Laporan : Belva
Bekaespedia.com, Mentok, Bangka Barat – Malam itu, Jumat (5/9/2025), hujan turun tipis di halaman Rumah Peradaban Mentok. Namun deras semangat warga tak terbendung. Ratusan orang, dari pejabat daerah hingga anak-anak sekolah, berkumpul untuk merayakan pembukaan Mentok Arts Festival (MAF) 2025.

Festival yang memasuki tahun ketiganya ini bukan sekadar hajatan seni. Ia menjadi wadah gotong royong lintas generasi, sebuah tanda bahwa seni dan budaya masih berdenyut di kota tua Mentok yang kini berusia 291 tahun.
MAF 2025 mengusung tema “Tanda Bicara”. Tema ini menjadi benang merah yang menghubungkan berbagai program: mural “Mentok Kota 1000 Kue”, screening film pendek, pertunjukan musik, teater rakyat, pameran seni rupa, hingga peluncuran buku. Semua tersaji dalam satu ruang kolektif, menghidupkan kota pusaka lewat bahasa seni.
Pembukaan festival ditandai dengan pidato Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc., putra daerah yang kini menjabat di tingkat nasional. Dengan rendah hati, ia menyebut dirinya hanya “menyumbang token listrik” untuk penyelenggaraan acara, sementara sahabat-sahabat komunitaslah yang menjadi penggerak sejati.
“Kehidupan berkesenian adalah pelulak hati kita. Dalam kerasnya hidup, seni membuat hati kita lebih lunak, lebih terbuka, lebih ikhlas, lebih reda,” ujarnya.

Pidato itu disambut tepuk tangan panjang. Kata-kata Ridwan merangkum makna mendasar dari festival ini: bahwa di tengah kerasnya kehidupan masyarakat Bangka Barat, seni hadir sebagai ruang jeda, tempat orang bisa bernafas lebih lega, menerima realitas dengan hati yang lebih lapang.
Sambutan kedua datang dari Wakil Bupati Bangka Barat, H. Yusderahman, yang menegaskan pentingnya peran komunitas dalam menjaga identitas kota.
“Sebuah kota tanpa masyarakat dan budayanya hanyalah kumpulan batu bata dan semen. Mentok harus menjadi kota yang hidup, yang menampung aspirasi, kreativitas, dan ekspresi warganya,” tegasnya.
Yusderahman melihat MAF sebagai bukti bahwa Mentok bukan hanya kota peninggalan kolonial dengan rumah tua yang nyaris punah, tetapi juga kota yang menyimpan energi muda. Ia bahkan membayangkan Mentok sebagai kota kreatif yang tidak hanya bersandar pada infrastruktur, melainkan juga pada denyut ekonomi budaya.
Ia menutup sambutan dengan pantun jenaka namun sarat makna:
“Bujang berendang, dayang menari,
Cengkong Melayu menyatu harmoni.
Budaya di ujung, adat lestari,
Takkan Melayu hilang di bumi.”
Suasana pun pecah oleh sorak-sorai hadirin.
MAF pertama kali digelar pada 2022 dengan tema “Pada Sediakala”. Berlokasi di Museum Timah Indonesia, festival perdana itu lebih bernuansa nostalgia menggali ingatan kolektif masyarakat tentang sejarah panjang Mentok sebagai pusat kolonial.

Setahun kemudian, 2023, MAF hadir di Pantai Batu Rakit dan Limar Café dengan tajuk “Tenunan Harmoni”. Tema itu menekankan pentingnya keberagaman, menjahit perbedaan melalui seni.
Kini, pada 2025, festival hadir lebih matang. “Tanda Bicara” dipilih sebagai simbol bahasa kolektif yang menghubungkan generasi, menyatukan luka dan harapan, sekaligus menyampaikan pesan bahwa seni adalah cara kota berbicara kepada dunia.
Malam pembukaan dipenuhi energi kreatif. Di dinding, mural “Mentok Kota 1000 Kue” memanjang penuh warna, menampilkan kekayaan kuliner tradisional yang menjadi identitas kota.
Di layar putih, film pendek karya sineas lokal diputar. Cerita sederhana tentang kehidupan sehari-hari ditampilkan dengan jujur, membuat penonton terdiam lalu bertepuk tangan panjang.
Di panggung, anak-anak muda memainkan musik akustik, disambung pembacaan puisi budayawan senior dengan suara berat dan bergetar. Penonton larut dalam suasana, dari tertawa bersama saat teater rakyat menyelipkan humor lokal, hingga terharu mendengar lagu tradisi yang dibawakan ulang.
Di sudut lain, stand komunitas wirausaha muda menyajikan kopi manual brew dan kue tradisional. Aroma kopi dan wangi kue bercampur dengan semangat seni, menjadikan festival lebih dari sekadar tontonan, menjadi ruang rasa.
MAF digagas oleh komunitas Daon Sempor, lalu dirajut bersama berbagai kelompok seni dan budaya di Mentok.
Menurut Ketua Panitia, Silo Sandro, festival ini bisa berjalan karena semangat kolektif. “Ini bukan milik satu orang atau satu lembaga, tapi milik kita semua,” ujarnya.
Meski tanpa sponsor besar, festival tetap hidup. Relawan bekerja sukarela: memasang panggung, mengatur kursi, menjaga stand, hingga mengabadikan acara. Semua dilakukan karena cinta terhadap seni dan kota.
Gotong royong inilah yang menjadi jantung MAF bukti bahwa peradaban bisa dibangun dari bawah, dari warga yang percaya pada pentingnya kebudayaan.
Mentok dikenal sebagai kota tua yang sarat sejarah. Sebagai bekas pusat kolonial Belanda, ia menyimpan rumah-rumah tua, gudang timah, dan jejak arsitektur Eropa. Namun, seiring waktu, banyak bangunan pusaka itu lapuk, sebagian hilang.
MAF hadir untuk menegaskan bahwa Mentok bukan museum mati. Kota pusaka ini adalah ruang hidup yang bisa terus menyala jika dihidupkan dengan kreativitas.
Melalui seni, Mentok berbicara. Ia berkata bahwa di balik kerentanan bangunan tua, masih ada denyut generasi muda yang ingin menjaga dan menghidupkan kotanya.
Seni, dalam konteks Mentok, bukan sekadar karya estetika. Ia adalah bahasa peradaban.
Di dalam seni, luka bisa diucapkan tanpa melukai, rindu bisa dituturkan tanpa tangisan, dan cinta bisa diungkapkan tanpa kata. Festival ini membuktikan bahwa seni dapat menyatukan berbagai lapisan masyarakat dari pejabat hingga anak-anak, dari budayawan senior hingga pelajar SMA.
Lebih jauh, MAF juga membuka peluang ekonomi kreatif. Stand UMKM, peluncuran buku, hingga kolaborasi musik menunjukkan bahwa seni bisa menjadi motor pergerakan sosial-ekonomi, bukan hanya ruang ekspresi.
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Tantangan terbesar adalah keberlanjutan. Tanpa dukungan kebijakan dan dana yang memadai, MAF berisiko berhenti hanya sebagai acara tahunan tanpa dampak jangka panjang.
Di sinilah peran pemerintah, swasta, dan masyarakat diuji. Apakah MAF hanya dibiarkan menjadi festival lokal, ataukah dikembangkan sebagai identitas budaya yang mampu mengangkat nama Mentok di kancah nasional, bahkan internasional?
Harapan itu nyata. Dengan semangat gotong royong, dukungan komunitas, dan konsistensi program, Mentok punya peluang besar menjadi kota kreatif yang menyala.
Malam semakin larut. Hujan reda. Lampu-lampu masih menyala, musik masih bergema, dan senyum orang-orang masih bertahan.
MAF 2025 meninggalkan pesan penting: seni bukan sekadar hiburan, melainkan nyawa kota. Ia adalah pelukan hati, penanda identitas, dan bahasa peradaban.
Mentok malam itu berdenyut dalam irama seni. Dari hati yang lunak hingga imajinasi kota yang menyala, festival ini menjadi langkah kecil yang diyakini akan membawa manfaat besar bagi masa depan.
Karena sebuah kota, pada akhirnya, tidak diukur dari tinggi gedungnya, melainkan dari nyala peradabannya.












