Karya: Girta Ayu (SDN 4 Koba)
Di sebuah dusun terpencil bernama Dusun Perlang, terletak di kaki Bukit Pading jauh dari keramaian kota. Di dusun itu, suasana masih sangat asri, di keliling hutan hijau dan sawah yang terbentang luas. Penduduknya hidup sederhana dan ramah, sebagian besar bekerja sebagai petani, mengolah tanah dan menanam padi, sayur, serta palawija. Jumlah penduduknya tidak banyak sehingga suasana dusun selalu terasa tenang, damai, dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern. Tak jauh dari tempat kami bermukin terdapat gua misterius. Gua Maras orang menyebutnya.
Konon, menurut kisah orang-orang tua dulu, gua itu menyeramkan dan tempat jin buang anak. Tampak seperti gua penuh dengan misteri.
Di dusun tersebut terdapat empat orang anak yang hidup bertetangga. Mereka adalah sahabat sejati, salah satunya diriku. Aku Girta, seorang anak perempuan. Sahabat-sahabatku menganggapku anak yang baik hati dan suka menolong. Tiga orang sahabatku yang lain bernama Aqila, Duwi dan Alpino. Aqila, lebih akrab dipanggil Qila, seorang anak perempuan namun bertingkah agak sedikit tomboy. Ia anak yang cerdas dan bijaksana. Sahabatku berikutnya Duwi, seorang anak perempuan, sahabatku yang paling dapat dipercaya. Salah satu dari kami berempat ada sahabat laki-laki yang bernama Alpino, kerap kali dipanggil Pino. Ia anak yang pemberani dan cerdik. Selain hidup bertetangga, kami berempat juga merupakan kawan sekelas. Setiap hari berangkat dan pulang sekolah kami selalu berjalan bersama-sama. Setiap kami bermain pun sering bersama-sama. Begitulah kebersamaan kami setiap hari dan hari-hari seterusnya.
Pagi ini cuaca tampak mendung. Awan hitam sesekali menyemburkan embun air hingga membasahi bumi. Tampak di depan teras rumah, ayah duduk bermalas-malasan sambil menghirup kopi dan menyantap gorengan yang disajikan ibu. Sesekali ayah menatap ke langit sambil berharap gerimis berhenti. Sebagian petani memang tidak pergi ke ladang, karena tidak dapat menyadap karet. Maklum saja, batang karet yang basah akan membuat getah karet mengalir tak tentu arah. Alhasil getah tak tertampung pada tempat semula.
Seiring cuaca mendung, hatiku turut merasa merundung. Bagaimana tidak, semalam aku tertidur pulas, padahal seharusnya aku belajar untuk persiapan ulangan matematika pagi ini.
“Hemm….. Aku sangat benci pelajaran ini!” gumamku gelisah.
Aku segera bergegas dari kamarku menuju kamar mandi. Selesai mandi dan beringkas kamar, akupun siap berangkat ke sekolah. Dengan berat melangkah ku raih tasku dan berpamitan dengan ibu untuk pergi.
“Aku permisi berangkat bu!..” pamitku.
“Hati-hati di jalan ya, Nak!” ibu menimpali. Aku hanya mengangguk seraya malas untuk berkata-kata.
Di persimpangan jalan aku pun bertemu sahabat-sahabatku dengan arah dan tujuan yang sama, kami pun berangkat bersama-sama menuju sekolah. Sepanjang perjalanan aku menyesali tak henti-henti. Semakin dekat jarak menuju sekolah, semakin menambah diriku gelisah.
Tiba di sekolah, selang hanya beberapa menit bel masuk pun berbunyi. Semua siswa terburu-buru bergegas masuk kelas. Aku hanya berjalan gontai tidak seantusias kawan-kawan lain, wajar saja penyesalan tadi malam masih menghiasi emosiku.
“Aku niat belajar tadi malam, ehh…malah ketiduran.” sesal batinku. Dengan wajah murung aku terpaksa menuju ruang itu.
Di dalam kelas, tas-tas murid dikumpulkan di depan, kertas ulangan mulai di bagikan.
“Kerjakan masing-masing dan tidak ada yang kerja sama!” tegas bu Enie tanda ulangan mulai berjalan.
Bu Enie adalah guru atau wali kelasku. Untuk perkara ulangan, beliau tidak segan-segan merobek lembar ulangan jika ada kedapatan yang berbuat curang. Hal inilah yang membuat diriku semakin gugup. Aku hanya duduk terpaku, menatap kosong lembar ulangan yang terbentang di atas meja. Pikiranku tak menentu arah, kepalaku serasa pusing, jantungku berdetak cepat. Aku masih menyesali perbuatanku semalam.
“Kenapa aku tidak belajar semalam?” gumamku dalam hati, menyesal tapi sudah terlambat.
Aku berusaha mengingat-ingat semua rumus matematika, tapi yang muncul hanya rasa panik dan penyesalan. “Penyesalan memang selalu datang di akhir” terlintas dibenakku saat percakapan ibu dan ayah seminggu silam.
“Aduuhh…aku harus bagaimana ini?” kegelisahanku menjadi-jadi.
Ku coba melirik ke tempat duduk Qila sahabatku yang pintar, mencoba berusaha mencari jawaban, namun bu Enie selalu memperhatikan gerak-gerikku seraya menjelitkan matanya ke arahku dengan sorotan yang mengancam. Dengan gugup, aku mengisi beberapa soal asal-asalan, berharap setidaknya ada jawaban yang benar. Tak terasa di ujung waktu.
“Lima menit lagi yah anak-anak, selesai atau tidak, semua wajib dikumpulkan!” seru Bu Enie lantang sambil tegap berdiri.
Aku semakin terburu-buru mencoret jawaban terakhir sekenanya. Saat bel berbunyi, aku menghela napas lega sekaligus cemas. Dengan wajah memerah, aku mengumpulkan kertas ujian dengan rasa kecewa pada diriku sendiri lalu bergegas keluar kelas. Di luar kelas, aku menatap langit biru sambil berjanji dalam hati, “Aku tidak akan menunda-nunda belajar lagi!”
Sepulang sekolah, di luar pagar, aku berjalan pelan di belakang teman-temanku Aqila, Duwi, dan Alpino.
“Udah nggak apa-apa,” kata Aqila mendekatiku. “Lain waktu, kita bisa belajar bareng nanti.” ajak Qila mengobati kegalauanku.
Aku hanya mengangguk. Meskipun masih kecewa, setidaknya aku tak sendiri.
Di tengah perjalanan pulang, kami berempat terhenti pada sebuah rumah yang penuh kerumunan warga. Sebagian orang tertuju pada seorang anak kecil yang tampak begitu ketakutan. Matanya terbelalak liar sambil terus melotot ke arah orang-orang yang menatapnya.
“Dia… dia bersuara,” bisiknya gemetar, “Suara bisikan itu… memanggil namaku!. Gua itu…Gua itu bersuara,” lirihnya ketakutan.
Dalam keadaan merinding akhirnya kami berempat meninggalkan kerumunan itu melanjutkan arah jalan pulang. Tak jauh beberapa meter melangkah aku menghentikan langkah, menghampiri sahabat-sahabatku.
“Kalian dengar itu gak? “ bisikku kepada Aqila, Duwi, dan Alpino.
“Iya tentang gua maras di dekat bukit, itu kan? “Jawab Duwi, matanya membulat penasaran.
“Gua yang katanya belum pernah ada yang berani masuk terlalu dalam… “ tambah Duwi, nada suaranya terdengar antusias bercampur takut.
Aqila menggigit bibirnya, berpikir. “Apa kita…..coba ke sana? Buat lihat langsung? “ ia memberi ide.
“Nekat kamu Qila!” timpal Alpino. “Emangnya kamu berani?” tantang Pino. “Nekat kamu Qila!” timpal Alpino. “Emangnya kamu berani?” tantang Pino.
Mereka hanya saling pandang. Meskipun ada rasa takut, dan penasaran rasa ingin tahu lebih besar. Tanpa banyak bicara, akhirnya kami pun membuat rencana pergi ke Gua Maras itu keesokan harinya.
(Bersambung)