dan Kebudayaan
Bangka Selatan
Aktif menulis artikel berdasarkan literasi dan fakta terkait sejarah dan budaya
Kontribusi dan Karya:
Penulis beberapa artikel terkait kebudayaan dan sejarah Bangka Selatan
1. Naskah Baju Adat Bangka Selatan (diubah menjadi Peraturan Bupati)
2. Naskah Sindeng (diakui sebagai Kekayaan Intelektual Komunal/KIK)
3. Naskah Pekasem Teritip (juga diakui sebagai KIK)

Exit mobile version